BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Selama beberapa tahun
terakhir ini bangsa Indonesia banyak menghadapi masalah kekerasan, baik yang
bersifat masal maupun yang dilakukan secara individual. Masyarakat mulai merasa
resah dengan adanya berbagai kerusuhan yang terjadi dibeberapa daerah di
Indonesia. Kondisi seperti ini membuat perempuan dan anak-anak menjadi lebih
rentan untuk menjadi korban kekerasan.
Bentuk kekerasan terhadap
perempuan bukan hanya kekerasan secara fisik, akan tetapi dapat juga meliputi
kekerasan terhadap perasaan atau psikologis, kekerasan ekonomi, dan juga
kekerasan seksual. Hal ini sesuai dengan pendapat Hayati (2000) yang mengatakan
bahwa kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun
non-verbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, terhadap
seseorang atau sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek negatif
secara fisik, emosional, dan psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya.
B. Latar
Belakang Masalah
- Apa itu perkosaan ?
- Bagaimana dampak perkosaan terhadap sosial ?
- Bagaimana dampak perkosaan terhadap psikologis?
- Bagaiamana cara penyembuhannya?
C. Tujuan
Masalah
- Untuk mengetahui apa itu perkosaan !
- Untuk mengetahui dampak perkosaan terhadap sosial!
- Untuk mengetahui dampak perkosaan terhadap psikolgis!
- Untuk mengetahui cara penyembuhannya!
BAB II
PEMBAHASAN
D. Pengertian
Perkosaan
Perkosaan (rape)
berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas,
atau membawa pergi (Haryanto, 1997). Pada jaman dahulu perkosaan sering dilakukan
untuk memperoleh seorang istri. Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan
nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan
cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum (Wignjosoebroto dalam
Prasetyo, 1997). Pendapat ini senada dengan definisi perkosaan menurut Rifka
Annisa Women’s Crisis Center, bahwa yang disebut dengan perkosaan adalah segala
bentuk pemaksaan hubungan seksual. Bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan,
akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin.
Oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat kelamin perempuan dengan benda
adalah juga perkosaan. Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan
(Idrus, 1999). Menurut Warshaw (1994) definisi perkosaan pada sebagian besar
negara memiliki pengertian adanya serangan seksual dari pihak laki-laki dengan
menggunakan penisnya untuk melakukan penetrasi vagina terhadap korban.
Penetrasi oleh pelaku tersebut dilakukan dengan melawan keinginan korban. Tindakan
tersebut dilakukan dengan adanya pemaksaan ataupun menunjukkan kekuasaan pada
saat korban tidak dapat memberikan persetujuan baik secara fisik maupun secara
mental. Beberapa negara menambahkan adanya pemaksaan hubungan seksual secara
anal dan oral ke dalam definisi perkosaan, bahkan beberapa negara telah menggunakan
bahasa yang sensitif gender guna memperluas penerapan hukum perkosaan. Di dalam
Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa:
“barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan,
diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun”.
Berdasarkan unsur-unsur
yang terkandung dalam definisi perkosaan Black’s Law Dictionary (dalam
Ekotama, Pudjiarto, dan Widiartana 2001), makna perkosaan dapat diartikan
ke dalam tiga bentuk:
1. Perkosaan
adalah suatu hubungan yang dilarang dengan seorang wanita tanpapersetujuannya. Berdasarkan
kalimat ini ada unsur yang dominan, yaitu: hubungan kelamin yang dilarang
dengan seorang wanita dan tanpa persetujuan wanita tersebut.
2. Perkosaan
adalah persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang wanita
yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita yang
bersangkutan. Pada kalimat ini terdapat unsur- unsur yang lebih lengkap, yaitu meliputi
persetubuhan yang tidak sah, seorang pria, terhadap seorang wanita, dilakukan
dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita tersebut.
3. Perkosaan adalah perbuatan hubungan kelamin
yang dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita bukan istrinya dan
tanpa persetujuannya, dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan atau di bawah
kondisi ancaman lainnya. Definisi hampir sama dengan yang tertera pada KUHP
pasal 285.
Pada kasus perkosaan
seringkali disebutkan bahwa korban perkosaan adalah perempuan. Secara umum
memang perempuan yang banyak menjadi korban perkosaan. Mereka dapat dipaksa
untuk melakukan hubungan seksual meskipun tidak menghendaki hal tersebut.
Apabila mengacu pada KUHP, maka laki- laki tidak dapat menjadi korban perkosaan
karena pada saat laki-laki dapat melakukan hubungan seksual berarti ia dapat merasakan
rangsangan yang diterima oleh tub uhnya dan direspon oleh alat kelaminnya (Koesnadi,
1992). Akan tetapi pada kenyataannya ada pula laki- laki yang menjadi korban perkosaan
baik secara oral maupun anal.
E. Dampak
Sosial
Korban perkosaan dapat
mengalami akibat yang sangat serius baik secara fisikmaupun secara kejiwaan
(psikologis). Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban antara lain:
(1) kerusakan organ tubuh seperti robeknya selaput
dara, pingsan, meninggal;
(2) korban sangat mungkin terkena penyakit menular
seksual (PMS);
(3) kehamilan tidak dikehendaki.
Perkosaan sebagai salah
satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik secara halus
maupun kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial bagi perempuan yang
menjadi korban perkosaan tersebut. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan
adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan
melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara
paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual (Koesnadi, 1992). Sementara
itu, korban perkosaan berpotensi untuk mengalami trauma yang cukup parah karena
peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang membuat shock bagi
korban. Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat perkosaan maupun sesudahnya.Goncangan
kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik (Taslim, 1995). Secara umum
peristiwa tersebut dapat menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang.
Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa
traumatis (Hayati, 2000). Korban perkosaan dapat menjadi murung, menangis, mengucilkan
diri, menyesali diri, merasa takut, dan sebagainya
F. Dampak
Psikologis
Upaya korban untuk
menghilangkan pengalaman buruk dari alam bawah sadar mereka sering tidak
berhasil. Selain kemungkinan untuk terserang depresi, fobia, dan mimpi buruk,
korban juga dapat menaruh kecurigaan terhadap orang lain dalam waktu yang cukup
lama. Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain,
berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat
dari perkosaan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat
hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri.
Korban perkosaan memiliki
kemungkinan mengalami stres paska perkosaan yang dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang langsung
terjadi merupakan reaksi paska perkosaan seperti kesakitan secara fisik, rasa
bersalah, takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya. Stres jangka panjang merupakan
gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan
korban memiliki rasa percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup diri dari
pergaulan, dan juga reaksi somatik seperti jantung berdebar dan keringat
berlebihan. Stres jangka panjang yang berlangsung lebih dari 30 hari juga
dikenal dengan istilah PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder (Rifka
Annisa dalam Prasetyo, 1997).
Menurut Salev (dalam Nutt,
2001) tingkat simptom PTSD pada masing-masing individu terkadang naik turun
atau labil. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan yang terus menerus
dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang
dialaminya Menurut Shalev (dalam Nutt, 2000) PTSD merupakan suatu gangguan
kecemasan yang didefinisikan berdasarkan tiga kelompok simptom, yaitu experiencing,
avoidance, dan hyperarousal, yang terjadi minimal selama satu bulan
pada korban yang mengalami kejadian traumatik. Diagnosis bagi PTSD merupakan
faktor yang khusus yaitu melibatkan peristiwa traumatis. Diagnosis PTSD melibatkan
observasi tentang simptom yang sedang terjadi dan atribut dari simptom yang
merupakan peristiwa khusus ataupun rangkaian peristiwa. Selanjutnya definisi
PTSD ini berkembang lebih dari hanya sekedar teringat kepada peristiwa
traumatis yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi juga disertai
dengan ketegangan secara terus-menerus, tidak dapat tidur atau istirahat, dan mudah
marah. PTSD yang dialami oleh tiap individu terkadang tidak stabil. Hal ini disebabkan
karena adanya tekanan kehidupan yang terus menerus dan adanya hal-hal yang
mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang dialaminya. Para korban
perkosaan ini mungkin akan mengalami trauma yang parah karena
peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang
mengejutkan bagi korban. Secara umum peristiwa tersebut bisa menimbulkan dampak
jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi
setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000). Berdasarkan
definisi tersebut maka dapat diambil kesilmpulan bahwa PTSD adalah gangguan
kecemasan yang dialami oleh korban selama lebih dari 30 hari akibat peristiwa
traumatis yang dialaminya.
Dampak jangka pendek
biasanya dialami sesaat hingga beberapa hari setelahkejadian. Dampak jangka
pendek ini termasuk segi fisik si korban, seperti misalnya ada gangguan pada
organ reproduksi (infeksi, kerusakan selaput dara, dan pendarahan akibat robeknya
dinding vagina) dan luka-luka pada bagian tubuh akibat perlawanan atau
penganiayaan fisik. Dari segi psikologis biasanya korban merasa sangat marah,
jengkel, merasa bersalah, malu, dan terhina. Gangguan emosi ini biasanya
menyebabkan terjadinya kesulitan tidur (insomnia), kehilangan nafsu
makan, depresi, stres, dan ketakutan. Bila dampak ini berkepanjangan hingga
lebih dari 30 hari dan diikuti dengan berbagai gejala yang akut seperti
mengalami mimpi buruk, ingatan-ingatan terhadap peristiwa tiba-tiba muncul,
berarti korban mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau
dalam bahasa Indonesianya dikenal sebagai stres paska trauma (Hayati, 2000).
Bukan tidak mungkin korban merasa ingin bunuh diri sebagai pelarian dari
masalah yang dihadapinya. Menurut Freud (dalam Suryabrata, 1995), hal ini
terjadi karena manusia memiliki insting insting mati. Selain itu kecemasan yang
dirasakan oleh korban merupakan kecemasan yang neurotis sebagai akibat dari
rasa bersalah karena melakukan perbuatan seksual yang tidak sesuai dengan norma
masyarakat.
Terkadang korban merasa bahwa hidup mereka sudah
berakhir dengan adanya peristiwa perkosaan yang dialami tersebut. Dalam kondisi
seperti ini perasaan korban sangat labil dan merasakan kesedihan yang berlarut-larut.
Mereka akan merasa bahwa nasib yang mereka alami sangat buruk. Selain itu ada
kemungkinan bahwa mereka menyalahkan diri mereka sendiri atas terjadinya perkosaan
yang mereka alami. Pada kasus-kasus seperti ini maka gangguan yang mungkin terjadi
atau dialami oleh korban akan semakin kompleks.
Tanda-tanda PTSD tersebut
hampir sama dengan tanda dan simptom yang ada pada depresi menurut kriteria
dari American Psychiatric Association (dalam Davison dan Neala, 1990).
Tanda-tanda tersebut adalah:
1. sedih,
suasana hati depres;
2. kurangnya
nafsu makan dan berat badan berkurang, atau meningkatnya nafsu makan dan bertambahnya
berat badan;
3. kesukaran
tidur (insomnia): tidak dapat segera tidur, tidak dapat kembali tidur
sesudah terbangun pada tengah malam, dan pagi-pagi sesudah terbangun; atau
adanya keinginan untuk tidur terus-menerus;
4. perubahan
tingkat aktivitas;
5. hilangnya
minat dan kesenanga n dalam aktivtas yang biasa dilakukan;
6. kehilangan
energi dan merasa sangat lelah;
7. konsep
diri negatif; menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berguna dan bersalah;
8. sukar
berkonsentrasi, seperti lamban dalam berpikir dan tidak mampu memutuskan
sesuatu;
9. sering
berpikir tentang bunuh diri atau mati. Menurut Georgette (dalam Warshaw, 1994)
sindrom tersebut dialami oleh korban, baik korban perkosaan dengan pelaku yang
dikenal maupun pelaku adalah orang asing.
Hal tersebut akan
termanifestasikan ke dalam rentang emosi dan perilaku yang luas. Korban dapat
menunjukkan reaksi yang terbuka terhadap pengalamannya atau dapat juga mengontrol
responnya, bertindak secara kalem dan tenang. Bagaimanapun juga korban akan
mengalami perasaan takut secara umum ataupun perasaan takut yang khusus seperti
perasaan takut akan kematian, marah, perasaan bersalah, depresi, takut pada
laki- laki, cemas, merasa terhina, merasa malu, ataupun menyalahkan diri
sendiri. Korban dapat merasakan hal tersebut secara bersama-sama dalam waktu dan
intensitas yang berbeda beda.
Korban dapat juga memiliki
keinginan untuk bunuh diri. Sesaat setelah korban terlepas dari perkosaan
mungkin ia akan merasakan suatu kelegaan untuk sesaat karena sudah terlepas
dari suatu peristiwa yang sangat mengancam. Akan tetapi setelah peristiwa tersebut
maka korban akan mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi ataupun memfokuskan
pemikirannya untuk menampilkan tugas yang sederhana. Korban akan merasa gugup,
gelisah, mudah terganggu, mengalami goncangan, menggigil, nadi berdebar secara
kencang, dan badan terasa panas dingin. Korban juga dapat mengalami kesulitan
tidur, kehilangan nafsu makan, mengalami gangguan secara medis, diantaranya mungkin
berhubungan langsung dengan penyerangan yang dialaminya.
G. Alternatif Penyembuhan
Proses penyembuhan korban
dari trauma perkosaan ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan
ini diperlukan untuk membangkitkan semangat korban dan membuat korban mampu
menerima kejadian yang telah menimpanya sebagai bagian dari pengalaman hidup
yang harus ia jalani (Hayati, 2000). Korban perkosaan memerlukan kawan bicara,
baik teman, orang tua, saudara, pekerja sosial, atau siapa saja yang dapat
mendengarkan keluhan mereka.
BAB III
PENUTUP
H.
Kesimpulan
Perkosaan sebagai salah
satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik secara halus
maupun kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial bagi perempuan yang
menjadi korban perkosaan tersebut. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan
adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan
melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara
paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual.
I. Saran
Bentuk kekerasan terhadap
perempuan bukan hanya kekerasan secara fisik, akan tetapi dapat juga meliputi
kekerasan terhadap perasaan atau psikologis, kekerasan ekonomi, dan juga
kekerasan seksual. Kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku, baik
verbal maupun non-verbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang,
terhadap seseorang atau sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek
negatif secara fisik, emosional, dan psikologis
DAFTAR PUSTAKA
Abar,
A. Z. 1995. Perkosaan, Eskalasi Emosi Publik dan Media Massa. Bernas, 9
September
1995.
Abar,
A. Z & Tulus Subardjono. 1998. Perkosaan dalam Wacana Pers National,
kerjasama
PPK & Ford Foundation. Yogyakarta.
Abrar,
A. N. 1998. Pelecehan dan Kekerasan Seksual, Analisis Isi Surat Kabar
Indonesia.
Yogyakarta: Kerjasama Ford Foundation dengan Pusat Penelitian Kependudukan
Universitas Gadjah Mada.
Agaid,
N. 2002. “Penyerangan Seksual Terhadap Anak atau Perlakuan Salah Secara Seksual
Terhadap Anak” dalam Training Workshop on Protective Behavior Against
Child Sexual Abuse Among Street and Sexually Exploited Children, Jakarta,
ICWF-Childhope Asia Philippines, 3-7 Maret 2002. Jakarta.
Darwin,
M. Potret Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Penanganan Melalui Media, disampaikan
pada peluncuran buku ‘Di Balik Tirai Tabu’ dan ‘Ketika Ranting Patah’,
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 7 Oktober 2000. (Tidak diterbitkan).
Davison,
G. C, and Neale, J. M. 1990. Abnormal Psychology. New York: John Wiley
& Sons.
Ekotama,
Pudjiarto, dan G. Widiartana. 2001. Abortus Provocatus Bagi Korban
Perkosaan
Perspektif Victimologi Kriminologi dan Hukum Pidana. Yogyakarta:
Universitas
Atma Jaya.
Harkrisnowo,
H. 2000. Hukum Pidana Dan Perspektif Kekerasan Terhadap Perempuan
Indonesia.
Jurnal Studi Indonesia Volume 10 (2) Agustus 2000.
Haryanto.
1997. Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak Perkosaan Terhadap Wanita. Yogyakarta:
Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada.
Hayati,
E. N. 2000. Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan
Konseling
Berwawasan Gender. Yogyakarta: Rifka Annisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar