BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Konsep pragmatisme mula-mula dikemukan oleh Charles Sandre
Peirce pada tahun 1839. Dalam konsep tersebut ia menyatakan bahwa, sesuatu
dikatakan berpengaruh bila memang memuat hasil yang praktis. Pada kesempatan
yang lain ia juga menyatakan bahwa, pragmatisme sebenarnya bukan suatu
filsafat, bukan metafisika, dan bukan teori kebenaran, melainkan suatu teknik
untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah (Ismaun, 2004:96). Dari kedua
pernyataan itu tampaknya Pierce ingin menegaskan bahwa, pragmatisme tidak hanya
sekedar ilmu yang bersifat teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat serta
mencari kebenaran belaka, juga bukan metafisika karena tidak pernah memikirkan
hakekat dibalik realitas, tetapi konsep pragmatisme lebih cenderung pada
tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi
manusia.
Jika ditelusuri dari akar kata, pragmatisme berasal dari
perkataan “pragma” yang berarti praktek atau aku berbuat. Maksud dari
perkataan itu adalah, makna segala sesuatu tergantung dari hubungannya dengan
apa yang dapat dilakukan. Diulas dalam buku Pengantar Filsafat (Kattsoff,
1992:130) bahwa, tampaknya jalan pikiran Pierce tak lebih dari sebuah keinginan
untuk mewujudkan pragmatisme sebagai ilmu yang mengorientasikan diri kepada
makna praktis dari konsekuensi yang ditimbulkan oleh sebuah tindakan. Jika
tidak menimbulkan konskuensi yang praktis maka tidak ada makna yang
dikandungnya. Karena itu, munculah sebuah semboyan bahwa, “Apa yang tidak
mengakibatkan perbedaan tidak mengandung makna”.
Sebagian penganut pragmatisme yang lain mengatakan bahwa,
suatu ide atau tanggapan dianggap benar, jika ide atau tanggapan tersebut
menghasilkan sesuatu, yakni jalan yang dapat membawa manusia ke arah
penyelesaian masalah secara tepat (berhasil). Seseorang yang ingin membuat hari
depan, ia harus membuat kebenaran, karena masa depan bukanlah sesuatu yang
sepenuhnya ditentukan oleh masa lalu (Kattsoff, 1992:130). Bahkan, Budi Darma
mengatakan bahwa, masa depan itu tidak ada, masa lalu juga tidak ada, yang ada
adalah masa sekarang maka berjuanglah untuk saat ini1.
Inti dari peryataan tersebut adalah, kebenaran pragmatik merupakan kebenaran
yang bersifat fungsional, berguna atau praktis. Segala sesuatu dianggap benar
jika ada konsekuensi yang bersifat manfaat bagi hidup manusia. Sebuah tindakan
akan memiliki makna jika ada konsekuensi praktis atau hasil nyata yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia. Masa lalu dan masa depan adalah sesuatu yang
telah dan belum terjadi. Sementara itu, masa sekarang adalah fakta, maka
hadapilah kenyataan sekarang dengan penuh perjuangan.
BAB II
Pembahasan
B.
Filsafat Pragmatisme dalam Pendidikan
Sejak dahulu hingga dewasa ini, dunia pendidikan selalu
membuka diri terhadap kemungkinan diterapkannya suatu format pendidikan yang
ideal untuk menjawab permasalahan global. Banyak teori telah diadopsi untuk
mencapai tujuan tersebut. Termasuk teori pragmatis dari aliran Filsapat
pragmatisme mencoba mengisi ruang dan waktu untuk turut mencari solusi terbaik
terhadap model pendidikan yang dianggap selangkah ketinggalan dengan perkembangan
pola pikir manusia itu sendiri.
Seiring dengan perkembangan, dunia pendidikan berupaya
menyelaraskan antara eksplorasi pikiran manusia dengan solusi tindakan bersama
perangkatnya untuk mencapai puncak temuan. Di bawah ini akan diuraikan arah dan
tujuan pendidikan pragmatisme.
1.
Arah Pendidikan Pragmatisme
Dunia akan bermakna hanya jika manusia mempelajari makna yang
terkandung di dalamnya, dan perubahan merupakan keniscayaan dari sebuah
realitas. Manusia tidak akan pernah menjadi manusia yang sesungguhnya jika
mereka tidak berkreasi terhadap dirinya.
Manusia adalah makhluk yang dinamis dan plastis. Dalam
sepanjang hidup manusia akan terus-menerus berkembang sesuai dengan kemampuan
dan kreasinya. Dalam perkembangan tersebut manusia membutuhkan sesamanya, meniru,
beradaptasi, bekerja-sama dan berkreasi mengembangkan kebudayaan di
tengah-tengah komunitasnya. Baik dan buruk suatu peradaban ditentukan oleh
kualitas perkembangan manusia. Manusia yang berkualitas akan mewarnai peradaban
yang baik. Sebaliknya, manusia yang tidak berkualitas akan
mewariskan/meninggalkan peradaban yang buruk, fulgar bahkan barbar.
Pendidikan yang mengikuti pola filsafat pragmatisme akan
berwatak humanis, dan pendidikan yang humanis akan melahirkan manusia yang
humanis pula. Karena itu, pernyataan “man is the meansure of all
things” (Sadulloh, 2003: 120) akan sangat didukung oleh penganut aliran
pragmatis, sebab hakekat pendidikan itu sendiri adalah memanusiakan manusia
(Drost, 1998:v).
Inti dari filsafat pendidikan yang berwatak pragmatis;
pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang berguna, dan hasil dari
pendidikan adalah berfungsi bagi kehidupannya. Karena itu, pendidikan harus
didesain secara fleksibel dan terbuka. Maksudnya pendidikan tidak boleh
mengurung kebebasan berkreasi anak, lebih-lebih membunuh kreatifitas anak.
Menurut pragmatisme, pendidikan bukan semata-mata membentuk pribadi anak tanpa
memperhatikan potensi yang ada dalam diri anak, juga bukan beranggapan bahwa
anak telah memiliki kekuatan laten yang memungkinkan untuk berkembang
dengan sendirinya sesuai tujuan. Namun, pendidikan merupakan suatu proses
reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu (Sadulloh,
2003:125).
Jadi, baik anak maupun orang dewasa selalu belajar dari
pengalaman masa lalunya. Tak kurang dari John Dewey, seorang aliran pragmatisme
yang mengorientasikan landasan metodologi dan kesimpulannya pada ilmu-ilmu
sosial dan biologi (Sadulloh, 2003:125) mengurai pentingnya pendidikan atas
tiga pokok pemikiran, yaitu: a) pendidikan merupakan kebutuhan hidup. Maksud
dari pernyataan itu adalah, selain sebagai alat, pendidikan juga sebagai
pembaharuan hidup (a renewel of life). Tenaga yang dimiliki dan
keberadaan lingkungan, dijadikan sebagai alat untuk perjuangan hidup. Tak ayal
dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia selalu berintraksi antara
individu dengan lingkungan, dan pembaharuan hidup tidak lepas dari budaya atau
selalu tergantung pada hasil budaya dan perwujudan moral kemanusiaan; b)
pendidikan sebagai pertumbuhan. Maksudnya adalah pertumbuhan merupakan
karakteristik dari hidup, dan pendidikan adalah hidup itu sendiri; c)
pendidikan sebagai fungsi sosial. Arti dari pernyataan tersebut adalah,
pendidikan diberikan untuk digunakan sebagai sarana meneruskan dan menyelamatkan
cita-cita masyarakat. Karena itu, dalam hubungan sekolah sebagai fungsi sosial,
keberadaan sekolah (sebagai alat transmisi), menurut Dewey (1964: 22, dalam
Sadulloh, 2003:127) sekurang-kurangnya harus memiliki tiga fungsi. Ketiga
fungsi itu ialah: 1) menyederhanakan dan menertibkan faktor-faktor bawaan yang
dibutuhkan untuk berkembang. Maksudnya, keberadaan sekolah (pendidik) hendaknya
menjadi fasilitator terhadap perkembangan anak; 2) memurnikan dan mengidealkan
kebiasaan masyarakat yang ada. Maksudnya, sekolah hendaknya menjadi agen
pelestari dan penyelaras kebiasaan (kebudayaan) masyarakat, serta menjadi alat
pencerah terhadap kebiasaan masyarakat tersebut agar lebih siap menghadapi
perubahan zaman; dan 3) menciptakan suatu lingkungan yang baik, serta lingkungan
itu menjadi milik anak untuk dikembangkan. Artinya, sekolah hendaknya memiliki
tanggung-jawab menciptakan lingkungan yang baik, dan lingkungan yang baik itu
selanjutnya diserahkan pengelolaannya kepada anak untuk dilestarikan dan
dikembangkan sesuai dengan arah kehidupan masyarakat yang dikehendaki.
2.
Tujuan Pendidikan Pragmatisme
Tujuan pendidikan pragmatisme inheren dengan pandangan
realitas, teori pengetahuan dan kebenaran, serta teori nilai. Menurut pandangan
realitas, manusia selalu berintraksi dengan lingkungan tempat mereka berada.
Lingkungan baru memiliki arti jika manusia peduli dan memahami kegunaan dari
lingkungan itu sendiri untuk kejayaan hidupnya. Selama manusia tidak melakukan
sesuatu terhadap lingkungan, selama itu pula lingkungan tidak pernah memberi
sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Kebenaran tidak pernah mutlak, tidak
berlaku umum, tidak tetap, tidak berdiri sendiri serta tidak terlepas dari akal
yang mengenal, yang ada hanyalah kebenaran yang bersifat khusus dan setiap saat
dapat diubah oleh pengalaman (Sadulloh, 2003:128). Paparan itu mengandung makna
bahwa, ukuran kebenaran sangat nisbi bergantung dari masing-masing yang
memandang. Baik menurut seseorang, mungkin akan sebaliknya menurut orang lain,
demikian seterusnya, sehingga patokan kebenaran tidaklah dapat berlaku untuk
semua orang dan keadaan. Demikian pula nilai, menurut pragmatisme bersifat
relatif, karena kaidah-kaidah moral dan etika tidak pernah tetap, tetapi terus
berubah seperti berubahnya kebudayaan seiring dengan berubahnya masyarakat yang
membentuk kebudayaan itu.
Bertolak dari paparan tersebut, tujuan pendidikan pun harus
disesuaikan dengan keadaan masyarakat dimana anak itu berada. Hakekatnya
pendidikan berlangsung dalam kehidupan. Karena itu, tujuan pendidikan menurut
pragmatisme harus pula disesuaikan dengan lingkungan tempat dilangsungkannya
pendidikan itu. Menjadi sesuatu yang ironis jika sebuah pendidikan diterapkan
dengan tanpa mempertimbangkan keadaan lingkungan kehidupan anak.
Di suatu negara yang memiliki penduduk hedrogen seperti Indonesia ,
terdapat beraneka ragam warna kehidupan masyarakat. Baik wilayah geografis,
tradisi, bahasa daerah, suku, profesi dan sebagainya. Masing-masing keadaan
memiliki ciri-ciri tertentu serta satu dengan yang lain berbeda-beda. Sebagai
misal, jika terdapat suku yang sama, mungkin tradisi mereka berbeda. Jika
memiliki wilayah geografis yang sama, mungkin mata pencaharian atau profesi
mereka berbeda, demikian seterusnya, sehingga tidak mungkin dapat diterapkan
suatu kebijaksanaan pendidikan yang memiliki konsekuensi yang sama.
Menurut pragmatisme, tidak ada tujuan pendidikan yang berlaku
secara umum, dan tidak ada pula tujuan pendidikan yang bersifat tetap dan
pasti. Yang ada hanyalah tujuan khusus, dan bersifat nisbi serta tidak pasti.
Karena itu, mustahil tujuan pendidikan dapat ditetapkan untuk semua masyarakat.
Tujuan pendidikan menurut pragmatisme selalu bersifat
temporer, dan tujuan merupakan alat untuk bertindak. Jika suatu tujuan telah
dicapai, maka hasil tujuan akan menjadi alat untuk mencapai tujuan berikutnya,
demikian seterusnya, karena pragmatisme tidak mengenal tujuan akhir, dan yang
ada adalah tujuan antara.
Suryabrata (Jalaluddin, 2003:119) mengatakan bahwa,
pendidikan adalah suatu kegiatan yang sadar akan tujuan, bahkan tujuan
merupakan salah satu hal yang teramat penting dalam kegiatan pendidikan, guna
memberikan arah dan ketentuan yang pasti dalam memilih materi (isi), metode,
alat, evaluasi terhadap kegiatan yang dilakukan. Dengan arah yang pasti,
harapan untuk memperoleh hasil yang maksimal dari usaha penyelenggaraan
pendidikan akan dapat dicapai. Yang tidak kalah penting, menurut pragmatisme
materi yang akan disajikan harus berdasarkan fakta-fakta yang sudah
diobservasi, dipahami, serta dibicarakan sebelumnya, serta materi tersebut
dimungkinkan mengandung ide-ide yang dapat mengembangkan situasi untuk mencapai
tujuan. Sebagai misal, jika materi yang akan diberikan dikaitkan dengan
demokrasi, maka materi tersebut hendaknya merupakan seperangkat tidakan untuk
memberi isi terhadap kehidupan sosial yang ada pada waktu itu dilingkungan
tinggal anak. Intinya sekolah secara umum, dan materi ajar secara khusus tidak
dipisahkan dari kehidupan, karena hakekatnya pendidikan bukan persiapan untuk
suatu kehidupan, melainkan pendidikan merupakan kehidupan itu sendiri.
Pendidikan yang bercorak pragmatisme selalu memandang bahwa
anak bukanlah individu yang silent, melainkan individu yang memiliki
pikiran yang aktif dan kreatif. Pengetahuan sebenarnya merupakan hasil dari transaksi
manusia dengan lingkungannya, termasuk kebenaran menjadi bagian dari
pengetahuan itu sendiri. Karena itu, seorang guru yang memiliki pandangan
pragmatis akan selalu memperhatikan situasi lingkungan masyarakat anak, serta
mendorong agar anak turut memecahkan persoalan yang ada disekitar tinggal
mereka.
Dalam pandangan pragmatisme model kurikulum yang digunakan
setiap pelajaran tidak boleh terpisah-pisah antara satu dengan yang lain,
tetapi merupakan satu kesatuan yang saling terkait, dan pengalaman di sekolah
selalu dipadukan dengan pengalaman anak di luar sekolah atau di tempat
lingkungan kehidupan anak. Selain itu, masalah yang dijadikan pusat kegiatan
oleh guru di kelas adalah masalah-masalah aktual yang menarik minat anak atau
menjadi pusat perhatian anak. Demikian pula metode yang diterapkan oleh guru
adalah metode disiplin bukan kekuasaan, karena metode kekuasaan cenderung
memaksakan anak untuk mengikuti kehendak guru. Cara yang demikian itu tidak
mungkin dapat membangkitkan perhatian dan minat anak. Sedangkan metode
disiplin, semua kemauan dan minat datang dari dalam diri anak sendiri, dan anak
akan belajar apabila ia memiliki minat terhadap suatu hal untuk dipelajari.
Model pembelajaran pragmatisme adalah; anak belajar di dalam
kelas dengan cara berkelompok. Dengan berkelompok anak akan merasa bersama-sama
terlibat dalam masalah dan pemecahanya. Anak akan terlatih bertanggung jawab
terhadap beban dan kewajiban masing-masing. Sementara, guru hanya bertindak
sebagai fasilitator dan motivator. Model pembelajaran ini berupaya
membangkitkan hasrat anak untuk terus belajar, serta anak dilatih berpikir
secara logis. Sebagaimana yang diungkap oleh Power (Sadulloh, 2003:133) bahwa,
implikasi dari filsafat pendidikan pragmatisme terhadap pelaksanaan pendidikan
mencakup tiga hal pokok. Ketiga hal pokok tersebut, yaitu: a) tujuan
pendidikan. Tujuan pendidikan pragmatisme adalah memberikan pengalaman
untuk penemuan ha-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi; b) kedudukan
siswa. Kedudukan siswa dalam pendidikan pragmatisme merupakan suatu
organisasi yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk tumbuh;
c) kurikulum. Kurikulum pendidikan pragmatis berisi pengalaman yang
teruji yang dapat diubah. Demikian pula minat dan kebutuhan siswa yang dibawa
ke sekolah dapat menentukan kurikulum. Guru menyesuaikan bahan ajar sesuai
dengan minat dan kebutuhan anak tersebut, dan kurikulum pendidikan pragmatisme
serta-merta menghilangkan perbedaan antara pendidikan liberal dengan pendidikan
praktis atau pendidikan jabatan; d) metode. Metode yang digunakan
dalam pendidikan pragmatisme adalah metode aktif, yaitu learning by doing
(belajar sambil bekerja); dan e) peran guru. Peran guru dalam
pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan membimbing pengalaman belajar
siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya.
Bertolak dari uraian tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan
bahwa, tujuan pendidikan pragmatisme adalah menumbuhkan jiwa yang aktif dan
kreatif; membentuk jiwa yang bertanggung jawab; sosial; dan mengembangkan pola
pikir eksploratif yang mandiri kepada anak. Dengan tujuan tersebut pola
perkembangan anak akan berjalan sesuai dengan pilihan hidup yang telah
direncanakan.
BAB III
PENUTUP
Pendidikan pragmatisme berwatak humanis, dan manusia adalah
ukuran segala-galanya. Rasio manusia tidak pernah terpisah dari dunia, bahkan
menjadi bagian dari dunia itu sendiri. Pengetahuan manusia harus dinilai dan
diukur dengan kehidupan praktis, serta benar tidaknya hasil pikiran manusia
akan terbukti di dalam penggunaannya dalam praktek. Jadi, suatu teori dikatakan
benar jika berfungsi praktis bagi kehidupan manusia.
Pragmatisme tidak menaruh perhatian terhadap suatu nilai yang
tidak empiris. Konsep pendidikan pragmatisme adalah, pendidikan bertujuan untuk
mendewasakan anak menjadi manusia yang mandiri, bertanggung-jawab, dan dapat
memecahkan persoalan hidupnya sendiri. Pendidikan harus dilangsungkan di tempat
dimana anak berada. Kurikulum yang digunakan setiap pelajaran tidak boleh
terpisah-pisah, tetapi merupakan satu kesatuan, dan pengalaman di sekolah
selalu dipadukan dengan pengalaman di luar sekolah. Masalah yang diangkat oleh
guru di kelas adalah masalah-masalah aktual yang menarik minat anak atau
menjadi pusat perhatian anak. Demikian pula metode yang diterapkan oleh guru adalah
metode disiplin bukan kekuasaan, karena metode kekuasaan cenderung memaksakan
anak untuk mengikuti kehendak guru.
Dalam pendidikan pragmatisme, semua materi yang akan
disajikan harus berdasarkan fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami, serta
dibicarakan sebelumnya, serta materi tersebut dimungkinkan mengandung ide-ide
yang dapat mengembangkan situasi untuk mencapai tujuan.
Peran guru dalam pendidikan pragmatisme hanyalah sebagai
fasilitator dan motivator kegiatan anak. Semua kegiatan anak dilakukan sendiri
seiring dengan minat dan kebutuhan yang dipilih, tetapi guru tetap memberikan
arahan yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan bakat dan minat yang
dimiliki.
DAFTAR PUSTAKA
Drost,
J.I.G.M. 1997. Sekolah: Mengajar atau Mendidik: Yogyakarta .
Penerbit Kanisius.
Jalaluddin
dan Abdulloh Idi. 1997. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan
Pendidikan. Jakarta :
Penerbit Gaya Media Pratama.
Ismaun.
2004. Filsafat Ilmu. Bandung :
Universitas Pendidikan Indonesia
Kattsof,
Louis O. 1992. Pengantar Filsafat. Yogyakarta :
Penerbit Tiara Wacana Yogyakarta.
Power,
Edward J. 1982. Philosophy of Education. New Jersey : Prentice-Hall. Inc.
Sadulloh,
Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : Alfabeta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar