BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga
munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di
pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina.
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang
membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan
atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis
ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah.
Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan
pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme
logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam
suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan
perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah.
BAB
II
PEMBAHASAN
B. Pengertian
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu
alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas
yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua
didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi
teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang
diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi
tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja
merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada
spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan
positivisme, yaitu:
- Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
- Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
- Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan
dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan
kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistic menggarisbawahi
penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi
faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai
arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa
observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.
Auguste Comte dan Positivisme
Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal.
Kamu positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana
metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum
sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris
dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Comte
menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie
Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari
semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu
tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam
hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan
organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika
adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet).
Bagi
Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya
tidak dapat digugat.
Metode
positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
- Metode ini diarahkan pada fakta-fakta.
- Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
- Metode ini berusaha ke arah kepastian
- Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Comte-pun mengatakan bahwa perkembangan manusia berlangsung
dalam tiga tahap. Pertama, tahap teologis, kedua, tahap metafisik, ketiga,
tahap positif.
1.
Tahap Teologis
Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala
alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak
gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki
rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa mereka berada
pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk selain insani.
Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama,
tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala
benda berjiwa (animisme). Kedua, tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-hal
tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang
melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala memiliki
dewa sendiri-sendiri (polytheisme). Gejala-gejala “suci” dapat disebut
“dewa-dewa”, dan “dewa-dewa” ini dapat diatur dalam suatu sistem, sehingga
menjadi politeisme dengan spesialisasi. Ada dewa api, dewa lautan, dewa angin,
dan seterusnya. Ketiga, adalah tahapan tertinggi, dimana pada tahap ini orang
mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi (esa), yaitu
dalam monotheisme.
Singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya
kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di sini, manusia percaya kepada
kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian
tersirat adanya maksud tertentu.
1.
Tahap Metafisik
Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari
pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara
berpikir teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan
kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah,
yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut
dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam
pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep “alam”,
sebagai asal mula semua gejala.
1.
Tahap Positif
Pada tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk
berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan
teologis maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir
seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari “segala
sesuatu” yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha
menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang
disajikan kepadanya, yaitu dengan “pengamatan” dan dengan “memakai akalnya”.
Pada tahap ini pengertian “menerangkan” berarti fakta-fakta yang khusus
dihubungkan dengan suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari
tahap positif ini adalah menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah satu
fakta yang umum.
Bagi comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi
perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi di bidang
ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, comte menerangkan bahwa segala ilmu
pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu
dikacaukan dengan pemikiran metafisis dan akhirnya dipengaruhi hukum positif.
Jelasnya, ketiga tahapan perkembangan umat manusia itu tidak saja berlaku bagi
suatu bangsa atau suku tertentu, akan tetapi juga individu dan ilmu
pengetahuan.
Meskipun
seluruh ilmu pengetahuan tersebut dalam perkembangannya melalui ketiga macam
tahapan tersebut, namun bukan berarti dalam waktu yang bersamaan. Hal demikian
dikarenakan segalanya tergantung pada kompleksitas susunan suatu bidang ilmu
pengetahuan. Semakin kompleks susunan suatu bidang ilmu pengetahuan tertentu,
maka semakin lambat mencapai tahap ketiga.
Lebih jauh Comte berpendapat bahwa pengetahuan positif
merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan
ilmiah. Di sini, ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat positif apabila ilmu
pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan
kongrit. Dengan demikian, maka ada kemungkinan untuk memberikan penilaian
terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang
positif, serta sampai sejauh mana ilmu pengetahuan tersebut dapat mengungkapkan
kebenaran yang positif. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik
yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan
dalam kenyataan.
Demikianlah pandangan Auguste Comte tentang hukum tiga
tahapnya, yang pada intinya menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu
dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif
ilmiah. Dalam hal ini Auguste Comte memberikan analog; manusia muda atau
suku-suku primitif pada tahap teologis sehingga dibutuhkan figur dewa-dewa
untuk “menerangkan” kenyataan. Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai
prinsip-prinsip abstrak dan metafisis. Pada tahap dewasa dan matang
digunakan metode-metode positif dan ilmiah.
C.
Filsafat Materialisme
Materialisme adalah salah satu paham filsafat yang banyak
dianut oleh para filosof, seperti Demokritus, Thales, Anaximanoros dan
Horaklitos. Paham ini menganggap bahwa materi berada di atas segala-galanya dan
biasanya paham ini dihubung-hubungkan dengan teori atomistik yang berpendapat
bahwa benda-benda tersusun dari sejumlah unsur. Ketika paham ini pertama
muncul, paham tersebut tidak mendapat banyak perhatian karena banyak ahli
filsafat yang menganggap bahwa paham ini aneh dan mustahil. Namun pada sekitar
abad 19 paham materialisme ini tumbuh subur di Barat karena sudah banyak para
filosof yang menganut paham tersebut. Walaupun teori sudah banyak dianut para
filosof, teori ini masih banyak ditentang oleh para tokoh agama karena paham
ini dianggap tidak mengakui adanya Tuhan dan dianggap tidak dapat melukiskan
kenyataan.
Pengertian dan Beberapa Ajaran Materialisme
Materialisme seringkali diartikan sebagai suatu aliran
filsafat yang meyakini bahwa tidak ada sesuatu selain materi yang sedang
bergerak. Pikiran, roh, kesadaran dan jiwa tidak lain hanyalah materi yang
sedang bergerak. Menurut mereka, pikiran memang ada tetapi tak lain disebabkan
dan sangat tergantung pada perubahan-perubahan material. Intinya, mereka
menganggap bahwa materi berada di atas segala-galanya.
Beberapa
pendapat mereka yang lain adalah:
- Tidak ada sesuatu yang bersifat non-material separti roh, hantu, setan, malaikat. Pelaku-pelaku immaterial tidak ada.
- Tidak ada Tuhan atau dunia adikodrati (supranatural). Realitas satu-satunya adalah materi dan segala sesuatu merupakan manifestasi aktivitas materi.
- Setiap peristiwa mempunyai sebab material, dan penjelasan material tentang semua itu merupakan satu-satunya penjelasan yang tepat.
- Materi dan aktivitasnya bersifat abadi. Tidak ada Sebab Pertama atau Penggerak Pertama.
- Bentuk material dari barang-barang dapat diubah, tapi materi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan.
- Tidak ada kehidupan yang kekal. Semua gejala berubah, akhirnya melampaui eksistensi yang kembali lagi ke dasar material primordial, abadi dalam suatu peralih-wujudan kembali yang abadi dari materi.
D. Sejarah Perkembangan Materialisme
Pada awalnya, materialisme tidak mendapat banyak perhatian
karena dianggap aneh dan mustahil. Baru pada abad pertengahan abad 19,
materialisme tumbuh subur sekali di Barat. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan tersebut antara lain:
- Orang dengan paham materialisme mempunyai harapan-harapan yang besar atas ilmu pengetahuan.
- Paham materialisme berpegang pada kenyataan-kenyataan yang mudah dimengerti, bukan pada dalil-dalil abstrak.
- Teori-teorinya jelas berdasarkan teori-teori pengetahuan yang sudah umum.
Namun, paham materialisme banyak ditentang oleh para tokoh
agama karena terang-terangan tidak mengakui Tuhan. Seorang anti-materialisme
bernama Friedrich Paulsen berkata “Kalau materialisme itu benar, maka segala
sesuatu di dunia ini akan dapat diterangkan, termasuk bagaimana atom membentuk
teori materialisme itu sendiri yaitu dapat berfikir dan berfilfasaf”. tenyata
hal itu sama sekali tak dapat diterangkan oleh kaum materialisme.
Kaum materialisme menyangkal adanya jiwa atau roh, mereka
menganggapnya hanya sebagai pancaran materi. Thomas Hobbes (1588-1679), seorang
ahli pikir Inggris beralasan bahwa seperti perjalanan yang tidak lepas dari
orang yang berjalan, demikian juga gagasan, sebagai sesuatu yang bersifat
rohani juga tidak lepas dari organisme yang berpikir, yang mempunyai gagasan.
Materialisme pada abad 18 dan 19 seringkali sangat bersifat mekanistis, seperti
pernah diutarakan oleh Holbach (1723-1789) bahwa segi manusia yang tidak
kelihatan disebut jiwa, sedangkan segi alam yang tidak kelihatan disebut Tuhan.
Materialisme
Dialektika.
Di negara-negara komunis, materialisme dialektika merupakan
filsafat resmi negara, disingkat menjadi “ diamat ” (dialektika materialisme).
Secara singkat, dialektika beranggapan bahwa segala perubahan yang terjadi di
alam semesta adalah akibat dari konflik persaingan dan kepentingan pribadi
antar kekuatan yang saling bertentangan.
Ahli-ahli pikir yang meletakkan dasar bagi sistem ini adalah
Karl Marx (1818-1883) dan Friederich Engels (1820-1895), sedangkan W.E. Lenin
mengembangkannya lebih lanjut. Marx dan Engels menggunakan dialektika untuk
menjelaskan keseluruhan sejarah dunia. Marx menyatakan bahwa sejarah
kemanusiaan senantiasa didasarkan pada konflik, yang terutama antara kaum buruh
(proletar) dan masyarakat kelas atas (borjuis). Ia meramalkan bahwa kaum buruh
pada akhirnya akan menyadari bahwa harapan satu-satunya untuk mereka adalah
bersatu dan melakukan revolusi. Sebelum Marx juga telah ada seorang perintis
benama Tschernyschewski (+1889). Sarjana ini melawan dualisme jiwa-badan dengan
berpendapat bahwa manusia dapat diterangkan secara tuntas dengan bantuan ilmu
kimia dan fisiologi. Yang dianggap sebagai rohani sebenarnya adalah sifat
keteraturan dalam organisme yang memberikan reaksi.
Marx Engels dan Lenin juga mengakui bahwa alam rohani
mempunyai sifat-sifat khas, tetapi secara dialektika ini tergantung kepada
materi. Faham materialisme kuno menjadikan mesin sebagai ukuran untuk
menerangkan alam, kehidupan hewani dan manusia. Pendekatan ini tentu tidak
memadai karena dunia hendaknya dipandang sebagai suatu proses yang dinamis.
Dalam dialektika alam raya, perkembangan dan penjumlahan
kwantitatif pada suatu ketika berbalik secara dialektik dan terjadi suatu
perubahan kwantitatif. Lompatan kwantitatif dari energi menjadi unsur kimia.
Terus menjadi zat hidup terus lagi menjadi roh merupakan tahap-tahap dialektika
dalam alam kebendaan yang dinamis. Tak ada materi tanpa gerak dan dalam
perkembangan ini segala sesuatu saling bertalian, tak ada satu gejala yang
dapat dimengerti lepas dari gejala-gejala lainnya (lewat abstraksi-abstraksi
kita hanya membuat momen-momen saja). Demikianlah teori Hegel diputar dan
ditegakkan secara dialektika. Bukan materi yang merupakan hasil dari roh yang
berkembang secara dialektika melainkan sebaliknya.
Hegel mengambarkan bagaiman roh mengasingkan diri dari
dirinya sendiri karena dalam kenyataan semakin menjadi lahiriah. Hal ini
terutama ditampilkannya dalam konsep tentang materi.
\
BAB
III
PENUTUP
E. Kesimpulan
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang
membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan
atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis
ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah.
Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan
pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
Materialisme seringkali diartikan sebagai suatu aliran
filsafat yang meyakini bahwa tidak ada sesuatu selain materi yang sedang
bergerak. Pikiran, roh, kesadaran dan jiwa tidak lain hanyalah materi yang
sedang bergerak. Menurut mereka, pikiran memang ada tetapi tak lain disebabkan
dan sangat tergantung pada perubahan-perubahan material. Intinya, mereka
menganggap bahwa materi berada di atas segala-galanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar