Sahabat…
yaph sahabat or sohib,
seberapa pentingkah mereka untuk kita???
kalo buatq, sebuah persahabatan itu
penting banget…
secara pada daasarnya kita itu
adalah mahkluk sosial dimana kita ini butuh bersosialisasi
b butuh untuk berkumbul, namun, disisi yang laen kita itu adalah juga termasuk
mahluk EGO.
jika EGO (individualisme) yang lebih dominan, maka munculah sikap EGOISME.
Existensi sahabat, dapat membantu
kita untuk mengurangi rasa EGOISME. Dimana kita mengerti akan
adanya kebutuhan untuk saling mendengar dan didengar. saling berbagi saling
berdekatan. dan bahkan bisa juga terjadi
saling "tengkar" dan ini yang membuat persahabatan itu menjadi
penting dan dapat
membuat hidup kita lebih dinamis.
Secara Teoritis, sahabat adalah
orang yang bisa meneerima kamu apa adanya, saat kamu benar ia akan mendukungmu…
saat kamu salah ia akan memberitahumu, menyalahkanmu..
"menyalahkan kesalahanmu,TETAPI BUKAN hidupmu" dan ia nggak akan
nge-cap kamu akan kesalahanmu, tapi aia akan memperbaiki hidupmu.
Ia mungkin ahag gak akan selalu ada bersamamau. tapi ia bisa menjadi norang
pertama yang siap
n iklhas kalo kamu hubungi kapanpun dan dimanapun keberadaanya. Dia yang mebuat
kita sanggup untuk
"berdarah-darah" karena berusaha memberlanya, dan membuat kamu rela
melakukan pa saja untuk melihat senyumnya kembali mekar.
yah sulit memang.. untuk dilakukan…
aq disini ga punya banyak sahabat.
saat q merasakan meraka menjauh, q berpikir bahwa meraka mungkin tak nyaman
bersama aQ. n ini membuat q lebih berpikir dan bertanya-tanya
"Apa ada yang salah dalam diriku???"
yang Q tau aQ sangat menghargai
pesahabatanq. Tapi apakah penghargaan yang ku berikan udah cukup untuk
mereka??? N, parahNya,…
"apakah dia tahu bahwa sebenarnya aQ merasa sangat nyaman ketika
bersamanya???"
Hmmmmm….Akhirnya.. aQ menemukan ada
kesalahan dalam cara pandangq mengenai sahabat.
aQ n mungkin temen-temen yang laen mungkin menganggap bahwa sahabat itu adalah
tempat kita bisa bebas berkeluh kesah apa ajah.
But, pernahkah berpikir, bahwa sahabat itu juga manusia.. yang JUGA membutuhkan
t4 berkeluh kesah???
sahabat juga manusia dengan segala keterbatasanya, yang butuh dibahagiakan,
butuh dicintai dan dimengerti…
diberi.. juga diterima.. BUKAN HANYA menerima.
Ada Pepatah "Sesuatu akan
menjadi sangat berharga saat sudah kehilanganya" nggak harus gitu dulu
khan hehe…
kalo udah sampe kehilangan berarti sudah terlambat… kita nggak mungkin untuk
mengembalikan nya seperti semula.. so, mulaijlah mencintai apa yang kamu miliki
bukan yang kamu ingingi.
shabat, dia bukan dewa, dia bukan
superman, dia juga manusia yang sama seperti kita…
mulailah mikir hal2 yang bisa menyenangkan yang mungkin belum kita lakukan
untuk sahabat kita..
britahu mereka bahwa kita meresa nyaman dan asik jika berada didekatnya apapun
dan bagaimanapun keadaanya.
beritahu merek bahwa kita siap untuk dihubungi kapanpun dan dimanapun hanya
untuk mendengarkan
keluh kesahnya "Ini jerawatku kok tambah banyak yah???" atau dan
tetap tersenyum karena gerutuan sahabat kita tentang kita
"kamu kok nyebelin banget sih ???"
("Ayo bersatu kalahkan musuh… Satu Komando…Ambil semua
perlengkapannya…kita dalam kondisi Siaga 1…")
Bagi teman-teman yang berada di kampus mungkin akhir-akhir ini mendengar
kalimat tersebut. Ada apa dengan kalimat diatas, mungkin sudah menjadi rahasia
umum bahwa kalimat diatas menandakan adanya suatu aktivas yang ‘sedikit’ geli
jika disebutkan dikalangan kampus, ‘TAWURAN’. Tapi untuk memperhalus predikat
mahasiswa sebaiknya kita menggunakan kata ‘KOMPETISI’ untuk menggantikan kata ‘
TAWURAN’ (cz penulis tidak terima kalau ‘tawuran’ dilekatkan dengan mahasiswa,
walaupun faktanya begitu). Dalam tulisan kali ini kita tidak akan membahas
oknum yang benar dan salah, tapi lebih melihat apa akar masalah yang
menimbulkan ‘kompetisi’ antar mahasiswa.
Mari kita Sedikit mengingat konsep mahasiswa yang sering diajarkan oleh senior
terdahulu ketika PPD-A, LK 1 dan sejenisnya; “Orang-orang yang berada di
dalam kampus adalah orang-orang yang akan siap untuk melakukan suatu perubahan.
Bahkan dalam kehidupan bermasyarakat, sering mengharapkan adanya suatu
perubahan ditengah-tengah mereka dari kaum intelektual ini, karena mereka
menganggap bahwa kampus adalah sebagai sarana dalam mengembangkan diri dan
berbagai kreativitas untuk menciptakan ilmu pengetahuan dan wawasan yang lebih
baik. Kampus adalah aset besar yang selalu dijadikan sebagai lahan perubahan
dan kemajuan suatu bangsa. Banyak orang mengatakan, bahwa mahasiswa adalah
agent of change atau agen perubahan. Artinya, setiap perubahan yang terjadi di
masyarakat, baik perubahan itu parsial ataupun secara total pasti melibatkan
para calon intelektual ini”.
‘Kompetisi’ antar mahasiswa untuk zaman ini sudah sangat akut dan terus
menggerogoti kehidupan kampus. Inilah bentuk perubahan yang telah dilakukan
oleh mahasiswa, perubahan dari kondisi buruk menuju lebih buruk lagi, bukankah
itu bisa disebut perubahan. Memang sangat ‘betul’ apa yang diajarkan oleh
senior kita bahwa mahasiswa adalah pelopor ‘perubahan’. Sekarang bukan hanya
mahasiswa saja, tapi masyarakat mulai mencontohkannya juga. Kalau tidak percaya
silakan ‘nongkrong’ didepan TV untuk melihatnya. Kampus adalah miniatur
masyarakat, dimasyarakat ada pencuri dikampus juga ada, dimasyarakat ada
penjudi dikampus juga ada, dimasyarakat ada koruptor dikampus juga ada,
dimasyarakat ada kupu-kupu malam dikampus juga ada ayam kampus dan masih banyak
lagi persamaaan-persamaannya. Tapi ingat dikampus ada satu hal yang tidak
dimiliki oleh masyarakat sipil biasa, yaitu kampus tempat lahirnya suatu
perubahan. Kampuslah menjadi standar moral paling akhir ketika moral suatu
bangsa hancur.
Namun faktanya mahasiswa sudah kembali kepada kelompok ‘komunal primitif’
dimana menyelesaikan masalah hanya dengan satu metode yaitu ‘kompetisi’. Lebih
anehnya lagi aktivitas ini seakan-akan sudah masuk ‘kalender akademik’ yang
kejadiannya ada waktunya. Bahkan ada saja beberapa mahasiswa lama yang
ber’dakwah’ bahwa ‘kompetisi’ merupakan ritual penting untuk memperkuat
persatuan & solidaritas antar mahasiswa dalam kelompok tertentu
(Hentikanlah menyebarkan aliran sesat dikalangan intelektual…cukuplah itu
menjadi memori anda wahai mahasiswa lama…tidak perlu lagi menurunkan kepada
generasi-generasi anda…berikanlah mereka Hikmah dari semua kejadian yang telah
anda alami…bukannya mendorong kaum intelektual untuk melakukan aktivitas itu
lagi).
Jika mau menelusuri term ‘Kompetisi’ yang sebenarnya lebih populer terjadi pada
tahun 90-an menjadi trade marknya pelajar SMP-SMU, sekarang virus tersebut
menjangkiti mahasiswa. Padahal mahasiswa yang identik dengan simbol perubahan
intelektual muda, atau bisa disebut agent of change sudah sepantasnya
memberikan contoh yang baik bagi bangsa. Apalagi secara historis, peran
mahsiswa sangat substansial dalam membangun bangsa ini sejak zaman kemerdekaan
hingga reformasi yang semakin terpuruk . Akan tetapi kemahasiswaan itu ternyata
begitu mudahnya tercoreng hanya karena emosi, arogansi kekuasaan, kepentingan
atau alasan solidaritas serta slogan-slogan ‘kosong lainnya’. Apa yang terjadi
dengan mahasiswa kita? Padahal mereka sangat dikenal sebagai manusia rasional,
akademis, menyelesaikan masalah secara arif, namun tiba-tiba berubah seratus
delapan puluh derajat, berulah dengan tindakan irrasional, tanpa berpikir
akibat yang ditimbulkannya.
Penyebab terjadinya ‘kompetisi’ antara mahasiswa hanyalah hal-hal yang sepele
misalnya saling ledek (baca: calla), efek kalah menang pertandingan olahraga
antar fakultas, mengganggu cewek/mahasiswi beda fakultas atau beda universitas,
senggolan kecil, tidak sopan saat lewat, efek yel-yel fakultas saat ospek,
rebutan atribut warna, menyanyikan lagu pop yang diklaim milik sekelompok
mahasiswa padahal lagu itu adalah lagu yang dikomersilkan di masyarakat. Begitu
banyak lagi alasan-alasan bodoh dan tidak masuk akal lainnya yang bisa menjadi
penyebab ‘kompetisi’. Inilah kemunduran berpikir mahasiswa akibat pengkaderan
yang tidak progresif, transformatif & ideologis.
Begitu banyak pembenaran yang dilakukan oleh mahasiswa untuk melakukan
aktivitas ini. Mulai dari kelompok yang sedikit ‘idealis’ yaitu untuk
membuktikan rasa solidaritas, kelompok ‘pragmatis’ yaitu sekedar menyalurkan
stress akibat tekanan akademik hingga kelompok ‘plagiator’ yaitu mencontohkan
apa yang telah dilakukan oleh pendahulu-pendahulu kita alias kultur (Brak….).
Mungkin kita tidak perlu mengomentri kelompok pragmatis & plagiator,
biarkanlah mereka hancur dengan alasannya itu. Tapi untuk kelompok yang sedikit
‘idealis’ yang melakukan aktivitas ‘kompetisi’ atas dasar membangun solidaritas
(keren sekali…). Memang kalau dilihat faktanya memang akan muncul ‘rasa
solidaritas’ ketika bersama-sama mengalahkan ‘musuh’. Lihat saja semua individu
saling bersatu dan bahu membahu serta cepat tanggap dalam merespon musuh yang
datang, suasana kerja sama sangat terlihat. Mulai dari penyedia logistik (batu,
kayu, dan lainnya) hingga militansinya yang selalu berada didepan untuk terus
membakar semangat ‘prajuritnya’ agar tidak henti-hentinya menghujani lawan
dengan batu. Kekompakan dan persaudaraan sangat terlihat jelas.
Bagi kawan-kawan mahasiswa yang masih memiliki hati nurani. Persatuan &
solidaritas seperti itulah yang kalian inginkan. Solidaritas yang dibangun atas
dasar adanya suatu tekanan atau ketertindasan hanyalah solidaritas yang semu,
rapuh dan temporer serta menimbulkan kerusakan fisik maupun psikis. Solidaritas
seperti itu bisa muncul takkala pola pikir manusia mulai merosot. Ikatan ini
terjadi ketika manusia mulai hidup dalam suatu kelompok tertentu. Saat itu,
‘naluri mempertahankan diri’ sangat berperan dan mendorong mereka untuk
mempertahankan eksistensinya (baca: ego kelompok), tempat mereka berada dan beraktivitas.
Dari sinilah muncul ikatan itu, ikatan yang paling lemah dan rendah nilainya.
(maaf mungkin agak sedikit kasar) Ikatan semacam ini muncul dalam dunia hewan
serta senantiasa emosional sifatnya. Rasa persaudaraan (kerjasama &
solidaritas) muncul ketika ada ancaman dari luar yang hendak menyerang. Tetapi
bila suasananya aman dari serangan musuh atau musuh tersebut dapat dilawan dan
dipecundangi, sirnlah kekuatan itu. Karena itu, solidaritas seperi itu sangat
rendah nilainya.
Ikatan seperti itu tidak layak dijadikan pengikat antar mahasiswa dalam
kehidupannya yang penuh dengan nuansa intelektual & ilmiah. Ikatan yang
benar untuk mengikat mahasiswa adalah ikatan pemikiran, inilah yang biasa
disebut dengan ikatan ideologi. Untuk itu saya mengharapkan lembaga
kemahasiswaan untuk melakukan suatu transformsasi model organisasi yang lebih
mengarahkan mahasiswa untuk berjalan sesuai dengan fitrahnya.
Melihat gambaran diatas, bangsa Indonesia saat ini memang sedang dalam keadaan
benar- benar sakit. Bahkan sakitnya sudah sangat akut dan perlu segera opname.
Mahasiswa sebagai kaum intelektual saja sudah tidak mampu menjaga
intelektualitasnya dalam menghadapi masalah, apalagi dengan masyarakat awam?
Mahasiswa saja tidak mampu memecahkan masalah dengan cara elegan, bagaimana
dengan masyarakat awam? Lalu apa yang bisa diharapkan dari para mahasiswa ini?.
Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pengurus lembaga kedepannya. Berbuatlah
dan berkarya…Masa depan bangsa berada ditangan anda wahai kaum Intelek. Selalu
optimis dan….KEEP ON FIGHTING TILL THE END. Saatnya meng’INTELEKTUAL’kan kembali kaum INTELEKTUAL.
(“Berapa SKS kau ambil bro…,” “ 24 SKS fren…”, “kenapa na banyak sekali…saya
kira banyak tugas besar dan lab yang ko ambil”. “mau bagaimana lagi…supaya
cepat sarjana dan cepat kerja,”. “sessa ko itu nanti, bisa ji ko pelajari
semuanya itu dalam 1 semester kah?”.....)
Inilah sepenggal cerita yang sering kita jumpai akhir-akhir ini, ketika
pengambilan KRS dimulai. Saat ini, diantara mereka yang masih kuliah di PTN
maupun PTS, ‘Cepat lulus’ memang merupakan kata kunci yang sering dikemukakan
oleh mahasiswa sekarang dengan alasan yang bermacam-macam, seperti ingin cepat
selesai agar tidak terlalu lama di kampus, atau ingin cepat kerja agar bisa
membantu orang tua. Tapi alas an yang paling dominan dan sering muncul adalah
biaya kuliah yang mahal dan ingin segara kerja menghasilkan uang. Meskipun
demikian, mereka tidak dapat menjawab ketika ditanya, “kalau sudah menghasilkan
uang lalu mau buat apa?”. Paling-paling, jawaban yang mereka berikan, “ya, paling
tidak bisa mengurangi beban orang tua, kasihan kan orang tua kalau harus susah
mencari biaya kuliah?”.
Apa pun alasannya, kecenderungan ingin cepat lulus dari bangku kuliah itu
menunjukkan bahwa orientasi belajar sekarang memang lebih ke produk atau hasil
akhir dan kurang menghargai proses. Padahal, proses mendapatkan ilmu
pengetahuan jauh lebih berharga daripada produk pengetahuan itu sendiri. Tidak
ada ilmu yang dapat dipetik begitu saja tanpa melalui proses.
Jika kita melihat orang-orang dulu dengan tradisi mencari guru oleh anak-anak
muda yang menginjak dewasa untuk mengisi jiwanya dengan belajar kepada
seseorang yang dinilai memiliki ilmu. Ilmu yang mereka cari bukanlah ilmu magis
atau sihir, melainkan ilmu yang mereka anggap berguna untuk bekal hidup sebagai
petani, seperti ilmu mengusir hama, mengusir bala, bencana, dan sejenisnya.
Dalam proses pencarian ilmu itu, mereka melalui berbagai tahapan, seperti puasa
senin-kamis selama tujuh kali, puasa mutih (tidak makan garam) ngrowot (hanya
makan umbi-umbian dan sayur). Setelah itu pada malam ketujuh tidur dihutan,
ilmu yang mereka dapatkan dicoba dulu, membawa kayu bakar yang cukup banyak,
lalu setelah sampai dirumah diletakkan dengan cara dibanting, dan masih ada
tahap-tahap lainnya.
Tahapan demi tahapan dalam proses berguru itu dijalani secara berurutan satu
persatu. Bukan berarti kita harus melakukan metode seperti itu untuk mendapat
pengetahuan, tapi nilai yang bisa kita ambil adalah kesediaan menjalani tahapan
satu demi satu secara berurutan itu adalah proses mencari ilmu. Jadi, mereka
menyakini bahwa ilmu hanya dapat diperoleh setelah melalui proses panjang. Ilmu
tidak bisa dikuasai begitu saja secara kilat, bila kita cermati proses berguru
anak-anak muda kampung itu cukup memakan waktu panjang, ketekunan, kesabaran,
ketabahan, keberanian dan perjuangan berat.
Belajar dari orang dulu yang memiliki kemauan belajar yang kuat walaupun belum
mempunyai fasilitas pendidikan seperti sekarang ini membuat kita terkesima,
namun ketika melihat anak-anak muda (mahasiswa & pelajar) sekarang selalu
ingin serba cepat untuk bisa mendapatkan hasil. Mereka tidak mau melewati semua
proses yang panjang dan melelahkan, menuntut ketekunan, kesabaran, kerja keras,
apalagi perjuangan. Semua ingin serba cepat ibaratnya sekali seduh langsung
jadi. Kalau perlu, tidak usah memakai proses sedikit pun, tapi langsung jadi.
Ibaratnya bim salabim, abracadabra, vingardium laviosa, jadilah ilmu dan ijasah
yang saya nanti-nantikan untuk bekal mencari uang.
Kecenderungan serba instan dalam memperoleh ilmu pengetahuan sekaligus
memperlakukan ilmu sebagai proses dan kurang menghargai proses itu, dari hari
ke hari semakin kuat. Istilah “instan” yang semula hanya dikenal dalam makanan
dan minuman untuk menyebut mie atau susu, secara tiba-tiba menyeruak masuk
menjadi kosakata ke dalam segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan mahasiswa.
Dalam memperoleh ilmu pengetahuan, mahasiswa inginnya sekali seduh langsung
jadi atau langsung dapat. Padahal kenyataannya ilmu pengetahuan tidak seperti mie
atau susu instan yang sekali seduh langsung dapat dinikmati.
Istilah belajar ‘sks’ (system kebut semalam), untuk menunjuk para mahasiswa
yang suka belajar dan menyelesaikan tugas semalam suntuk setiap kali mau
menghadapi ujian atau deadline tugas, tapi setelah itu tidak belajar dan kerja
tugas lagi, merupakan cerminan dari kuatnya budaya instan tadi. Tidak
mengherankan bila indeks prestasi mahasiswa tersebut menjadi bagus, tapi
penguasaan ilmu pengetahuan dalam bidangnya tidak sesuai dengan tingginya nilai
IP. Berdasarkan pengalaman beberapa alumni, mereka yang memiliki IP cukup
tinggi, rata-rata system pembelajarannya lebih terfokus pada mekanisme
pembahasan soal-soal ujian tahun-tahun sebelumnya. Akibatnya, setelah lulus,
meskipun nilai IP mereka tinggi, mereka bingung mencari pekerjaan atau tidak
menguasai pengetahuan diluar yang mereka pelajari, apalagi tidak punya
pengalaman organisasi, lengkaplah gelar kuper.
Bahkan sejujurnya, pengetahuan tidak hanya ditempatkan sebagai produk, tapi
sebagai instrument saja, yaitu instrument mencari gelar atau pekerjaan. Tujuan
akhir yang ingin dicapai bukan penguasaan ilmu pengetahuan, melainkan selembar
ijasah untuk bekal mencari kerja yang menghasilkan uang. Padahal, belajar di
institusi pendidikan formal itu sebetulnya proses untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan, pendewasaan diri, pematangan pribadi, berkomunikasi,
berorganisasi, dan membangun relasi dengan sesama agar menjadi pribadi yang
dewasa, berwawasan luas, berjiwa matang, tidak kuper, kritis, punya ideologi yang
kuat, memiliki integritas yang tinggi dan tidak plin-plan.
Belum lagi salah satu fenomena remaja yang khas dan menonjol yaitu lahirnya
generasi mall. Mereka menghabiskan waktunya untuk nongkrong-nongkrong di
mall-mall sambil mejeng, gossip dan berfantasi tentang kehidupan serba enak dan
nyaman. Tragisnya, gaya hidup remaja mall tidak lagi hanya monopoli kaum muda
SMA tapi kalangan intelektual sekelas mahasiswa ikut terkena virus generasi
mall. Soalnya, jaringan ekonomi kapitalisme begitu dahsyat melakukan ekspansi
pembangunan mall ke berbagai pelosok-pelosok negeri ini. Sungguhpun tidak
tersedia data kuantitatif dari hasil pemantauan perkembangan gaya hidup remaja
mall, namun bila melihat kenyataannya di lapangan menunjukkan kecenderungan
terus meningkat. Buktinya, walau jumlah mall yang dibangun semakin banyak,
tetap saja selalu dipenuhi kaum remaja yang mejeng (baca: tebar pesona) dengan
tujuan yang beragam. Generasi mall kemudian diikuti dengan generasi handphone,
yaitu kecendrungan remaja untuk berhaha-ria dengan HP (handphone). Meskipun
kondisi ekonomi orang tua sedang krisis, jumlah mereka tetap makin banyak,
bahkan cenderung meningkat.
Akibat dari kehadiran generasi ini adalah meningkatnya pola konsumerisme di
kalangan remaja sekaligus lahirnya budaya mall; suatu budaya yang mengambil
wacana dunia mall; pakaian serba ketat, pocci-pocci, distro (baca:mahal),
trendi, suka yang serba instan dan mengembangkan bahasa gaul yang hanya bisa
dimengerti oleh kelompok mereka sendiri. Ini konsekuensi logis dari berkembangnya
budaya kapitalisme yang serba bebas; sekaligus pencitraan baru, dimana pakaian
tidak lagi dilihat secara fungsional, tapi lebih dimaknai pada nilai
simboliknya (merek atau harga). Demikian juga pemakaian pada produk lain,
seperti HP dan Jam tangan, sebetulnya lebih merupakan simbol modern. HP yang
oleh perancangnya dimaksudkan untuk memudahkan komunikasi bagi orang-orang yang
sibuk sehingga tidak tentu berada dalam satu tempat yang tetap. Oleh remaja
dimaknai sebagai kemodernan, lihat saja banyak HP yang lebih berfungsi sebagai
mp3 atau camera dibandingkan komunikasi, itupun jika dipakai komunikasi hanya
sms-an atau chat FB yang buang-buang pulsa saja seperti saling ‘gombal’ sampe
larut malam. Jam tangan mahal-mahal, tapi datang kuliah atau rapat sering
terlambat, kemana-mana bawa HP tapi selalu ingkar janji tanpa memberi
keterangan (apalagi kalau disuruh datang rapat).
Inilah kondisi kemahasiswaan kita, sebagai orang yang hidup dizaman sekarang
ini tidak sepantasnya kita berdiam diri. Para pendidik kita wajib untuk
memikirkan sistem baru untuk membendung bahkan menghilangkan budaya hedonisme
ini. Sebagai lembaga kader, hal ini merupakan tantangan besar bagi dept.
Pengkaderan untuk melakukan revitalisasi budaya intellectual dan ilmiah
mahasiswa dengan mentransformasikan & kristalisasi ideologi ditubuh kader
lembaga. (DS)
REVITALISASI PARADIGMA PENGKADERAN MENUJU BUDAYA INTELEKTUAL DAN ILMIAH
Belajar atau
pembelajaran adalah merupakan sebuah kegiatan yang wajib kita lakukan dan kita
berikan kepada anak-anak kita. Karena ia merupakan kunci sukses unutk menggapai
masa depan yang cerah, mempersiapkan generasi bangsa dengan wawasan ilmu
pengetahuan yang tinggi. Yang pada akhirnya akan berguna bagi bangsa, negara,
dan agama. Melihat peran yang begitu vital, maka menerapkan metode yang efektif
dan efisien adalah sebuah keharusan. Dengan harapan proses belajar mengajar
akan berjalan menyenakngkan dan tidak membosankan. Di bawah ini adalah beberapa
metode pembelajaran efektif, yang mungkin bisa kita persiapkan.
Metode
Debat
Metode debat merupakan salah satu metode pembelajaran yang
sangat penting untuk meningkatkan kemampuan akademik siswa. Materi ajar dipilih
dan disusun menjadi paket pro dan kontra. Siswa dibagi ke dalam beberapa
kelompok dan setiap kelompok terdiri dari empat orang. Di dalam kelompoknya,
siswa (dua orang mengambil posisi pro dan dua orang lainnya dalam posisi
kontra) melakukan perdebatan tentang topik yang ditugaskan. Laporan
masing-masing kelompok yang menyangkut kedua posisi pro dan kontra diberikan
kepada guru.
Selanjutnya
guru dapat mengevaluasi setiap siswa tentang penguasaan materi yang meliputi
kedua posisi tersebut dan mengevaluasi seberapa efektif siswa terlibat dalam
prosedur debat.Pada dasarnya, agar semua model
berhasil seperti yang diharapkan pembelajaran kooperatif, setiap model harus
melibatkan materi ajar yang memungkinkan siswa saling membantu dan mendukung
ketika mereka belajar materi dan bekerja saling tergantung (interdependen)
untuk menyelesaikan tugas. Ketrampilan sosial yang dibutuhkan dalam usaha berkolaborasi
harus dipandang penting dalam keberhasilan menyelesaikan tugas kelompok.
Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada siswa dan peran siswa dapat ditentukan
untuk memfasilitasi proses kelompok. Peran tersebut mungkin bermacam-macam
menurut tugas, misalnya, peran pencatat (recorder), pembuat kesimpulan
(summarizer), pengatur materi (material manager), atau fasilitator dan peran
guru bisa sebagai pemonitor proses belajar.
Metode
Role Playing
Metode Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran
melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi
dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau
benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu
bergantung kepada apa yang diperankan. Kelebihan metode Role Playing: Melibatkan seluruh siswa dapat berpartisipasi mempunyai
kesempatan untuk memajukan kemampuannya dalam bekerjasama.
1 Siswa bebas mengambil keputusan dan
berekspresi secara utuh.
2. Permainan
merupakan penemuan yang mudah dan dapat digunakan dalam situasi dan waktu yang
berbeda.
3. Guru
dapat mengevaluasi pemahaman tiap siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan
permainan.
4. Permainan
merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak.
Metode
Pemecahan Masalah (Problem Solving)
Metode pemecahan masalah (problem solving) adalah penggunaan
metode dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi
berbagai masalah baik itu masalah pribadi atau perorangan maupun masalah kelompok
untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama.Orientasi pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang
pada dasarnya adalah pemecahan masalah.
Adapun keunggulan metode problem solving sebagai berikut:
1. Melatih
siswa untuk mendesain suatu penemuan.
2. Berpikir
dan bertindak kreatif.
3.
Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis
4.
Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan.
5.
Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.
6.
Merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk menyelesaikan masalah
yang dihadapi dengan tepat.
7. Dapat
membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dunia
kerja. Kelemahan metode problem solving sebagai berikut:
1. Beberapa
pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini. Misal terbatasnya
alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta
akhirnya dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut.
2.
Memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metode
pembelajaran
yang lain.
Pembelajaran
Berdasarkan Masalah
Problem Based Instruction (PBI) memusatkan pada masalah
kehidupannya yang bermakna bagi siswa, peran guru menyajikan masalah,
mengajukan pertanyaan dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog.
Langkah-langkah: 1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan
logistik yang dibutuhkan.
Memotivasi
siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih. 2. Guru membantu siswa mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut
(menetapkan topik, tugas, jadwal, dll.) 3. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang
sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan
masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah.
4. Guru
membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti
laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.
5. Guru
membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan
mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
Kelebihan: 1. Siswa dilibatkan pada kegiatan belajar sehingga
pengetahuannya benar-benar diserapnya dengan baik.
2. Dilatih
untuk dapat bekerjasama dengan siswa lain.
3. Dapat
memperoleh dari berbagai sumber.
Kekurangan:
1. Untuk
siswa yang malas tujuan dari metode tersebut tidak dapat tercapai.
2.
Membutuhkan banyak waktu dan dana.
3. Tidak
semua mata pelajaran dapat diterapkan dengan metode ini
Cooperative
Script
Skrip kooperatif adalah metode belajar dimana siswa bekerja
berpasangan dan secara lisan mengikhtisarkan bagian-bagian dari materi yang
dipelajari.
Langkah-langkah: 1. Guru membagi siswa untuk berpasangan.
2. Guru
membagikan wacana / materi tiap siswa untuk dibaca dan membuat ringkasan. 3. Guru dan siswa menetapkan siapa yang pertama berperan
sebagai pembicara dan siapa yang berperan sebagai pendengar.
4.
Pembicara membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan memasukkan ide-ide
pokok dalam ringkasannya. Sementara pendengar menyimak / mengoreksi /
menunjukkan ide-ide pokok yang kurang lengkap dan membantu mengingat /
menghapal ide-ide pokok dengan menghubungkan materi sebelumnya atau dengan
materi lainnya.
5. Bertukar
peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar dan sebaliknya, serta
lakukan seperti di atas.
6.
Kesimpulan guru.
7. Penutup.
Kelebihan:
• Melatih
pendengaran, ketelitian / kecermatan.
• Setiap
siswa mendapat peran.
• Melatih
mengungkapkan kesalahan orang lain dengan lisan.
Kekurangan:
• Hanya digunakan untuk mata pelajaran tertentu
• Hanya
dilakukan dua orang (tidak melibatkan seluruh kelas sehingga koreksi hanya sebatas
pada dua orang tersebut).
Picture
and Picture
Picture and Picture adalah suatu metode belajar yang
menggunakan gambar dan dipasangkan / diurutkan menjadi urutan logis.
Langkah-langkah: 1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.
2. Menyajikan
materi sebagai pengantar.
3. Guru
menunjukkan / memperlihatkan gambar-gambar yang berkaitan dengan materi. 4. Guru menunjuk / memanggil siswa secara bergantian
memasang / mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis.
5. Guru
menanyakan alas an / dasar pemikiran urutan gambar tersebut.
6. Dari
alasan / urutan gambar tersebut guru memulai menanamkan konsep / materi sesuai
dengan kompetensi yang ingin dicapai.
7.
Kesimpulan / rangkuman.
Kebaikan:
1. Guru
lebih mengetahui kemampuan masing-masing siswa.
2. Melatih
berpikir logis dan sistematis.
Kekurangan:
Memakan
banyak waktu. Banyak siswa yang pasif.
Numbered
Heads Together
Numbered Heads Together adalah suatu metode belajar dimana
setiap siswa diberi nomor kemudian dibuat suatu kelompok kemudian secara acak
guru memanggil nomor dari siswa.
Langkah-langkah: 1. Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam
setiap kelompok mendapat nomor.
2. Guru
memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya.
3. Kelompok
mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok dapat
mengerjakannya.
4. Guru
memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil
kerjasama mereka.
5.
Tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain.
6.
Kesimpulan.
Kelebihan:
• Setiap
siswa menjadi siap semua.
• Dapat
melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh.
• Siswa
yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai.
Kelemahan:
•
Kemungkinan nomor yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru.
• Tidak
semua anggota kelompok dipanggil oleh guru
Metode
Investigasi Kelompok (Group Investigation)
Metode investigasi kelompok sering dipandang sebagai metode
yang paling kompleks dan paling sulit untuk dilaksanakan dalam pembelajaran
kooperatif. Metode ini melibatkan siswa sejak perencanaan, baik dalam
menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Metode
ini menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi
maupun dalam ketrampilan proses kelompok (group process skills). Para guru yang
menggunakan metode investigasi kelompok umumnya membagi kelas menjadi beberapa
kelompok yang beranggotakan 5 hingga 6 siswa dengan karakteristik yang
heterogen. Pembagian kelompok dapat juga didasarkan atas kesenangan berteman
atau kesamaan minat terhadap suatu topik tertentu. Para siswa memilih topik
yang ingin dipelajari, mengikuti investigasi mendalam terhadap berbagai
subtopik yang telah dipilih, kemudian menyiapkan dan menyajikan suatu laporan
di depan kelas secara keseluruhan. Adapun deskripsi mengenai langkah-langkah
metode investigasi kelompok dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.
Seleksi topic
Parasiswa
memilih berbagai subtopik dalam suatu wilayah masalah umum yang biasanya
digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa selanjutnya diorganisasikan
menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented groups)
yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok heterogen baik dalam
jenis kelamin, etnik maupun kemampuan akademik.
b.
Merencanakan kerjasama
Parasiswa
beserta guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus, tugas dan tujuan
umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih dari
langkah a) di atas.
c.
Implementasi
Parasiswa
melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah
b).
Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan ketrampilan dengan variasi
yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang
terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti
kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan.
d.
Analisis dan sintesis
Parasiswa
menganalisis dan mensintesis berbagai informasi yang diperoleh pada langkah c)
dan merencanakan agar dapat diringkaskan dalam suatu penyajian yang menarik di
depan kelas.
e.
Penyajian hasil akhir
Semua
kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari berbagai topik yang
telah dipelajari agar semua siswa dalam kelas saling terlibat dan mencapai
suatu perspektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok
dikoordinir oleh guru. f. Evaluasi
Guru
beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok terhadap
pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa
secara individu atau kelompok, atau keduanya.
Metode
Jigsaw
Pada dasarnya, dalam model ini guru membagi satuan informasi
yang besar menjadi komponen-komponen lebih kecil. Selanjutnya guru membagi
siswa ke dalam kelompok belajar kooperatif yang terdiri dari empat orang siswa
sehingga setiap anggota bertanggungjawab terhadap penguasaan setiap
komponen/subtopik yang ditugaskan guru dengan sebaik-baiknya. Siswa dari
masing-masing kelompok yang bertanggungjawab terhadap subtopik yang sama
membentuk kelompok lagi yang terdiri dari yang terdiri dari dua atau tiga
orang.
Siswa-siswa ini bekerja sama untuk menyelesaikan tugas
kooperatifnya dalam:
a) belajar
dan menjadi ahli dalam subtopik bagiannya;
b)
merencanakan bagaimana mengajarkan subtopik bagiannya kepada anggotakelompoknya semula. Setelah itu siswa
tersebut kembali lagi ke kelompok masing-masing sebagai “ahli” dalam
subtopiknya dan mengajarkan informasi penting dalam subtopik tersebut kepada
temannya. Ahli dalam subtopik lainnya juga bertindak serupa. Sehingga seluruh
siswa bertanggung jawab untuk menunjukkan penguasaannya terhadap seluruh materi
yang ditugaskan oleh guru. Dengan demikian, setiap siswa dalam kelompok harus
menguasai topik secara keseluruhan.
Metode
Team Games Tournament (TGT)
Pembelajaran kooperatif model TGT adalah salah satu tipe atau
model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas
seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai
tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement.
Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam
pembelajaran kooperatif model TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks
disamping menumbuhkan tanggung jawab, kerjasama, persaingan sehat dan
keterlibatan belajar.Ada5 komponen utama dalam
komponen utama dalam TGT yaitu:
1.
Penyajian kelas
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian
kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah,
diskusi yang dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas ini siswa harus
benar-benar memperhatikan dan memahami materi yang disampaikan guru, karena
akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat
game karena skor game akan menentukan skor kelompok. 2. Kelompok (team)
Kelompok biasanya terdiri dari 4 sampai 5 orang siswa yang
anggotanya heterogen dilihat dari prestasi akademik, jenis kelamin dan ras atau
etnik. Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman
kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja
dengan baik dan optimal pada saat game.
3. Game
Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk
menguji pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan belajar
kelompok. Kebanyakan game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan sederhana
bernomor. Siswa memilih kartu bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan yang
sesuai dengan nomor itu. Siswa yang menjawab benar pertanyaan itu akan mendapat
skor. Skor ini yang nantinya dikumpulkan siswa untuk turnamen mingguan.
4. Turnamen
Biasanya turnamen dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap
unit setelah guru melakukan presentasi kelas dan kelompok sudah mengerjakan
lembar kerja. Turnamen pertama guru membagi siswa ke dalam beberapa meja
turnamen. Tiga siswa tertinggi prestasinya dikelompokkan pada meja I, tiga siswa
selanjutnya pada meja II dan seterusnya.
5. Team
recognize (penghargaan kelompok)
Guru kemudian mengumumkan kelompok yang menang, masing-masing
team akan mendapat sertifikat atau hadiah apabila rata-rata skor memenuhi
kriteria yang ditentukan. Team mendapat julukan “Super Team” jika rata-rata
skor 45 atau lebih, “Great Team” apabila rata-rata mencapai 40-45 dan “Good
Team” apabila rata-ratanya 30-40
Model
Student Teams – Achievement Divisions (STAD)
Siswa dikelompokkan secara heterogen kemudian siswa yang pandai
menjelaskan
anggota
lain sampai mengerti.
Langkah-langkah:
1. Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen (campuran
menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dll.).
2. Guru
menyajikan pelajaran.
3. Guru
memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota kelompok. Anggota
yang tahu menjelaskan kepada anggota lainnya sampai semua anggota dalam
kelompok itu mengerti.
4. Guru
memberi kuis / pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak
boleh saling membantu.
5. Memberi
evaluasi.
6. Penutup.
Kelebihan:
1. Seluruh
siswa menjadi lebih siap.
2. Melatih
kerjasama dengan baik.
Kekurangan:
1. Anggota
kelompok semua mengalami kesulitan.
2.
Membedakan siswa.
Model
Examples Non Examples
Examples Non Examples adalah metode belajar yang menggunakan
contoh-contoh. Contoh-contoh dapat dari kasus / gambar yang relevan dengan KD.
Langkah-langkah:
1. Guru
mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran.
2. Guru
menempelkan gambar di papan atau ditayangkan lewat OHP.
3. Guru
memberi petunjuk dan memberi kesempatan kepada siswa untuk memperhatikan /
menganalisa gambar.
4. Melalui
diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari analisa gambar tersebut
dicatat pada kertas.
5. Tiap
kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya.
6. Mulai
dari komentar / hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi sesuai
tujuan yang ingin dicapai.
7. Kesimpulan.
Kebaikan:
1. Siswa
lebih kritis dalam menganalisa gambar.
2. Siswa
mengetahui aplikasi dari materi berupa contoh gambar.
3. Siswa
diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.
Kekurangan:
1. Tidak
semua materi dapat disajikan dalam bentuk gambar.
2. Memakan
waktu yang lama.
Model
Lesson Study
Lesson Study adalah suatu metode yang dikembangkan di Jepang
yang dalam bahasa Jepangnya disebut Jugyokenkyuu. Istilah lesson study sendiri
diciptakan oleh Makoto Yoshida.
Lesson Study merupakan suatu proses dalam mengembangkan
profesionalitas guru-guru di Jepang dengan jalan menyelidiki/ menguji praktik
mengajar mereka agar menjadi lebih
efektif.
Adapun
langkah-langkahnya sebagai berikut:
1. Sejumlah
guru bekerjasama dalam suatu kelompok. Kerjasama ini meliputi:
a.
Perencanaan.
b. Praktek
mengajar.
c.
Observasi.
d.
Refleksi/ kritikan terhadap pembelajaran.
2. Salah
satu guru dalam kelompok tersebut melakukan tahap perencanaan yaitu membuat
rencana pembelajaran yang matang dilengkapi dengan dasar-dasar teori yang menunjang.
3. Guru
yang telah membuat rencana pembelajaran pada (2) kemudian mengajar di kelas
sesungguhnya. Berarti tahap praktek mengajar terlaksana.
4.
Guru-guru lain dalam kelompok tersebut mengamati proses pembelajaran sambil
mencocokkan
rencana pembelajaran yang telah dibuat. Berarti tahap observasi terlalui.
5. Semua
guru dalam kelompok termasuk guru yang telah mengajar kemudian bersama-sama
mendiskusikan pengamatan mereka terhadap pembelajaran yang telah berlangsung.
Tahap ini
merupakan tahap refleksi. Dalam tahap ini juga didiskusikan langkah-langkah
perbaikan
untuk pembelajaran berikutnya.
6. Hasil
pada (5) selanjutnya diimplementasikan pada kelas/ pembelajaran berikutnya dan
seterusnya
kembali ke (2).
Adapun
kelebihan metode lesson study sebagai berikut:
- Dapat
diterapkan di setiap bidang mulai seni, bahasa, sampai matematika dan olahraga
Positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga
munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di
pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina.
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang
membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan
atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis
ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah.
Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan
pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme
logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam
suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan
perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah.
BAB
II
PEMBAHASAN
B. Pengertian
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu
alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas
yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua
didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi
teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang
diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi
tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja
merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada
spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan
positivisme, yaitu:
Tempat
utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun
perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh
Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya
Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
Munculnya
tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun
1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya
meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang
merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah
pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang
bergabung dengan subyektivisme.
Perkembangan
positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan
tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta
kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah
Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan
sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta
semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang
bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan
dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan
kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistic menggarisbawahi
penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi
faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai
arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa
observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.
Auguste Comte dan Positivisme
Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal.
Kamu positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana
metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum
sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris
dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Comte
menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie
Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari
semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu
tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam
hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan
organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika
adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet).
Bagi
Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya
tidak dapat digugat.
Metode
positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
Metode ini diarahkan pada fakta-fakta.
Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs
dari syarat-syarat hidup
Metode ini berusaha ke arah kepastian
Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Comte-pun mengatakan bahwa perkembangan manusia berlangsung
dalam tiga tahap. Pertama, tahap teologis, kedua, tahap metafisik, ketiga,
tahap positif.
1.Tahap Teologis
Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala
alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak
gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki
rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa mereka berada
pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk selain insani.
Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama,
tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala
benda berjiwa (animisme). Kedua, tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-hal
tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang
melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala memiliki
dewa sendiri-sendiri (polytheisme). Gejala-gejala “suci” dapat disebut
“dewa-dewa”, dan “dewa-dewa” ini dapat diatur dalam suatu sistem, sehingga
menjadi politeisme dengan spesialisasi. Ada dewa api, dewa lautan, dewa angin,
dan seterusnya. Ketiga, adalah tahapan tertinggi, dimana pada tahap ini orang
mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi (esa), yaitu
dalam monotheisme.
Singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya
kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di sini, manusia percaya kepada
kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian
tersirat adanya maksud tertentu.
1.Tahap Metafisik
Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari
pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara
berpikir teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan
kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah,
yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut
dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam
pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep “alam”,
sebagai asal mula semua gejala.
1.Tahap Positif
Pada tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk
berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan
teologis maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir
seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari “segala
sesuatu” yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha
menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang
disajikan kepadanya, yaitu dengan “pengamatan” dan dengan “memakai akalnya”.
Pada tahap ini pengertian “menerangkan” berarti fakta-fakta yang khusus
dihubungkan dengan suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari
tahap positif ini adalah menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah satu
fakta yang umum.
Bagi comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi
perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi di bidang
ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, comte menerangkan bahwa segala ilmu
pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu
dikacaukan dengan pemikiran metafisis dan akhirnya dipengaruhi hukum positif.
Jelasnya, ketiga tahapan perkembangan umat manusia itu tidak saja berlaku bagi
suatu bangsa atau suku tertentu, akan tetapi juga individu dan ilmu
pengetahuan.
Meskipun
seluruh ilmu pengetahuan tersebut dalam perkembangannya melalui ketiga macam
tahapan tersebut, namun bukan berarti dalam waktu yang bersamaan. Hal demikian
dikarenakan segalanya tergantung pada kompleksitas susunan suatu bidang ilmu
pengetahuan. Semakin kompleks susunan suatu bidang ilmu pengetahuan tertentu,
maka semakin lambat mencapai tahap ketiga.
Lebih jauh Comte berpendapat bahwa pengetahuan positif
merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan
ilmiah. Di sini, ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat positif apabila ilmu
pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan
kongrit. Dengan demikian, maka ada kemungkinan untuk memberikan penilaian
terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang
positif, serta sampai sejauh mana ilmu pengetahuan tersebut dapat mengungkapkan
kebenaran yang positif. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik
yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan
dalam kenyataan.
Demikianlah pandangan Auguste Comte tentang hukum tiga
tahapnya, yang pada intinya menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu
dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif
ilmiah. Dalam hal ini Auguste Comte memberikan analog; manusia muda atau
suku-suku primitif pada tahap teologis sehingga dibutuhkan figur dewa-dewa
untuk “menerangkan” kenyataan. Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai
prinsip-prinsip abstrak dan metafisis. Pada tahap dewasa dan matang
digunakan metode-metode positif dan ilmiah.
C.
Filsafat Materialisme
Materialisme adalah salah satu paham filsafat yang banyak
dianut oleh para filosof, seperti Demokritus, Thales, Anaximanoros dan
Horaklitos. Paham ini menganggap bahwa materi berada di atas segala-galanya dan
biasanya paham ini dihubung-hubungkan dengan teori atomistik yang berpendapat
bahwa benda-benda tersusun dari sejumlah unsur. Ketika paham ini pertama
muncul, paham tersebut tidak mendapat banyak perhatian karena banyak ahli
filsafat yang menganggap bahwa paham ini aneh dan mustahil. Namun pada sekitar
abad 19 paham materialisme ini tumbuh subur di Barat karena sudah banyak para
filosof yang menganut paham tersebut. Walaupun teori sudah banyak dianut para
filosof, teori ini masih banyak ditentang oleh para tokoh agama karena paham
ini dianggap tidak mengakui adanya Tuhan dan dianggap tidak dapat melukiskan
kenyataan.
Pengertian dan Beberapa Ajaran Materialisme
Materialisme seringkali diartikan sebagai suatu aliran
filsafat yang meyakini bahwa tidak ada sesuatu selain materi yang sedang
bergerak. Pikiran, roh, kesadaran dan jiwa tidak lain hanyalah materi yang
sedang bergerak. Menurut mereka, pikiran memang ada tetapi tak lain disebabkan
dan sangat tergantung pada perubahan-perubahan material. Intinya, mereka
menganggap bahwa materi berada di atas segala-galanya.
Beberapa
pendapat mereka yang lain adalah:
Tidak ada sesuatu yang bersifat non-material
separti roh, hantu, setan, malaikat. Pelaku-pelaku immaterial tidak ada.
Tidak ada Tuhan atau dunia adikodrati
(supranatural). Realitas satu-satunya adalah materi dan segala sesuatu
merupakan manifestasi aktivitas materi.
Setiap peristiwa mempunyai sebab material,
dan penjelasan material tentang semua itu merupakan satu-satunya
penjelasan yang tepat.
Materi dan aktivitasnya bersifat abadi. Tidak
ada Sebab Pertama atau Penggerak Pertama.
Bentuk material dari barang-barang dapat diubah,
tapi materi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan.
Tidak ada kehidupan yang kekal. Semua gejala
berubah, akhirnya melampaui eksistensi yang kembali lagi ke dasar material
primordial, abadi dalam suatu peralih-wujudan kembali yang abadi dari materi.
D. Sejarah Perkembangan Materialisme
Pada awalnya, materialisme tidak mendapat banyak perhatian
karena dianggap aneh dan mustahil. Baru pada abad pertengahan abad 19,
materialisme tumbuh subur sekali di Barat. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan tersebut antara lain:
Orang dengan paham materialisme mempunyai
harapan-harapan yang besar atas ilmu pengetahuan.
Paham materialisme berpegang pada
kenyataan-kenyataan yang mudah dimengerti, bukan pada dalil-dalil abstrak.
Teori-teorinya jelas berdasarkan teori-teori
pengetahuan yang sudah umum.
Namun, paham materialisme banyak ditentang oleh para tokoh
agama karena terang-terangan tidak mengakui Tuhan. Seorang anti-materialisme
bernama Friedrich Paulsen berkata “Kalau materialisme itu benar, maka segala
sesuatu di dunia ini akan dapat diterangkan, termasuk bagaimana atom membentuk
teori materialisme itu sendiri yaitu dapat berfikir dan berfilfasaf”. tenyata
hal itu sama sekali tak dapat diterangkan oleh kaum materialisme.
Kaum materialisme menyangkal adanya jiwa atau roh, mereka
menganggapnya hanya sebagai pancaran materi. Thomas Hobbes (1588-1679), seorang
ahli pikir Inggris beralasan bahwa seperti perjalanan yang tidak lepas dari
orang yang berjalan, demikian juga gagasan, sebagai sesuatu yang bersifat
rohani juga tidak lepas dari organisme yang berpikir, yang mempunyai gagasan.
Materialisme pada abad 18 dan 19 seringkali sangat bersifat mekanistis, seperti
pernah diutarakan oleh Holbach (1723-1789) bahwa segi manusia yang tidak
kelihatan disebut jiwa, sedangkan segi alam yang tidak kelihatan disebut Tuhan.
Materialisme
Dialektika.
Di negara-negara komunis, materialisme dialektika merupakan
filsafat resmi negara, disingkat menjadi “ diamat ” (dialektika materialisme).
Secara singkat, dialektika beranggapan bahwa segala perubahan yang terjadi di
alam semesta adalah akibat dari konflik persaingan dan kepentingan pribadi
antar kekuatan yang saling bertentangan.
Ahli-ahli pikir yang meletakkan dasar bagi sistem ini adalah
Karl Marx (1818-1883) dan Friederich Engels (1820-1895), sedangkan W.E. Lenin
mengembangkannya lebih lanjut. Marx dan Engels menggunakan dialektika untuk
menjelaskan keseluruhan sejarah dunia. Marx menyatakan bahwa sejarah
kemanusiaan senantiasa didasarkan pada konflik, yang terutama antara kaum buruh
(proletar) dan masyarakat kelas atas (borjuis). Ia meramalkan bahwa kaum buruh
pada akhirnya akan menyadari bahwa harapan satu-satunya untuk mereka adalah
bersatu dan melakukan revolusi. Sebelum Marx juga telah ada seorang perintis
benama Tschernyschewski (+1889). Sarjana ini melawan dualisme jiwa-badan dengan
berpendapat bahwa manusia dapat diterangkan secara tuntas dengan bantuan ilmu
kimia dan fisiologi. Yang dianggap sebagai rohani sebenarnya adalah sifat
keteraturan dalam organisme yang memberikan reaksi.
Marx Engels dan Lenin juga mengakui bahwa alam rohani
mempunyai sifat-sifat khas, tetapi secara dialektika ini tergantung kepada
materi. Faham materialisme kuno menjadikan mesin sebagai ukuran untuk
menerangkan alam, kehidupan hewani dan manusia. Pendekatan ini tentu tidak
memadai karena dunia hendaknya dipandang sebagai suatu proses yang dinamis.
Dalam dialektika alam raya, perkembangan dan penjumlahan
kwantitatif pada suatu ketika berbalik secara dialektik dan terjadi suatu
perubahan kwantitatif. Lompatan kwantitatif dari energi menjadi unsur kimia.
Terus menjadi zat hidup terus lagi menjadi roh merupakan tahap-tahap dialektika
dalam alam kebendaan yang dinamis. Tak ada materi tanpa gerak dan dalam
perkembangan ini segala sesuatu saling bertalian, tak ada satu gejala yang
dapat dimengerti lepas dari gejala-gejala lainnya (lewat abstraksi-abstraksi
kita hanya membuat momen-momen saja). Demikianlah teori Hegel diputar dan
ditegakkan secara dialektika. Bukan materi yang merupakan hasil dari roh yang
berkembang secara dialektika melainkan sebaliknya.
Hegel mengambarkan bagaiman roh mengasingkan diri dari
dirinya sendiri karena dalam kenyataan semakin menjadi lahiriah. Hal ini
terutama ditampilkannya dalam konsep tentang materi.
\
BAB
III
PENUTUP
E. Kesimpulan
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang
membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan
atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis
ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah.
Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan
pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
Materialisme seringkali diartikan sebagai suatu aliran
filsafat yang meyakini bahwa tidak ada sesuatu selain materi yang sedang
bergerak. Pikiran, roh, kesadaran dan jiwa tidak lain hanyalah materi yang
sedang bergerak. Menurut mereka, pikiran memang ada tetapi tak lain disebabkan
dan sangat tergantung pada perubahan-perubahan material. Intinya, mereka
menganggap bahwa materi berada di atas segala-galanya.
Allah SWT menulis dengan jelas dalam surah Al- Mudattsir ayat 38
Artinya: “Setiap
orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya” (Qs. Al-Mudatsir:38)
Dari kontek ayat ini, kita tahu bahwa Allah SWT menciptakan manusia
dengan segala potensinya memiliki “tugas” untuk tunduk dan patuh terhadap
hukum-hukum Allah SWT dan suatu saat nanti pada saat yang ditentukan oleh Allah
semua manusia akan diminta pertanggung jawabannya sebagai bukti bahwa manusia
sebagai pengemban amanah Allah SWT.
Dalam melakukan misinya, manusia diberi petunjuk bahwa dalam hidup ada
dua jalan yaitu, jalan baik dan jalan yang buruk.
Artinya: “ kami
telah menunjukkan kepadanya dua jalan. ( kebaikan dan keburukan )”Q.S Al-Balad
( 90 ) ayat 10
Proses menerima petunjuk ini adalah bagaimana manusia mengembangkan
kemampuan potensi akal ( ratio ) nya dalam memahami “alam” yang telah
diciptakan dan disediakan oleh Allah SWT sebagai saran dan sumber belajar, kemudian
ketika “ilmu” sudah dimiliki diharapkan manusia dapat berkarya (beramal) dengan
ilmunya untuk terus membina hubungan vertical dan horizontal.
Manusia yang mau mengembangkan potensi akalnya dapat memanfaatkan
pengetahuannya tersebut untuk pencerahan dirinya dan memiliki tanggung jawab
moral dan menyebarkan kepada sesama, mereka biasa disebut ilmuwan, cendikiawan
atau intelektual
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan dalam tugas dan tanggung jawab ilmuan sebagai berikut:
Ilmuwan dan
Intelektual:
A. Tanggung
Jawab Ilmuwan dan Sosial
B. Intelektual
sebagai “ Change Maker “
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran tentang
tugas dan tanggung jawab ilmuan. Khususnya dalam dunia pendidikan dan lebih
khusus lagi di negeri Indonesia yang tercinta ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Ilmuwan, dan Intelektual
Upaya memberi perbedaan yang tegas dalam mendefinisikan istilah sarjana,
ilmuwan, dan intelektual merupakan persoalan yang tidak mudah, sepintas
terlihat sama tetapi ketiganya saling berkaitan.
Untuk memahami
fungsi dan tugas dari sarjana, Ilmuwan, dan intelektual kita lihat beberapa
definisi :
ØDefinisi
Sarjana
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia hal. 785, Sarjana disebutkan sebagai
orang pandai ( Ahli Ilmu Pengetahuan ) atau tingkat yang dicapai oleh seseorang
yang telah menamatkan pendidikan terakhir di perguruan tinggi.[1]
ØDefinisi
Ilmuwan
Ø Menurut kamus
besar Bahasa Indonesia hal. 325, Ilmuwan adalah :
Øorang yang ahli,
Øorang yang banyak pengetahuan mengetahui suatu
ilmu,
Øorang yang berkecimpung dalam ilmu pengetahuan
Øorang yang bekerja dan mendalami ilmu
pengetahuan dengan tekun dan sungguh-sungguh.[2]
Menurut
Webster Dictionary, Ilmuwan ( Sciantist ) adalah seorang yang terlibat
dalam kegiatan sistematis untuk memperoleh pengetahuan ( ilmu )
Ensiklopedia
Islam mengartikan ilmuwan sebagai orang yang ahli dan banyak
pengetahuannya dalam suatu atau beberapa bidang ilmu.[3]
ØDefinisi
Intelektual
Intelektual
berasal dari bahasa Inggris :
“ Having or showing good mental powers and understanding”
( memiliki atau menunjukkan kekuatan-kekuatan mental dan pemahaman yang
baik )
Intelektual
“the power of mind by which we know, reason and think” ( kekuatan pikiran
yang dengannya kita mengetahui, menalar dan berfikir).
Intelektual
adalah seseorang yang memiliki potensi secara actual
Intelektual
adalah pemikir-pemikir yang memiliki kemampuan penganalisaan terhadap
masalah tertentu.
Menurut
George A. Theodorson dan Archiles G.intelektual adalah masyarakat yang
mengabdikan diri kepada pengembangan gagasan orisinil dan terlibat dalam
usaha intelektual kreatif.
Menurut
Shils ( sosiolog barat ) intelektual adalah orang yang terpilih dalam
masyarakat yang sering menggunakan symbol symbol bersifat umum dan rujukan
abstrak tentang manusia dan masyarakat.
Menurut
Prof. Ganjar Kurnia Intelektual adalah orang yang memiliki kesadaran
tingkat tinggi, istilah Al-Qur’an Ulil Albab
B. Tanggung Jawab Ilmuwan dan Sosial
Ilmuwan merupakan profesi, gelar atau capaian professional yang diberikan
masyarakat kepada seorang yang mengabdikan dirinya. Pada kegiatan penelitian
ilmiah dalam rangka mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang alam
semesta, termasuk fenomena fisika, matematis dan kehidupan social.
Istilah ilmuwan dipakai untuk menyebut aktifitas seseorang untuk menggali
permasalahan ilmuwan secara menyeluruh dan mengeluarkan gagasan dalam bentuk
ilmiah sebagai bukti hasil kerja mereka kepada dunia dan juga untuk berbagi
hasil penyelidikan tersebut kepada masyarakat awam, karena mereka merasa bahwa
tanggung jawab itu ada dipundaknya.
Ilmuwan memiliki beberapa ciri yang ditunjukkan oleh cara berfikir yang
dianut serta dalam perilaku seorang ilmuwan. Mereka memilih bidang keilmuan
sebagai profesi. Untuk itu yang bersangkutan harus tunduk dibawah wibawa ilmu.
Karena ilmu merupakan alat yang paling mampu dalam mencari dan mengetahui
kebenaran. Seorang ilmuwan tampaknya tidak cukup hanya memiliki daya kritis
tinggi atau pun pragmatis, kejujuran, jiwa terbuka dan tekad besar dalam
mencari atau menunjukkan kebenaran pada akhirnya, netral, tetapi lebih dari
semua itu ialah penghayatan terhadap etika serta moral ilmu dimana manusia dan
kehidupan itu harus menjadi pilihan juga sekaligus junjungan utama. Oleh karena
itu seorang ilmuwan harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya :
a. Prosedur
ilmiah
b. Metode ilmiah
c. Adanya suatu
gelar yang berdasarkan pendidikan formal yang ditempuh
d. Kejujuran
ilmuwan, yakni suatu kemauan yang besar, ketertarikan pada perkembangan Ilmu
Pengetahuan terbaru dalam rangka profesionalitas keilmuannya.
e. Peran dan
Fungsi Ilmuwan
1.Sebagai intektual, seorang ilmuwan sosial dan tetap
mempertahankan dialognya yang kontinyu dengan masyarakat sekitar dan suatu
keterlibatan yang intensif dan sensitif.
2.Sebagai ilmuwan, dia akan berusaha memperluas wawasan
teoritis dan keterbukaannya kepada kemungkinan dan penemuan baru dalam bidang
keahliannya.
3.Sebagai teknikus, dia tetap menjaga keterampilannya
memakai instrument yang tersedia dalam disiplin yang dikuasainya. Dua peran
terakhir memungkinkan dia menjaga martabat ilmunya, sedangkan peran pertama
mengharuskannya untuk turut menjaga martabat.
Tanggung Jawab
Ilmuwan
Tanggung jawab ilmuwan dalam pengembangan ilmu sekurang-kurangnya
berdimensi religious atau etis dan social. Pada intinya, dimensi religious atau
etis seorang ilmuwan hendaknya tidak melanggar kepatutan yang dituntut darinya
berdasarkan etika umum dan etika keilmuan yang ditekuninya. Sedangkan dimensi
sosial pengembangan ilmu mewajibkan ilmuwan berlaku jujur, mengakui
keterbatasannya bahkan kegagalannya, mengakui temuan orang lain, menjalani
prosedur ilmiah tertentu yang sudah disepakati dalam dunia keilmuan atau
mengkomunikasikan hal baru dengan para sejawatnya atau kajian pustaka yang
sudah ada untuk mendapatkan konfirmasi, menjelaskan hasil-hasil temuannya
secara terbuka dan sebenar-benarnya sehingga dapat dimengerti orang lain
sebagaimana ia juga memperoleh bahan-bahan dari orang lain guna mendukung
teori-teori yang dikembangkannya. Karena tanggung jawab ilmuwan merupakan
ikhtiar mulia sehingga seorang ilmuwan tidak mudah tergoda, apalagi tergelincir
untuk menyalahgunakan ilmu.
“ Ilmu
Pengetahuan tanpa Agama lumpuh Agama tanpa Ilmu Pengetahuan Buta “
C. Intelektual sebagai “ Change Maker “
Intelektual adalah pemikir-pemikir yang memiliki kemampuan penganalisisan
terhadap masalah tertentu atau yang potensial dibidangnya. “Change maker”
adalah orang yang membuat perubahan atau agar perubahan di dalam masyarakat.
Dengan demikian
intelektual memiliki ciri-ciri :
Memiliki
ilmu pengetahuan dan ilmu agama yang mampu diteorisasikan dan
direalisasikan di tengah masyarakat
Dapat
“berbicara” dengan bahasa kaumnya dan mampu menyesuaikan dengan
lingkungan.
Mengemban
tugas sebagai artikulator
Memiliki
tanggung jawab sosial untuk mengubah masyarakat yang statis menjadi
masyarakat yang dinamis
Secara khusus,
menurut Prof. Quraish Shihab intelektual muslim haruslah memiliki ciri-ciri :
a)1. Mengingat (
Dzikir ) kepada Allah dalam segala situasi dan kondisi (
b)surah Fathir 28 dan Assyuaro 197 )
2. Memikirkan / memperhatikan fenomena alam raya
yang pada saatnya member manfaat ganda yaitu memahami tujuan hidup serta memperoleh
manfaat dari alam raya untuk kebahagian dan kenyamanan hidup
3. Berusaha dan
berkreasi dalam bentuk nyata dengan hasil-hasil dari buah pemikiran dan
penelitian untuk mengubah kondisi masyarakat dari zero to hero.[4]
Maka intelektual adalah pemikir yang tidak harus menghasilkan “sebuah”
pemikiran tetapi juga dapat merumuskan dan mengarahkan serta memberikan contoh
pelaksanaan dari sosialisasinya ditengah masyarakat agar segala persoalan –
persoalan kehidupan baik pribadi, masyarakat nasional maupun internasional
dapat terpecahkan serta dapat menjawab tantangan-tantangan kehidupan di masa
yang akan datang.
Peran “merubah” itulah yang menjadikan fungsi “change maker” seorang
intelektual dapat berjalan dengan baik yang dimulai dari dirinya kemudian dimanfaatkan
dan disebarkan kepada masyarakat .
Allah SWT memberikan “ “ ( sumber alam ) kemudian diolah dengan “ “ (
teori dan pemikiran ) kemudian dibuktikan dengan “ “ ( karya ) nyata yang
bermanfaat buat kehidupan manusia.
Kontribusi bagi
kemajuan bangsa
Intelektual
adalah golongan masyarakat tentang yang memiliki kecakapan yang kemudian
bertugas merumuskan perubahan masyarakat yang akan membawa pada kemajuan bangsa
yang maju dan bermartabat. Aspek-aspek yang membawa kemajuan bangsa sangatlah
banyak diantaranya :
a. Aspek
Idiologi
Intelektual
berperan dalam :
vMemelihara keyakinan dan kebudayaan bangsa
vBerupaya membangun jaringan-jaringan yang kuat
untuk memfilter budaya yang masuk akibat globalisasi
vMemberikan pemahaman
b. Aspek politik
Kompleksitas masyarakat dan kepentingan-kepentingannya menuntut adanya
pemikiran-pemikiran untuk membina dan membangun masyarakat agar tidak terjadi
instabilitasi politik sehingga dalam bernegara para intelektual dapat
memberikan solusi terhadap problem-problem yang terjadi.
c. Aspek ekonomi
Idealnya bagi bangsa yang maju adalah adanya pembelajaran di sektor
ekonomi yang adil dan merata karena keberhasilan ekonomi akan meningkatkan
taraf hidup bangsa. Maka para intelek dituntut dengan teorinya dapat
merencanakan pertumbuhan ekonomi dengan cermat dan dapat memberikan solusi agar
pertumbuhan tersebut berkesinambungan serta tercipta kesetiakawanan agar
terhindar dari kecemburuan.
d. Aspek sosial
dan budaya
Intelektual dituntut untuk mengerahkan segenap kemampuannya untuk membina
masyarakat dan menciptakan harmoni sosial yaitu:
vSaling menghormati
vSaling menghargai
vSaling membantu dan
vSaling mengisi
e. Aspek
pertahanan dan keamanan
Intelektual
turut serta membantu masyarakat dalam menandai nilai-nilai dalam kehidupan agar
:
vTidak mudah terprovokasi hal-hal yang negative
vTidak mudah terpengaruh pada faham-faham atau
aliran yang menyesatkan.
vMemiliki rasa tanggung jawab terhadap keutuhan
bangsa dengan prinsip bahwa “ hari ini harus lebih baik dari hari kemarin “
BAB
III
KESIMPULAN
Dengan memperhatikan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
Sarjana
adalah orang pandai atau ahli ilmu pengetahuan karena sudah mencapai
target terakhir dalam pendidikannya di PT.
Ilmuwan
adalah sebuah profesi atau gelar dalam cakupan professional karena sudah
mengabdiakn dirinya pada kegiatan penelitian ilmiah dalam rangka
mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang alam semesta,
fenomena fisika, matematis dan kehidupan social.
Intelektual
adalah golongan atau kelas masyarakat yang mempunyai kecakapan tertentu
dan dengan kecakapannya mereka merumuskan perubahan masyarakat. Sebab itu
intelektual dituntut secara terus menerus untuk mendefinisikan kebenaran
dan tidak boleh memilih kepentingan-kepentingan praktis kecuali tegaknya
kebenaran itu.
Sarjana,
ilmuwan, dan intelektual memiliki komitmen yang tinggi untuk membina dan
membangun masyarakat. Sebagian tanggung jawab moralnya terhadap keilmuan
yang dimiliki serta tanggung jawab perannya sebagai bagian dari masyarakat
( social )
Intelektual
dengan kecakapan dan keterampilannya harus mampu merumuskan perubahan
masyarakat menuju keadaan yang lebih baik, aktif, dinamis dan bermartabat.
Tugas yang diemban ini merupakan bukti bahwa mereka sebagai “change maker”
atau orang yang membuat perubahan.
Sebuah
bangsa dikatakan maju apabila memiliki ideology yang kuat sehingga tidak
mudah goyah oleh serangan-serangan yang dating dari luar, kondisi politik
yang sehat, pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat, kondisi social
budaya yang kondusif serta memiliki stabilitas dalam pertahanan dan
keamanan. Intelektual haruslah mempunyai peran yang penting dalam proses
pembangunan bangsa supaya maju dan bermartabat.
DAFTAR
PUSTAKA
Al Qur-an dan
Terjemhannya, Depag, RI, 2006
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. 1989
Dr. M. Quraish
Shihab. Membumikan Al-Qur’an. Mirzan. 1992
Jalaluddin
Rakhmat. Islam Alternatif. Mirzan. 1989
Ensiklopedia
Islam. Jilid 2. PT. Ichtra Baru Van Hoeve. Jakarta. 1994. Hal 203