Halaman

Jumat, 17 Agustus 2012

Pendidikan Pesantren

PENDIDIKAN DI PESANTREN

PENDAHULUAN
Pesantren merupakan institusi pendidikan Islam tertua di tanah air yang memberikan andil sangat besar dalam mencerdaskan kehidupan umat dan bangsa. Dari ‘rahim’ pesantrenlah lahir tokoh-tokoh masyarakat, ulama, kaum intelektual, dan pemimpin-pemimpin bangsa. Namun, di masa globalisasi ini, pesantren justru terkesan sebagai lembaga ‘kumuh’ dan bukan ‘pilihan’ yang popular dibandingkan dengan sekolah sekolah ‘modern’ yang banyak bermunculan. Hal inilah yang membuat pihak pesantren merasa perlu untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan Sistem Pendidikan Nasional, meskipun perubahan-perubahan yang dilakukan itu tetap tidak dapat merubah kultur yang memang ada dalam budaya pesantren.
Pendidikan sebagai salah satu komponen pembangun bangsa memiliki fungsi strategis untuk membentuk manusia yang bermoral dan berakhlak baik, sehingga dapat menghantarkan peserta didik menuju keseimbangan pribadi antara kecerdasan intelektual (ilmu) dengan kecerdasan emosional (perilaku) yang sejalan dengan tuntutan islam.
Pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan tradisional di Indonesia merupakan lembaga yang menekankan pentingnya tradisi keislaman di tengah-tengah kehidupan sebagai sumber utama moral dan akhlak. Secara historis, pesantren telah hidup sejak 300-400 tahun lampau dan menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat muslim Indonesia. Peran multifungsi pesantren di Indonesia sudah dimulai sejak perang melawan penjajah di era kolonialisme hingga menjadi penyumbang pemikiran konstruktif dalam membangun bangsa di era globalisasi. Keunggulan pesantren terletak pada prinsip ‘memanusiakan manusia’ dalam proses pembelajarannya. Jika di pendidikan formal sekolah lebih berorientasi pada pencapaian akademik dan materi semata, maka di pesantren lebih ditekankan pada pembinaan karakter individual dan keteladanan dari seorang ‘guru’ kepada peserta didik yang berlangsung 24 jam penuh.
Seiring dengan perkembangan pendidikan saat ini, seperti munculnya sekolah-sekolah dengan sistem ‘Boarding School’ yang terinspirasi dari pesantren, lembaga pesantren ini mulai ditinggalkan oleh para orang tua yang menginginkan sekolah yang ‘lebih modern’. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah, bahwa pesantren lebih dikesankan ‘kumuh’ dan bukan ‘pilihan’ yang populer dibandingkan dengan sekolah umum lainnya. Selain itu perlu dirumuskan konsep yang tepat untuk mengoptimalkan peran pesantren di era globalisasi, sehingga di masa depan pesantren dapat muncul sebagi salah satu pusat institusi pendidikan Islam tingkat menengah yang mengembangkan sumber daya manusia menuju terwujudnya masyarakat yang sesuai dengan ajaran pendidikan Islam.

PEMBAHASAN
A.    Sekilas pesantren dalam sejarah
Tidak ada data resmi tentang kapan pesantren pertama muncul di Indonesia. Namun dari catatan para sejarawan, pesantren mulai dikenal di Nusantara sejak masuknya Islam di Indonesia. Pada abad ke-18, pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan rakyat yang menekankan pada bidang penyiaran agama dan menjadi panutan bagi masyarakat sekitar dalam hal moralitas. Kehadirannya tidak saja sebagai lembaga pendidikan, sosial keagamaan, ataupun lembaga penyiaran agama saja, tapi juga sebagai pusat gerakan pengembangan, kemajuan, kekuatan dan sumber penanaman moral islam.
Selama masa kolonial Belanda, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang paling banyak berhubungan dengan rakyat. Lembaga ini ‘dipandang sebelah mata’ oleh pemerintah kolonial Belanda karena mereka beranggapan bahwa pesantren memiliki sistem pendidikan yang ‘buruk’ ditinjau dari tujuan, metode, dan bahasa (Arab) yang digunakan. Sehingga, lembaga ini tidak dimasukkan dalam perencanaan pendidikan umum pemerintah kolonial. Bagi mereka, tujuan pendidikannya dinilai tidak menyentuh kehidupan duniawi, tidak menggunakan metode yang jelas, dan bahasa yang digunakan bukan bahasa latin. Itulah sebabnya, orientasi yang diarahkan pada sekolah umum adalah untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan dalam kehidupan duniawi (pendidikan jasmani) saja, sedangkan orientasi pesantren adalah mengarah pada pembinaan moral dan kehidupan ukhrawi (pendidikan rohani). Dalam posisi terpisah seperti inilah pesantren terus mengembangkan dirinya dan menjadi tumpuan pendidikan bagi ummat Islam di pelosok-pelosok pedesaan sampai pada masa revolusi kemerdekaan. Pada masa revolusi fisik, pesantren merupakan salah satu pusat gerilya dalam perang melawan Belanda. Banyak santri membentuk barisan Hizbullah yang menjadi salah satu cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Pada masa ini pesantren merupakan tempat belajar yang sangat diminati oleh berbagai macam kalangan. Namun, seiring perubahan yang semakin cepat sejak Indonesia merdeka dan kehidupan sosial ummat Islam Indonesia juga mengalami perubahan dari masyarakat pedesaan yang agraris ke masyarakat perkotaan Industri dan perdagangan, mengakibatkan pula perubahan dalam model-model pendidikan Islam. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang modern tumbuh dengan pesat seiring dengan perubahan pada kurikulum, subtansi dan tujuan pendidikan, serta sistem dan organisasi pendidikan. Pesantren hanya diminati oleh keluarga muslim pedesaan yang berpenghasilan rendah. Sedangkan keluarga muslim perkotaan yang berpenghasilan menengah ke atas lebih memilih sekolah-sekolah modern yang menekankan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Banyak anggapan bahwa suatu saat pesantren akan hilang dan lenyap dari peta pendidikan Islam di Indonesia. Namun, mereka lupa bahwa pesantren yang telah bertahan selama berabad-abad adalah lembaga pendidikan yang memiliki kekuatan mental budaya yang tangguh dan sistem kelembagaan yang fleksibel sehingga mampu menyesuaikan diri dalam setiap perubahan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Pesantren yang memiliki sejarah panjang dalam sejarah Indonesia ikut memberi andil dalam pembentukan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu pesantren telah diakui sebagai lembaga yang sangat berjasa bagi ummat Islam. Terbukti, lembaga - lembaga pesantren telah berhasil mengislamkan sebagian besar penduduk Indonesia.

B. Memahami Watak Tradisionalisme Pesantren
Persoalan ini tentunya harus dikembalikan pada proporsinya yang pas. Sebab, watak tradisional yang inherent di tubuh pesantren seringkali masih disalahpahami, dan ditempatkan bukan pada proporsinya yang tepat. Tradisionalisme yang melekat dan terbangun lama di kalangan pesantren, sejak awal minimal ditampilkan oleh dua wajah yang berbeda. Oleh karena itu, penyebutan tradisional tentu harus ditujukan pada aspek yang spesifik, tidak asal gebuk rata. Tradisionalisme pesantren di satu sisi melekat pada aras keagamaan (baca: Islam). Bentuk tradisionalisme ini merupakan satu sistem ajaran yang berakar dari perkawinan konspiratif antara teologi skolastisisme As'ariyah dan Maturidiyah dengan ajaran-ajaran tasawuf (mistisisme Islam) yang telah lama mewarnai corak ke-Islam-an di Indonesia (Abdurrahman Wahid, 1997). Selaras dengan pemahaman ini, terminologi yang akarnya ditemukan dari kata 'adat (bahasa Arab) ini, merupakan praktek keagamaan lokal yang diwariskan umat Islam Indonesia generasi pertama. Di sini Islam berbaur dengan sistem adat dan kebiasaan lokal, sehingga melahirkan watak ke-Islaman yang khas Indonesia (Martin van Bruinessen, 1997, 140). Sementara tradisional dalam pengertian lainnya, bisa dilihat dari sisi metodologi pengajaran (pendidikan) yang diterapkan dunia pesantren (baca: salafiyah). Penyebutan tradisional dalam konteks praktek pengajaran di pesantren, didasarkan pada sistem pengajarannya yang monologis, bukannya dialogis-emansipatoris, yaitu sistem doktrinasi sang Kiyai kepada santrinya dan metodologi pengajarannya masih bersifat klasik, seperti sistem bandongan, pasaran, sorogan dan sejenisnya. Lepas dari persoalan itu, karakter tradisional yang melekat dalam dunia pesantren (sesungguhnya) tidak selamanya buruk. Asumsi ini sebetulnya relevan dengan prinsip ushul fiqh, "al-Muhafadhah 'ala al-Qodimi as-Shalih wa al-Akhdu bi al-Jadid al-Ashlah" (memelihara [mempertahankan] tradisi yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru (modernitas) yang lebih baik). Artinya, tradisionalisme dalam konteks didaktik-metodik yang telah lama diterapkan di pesantren, tidak perlu ditinggalkan begitu saja, hanya saja perlu disinergikan dengan modernitas. Hal ini dilakukan karena masyarakat secara praktis-pragmatis semakin membutuhkan adanya penguasaan sains dan tekhnologi. Oleh Karena itu, mensinergikan tradisionalisme pesantren dengan modernitas dalam konteks praktek pengajaran, merupakan pilihan sejarah (historical choice) yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, jika tidak demikian, eksistensi pesantren akan semakin sulit bertahan di tengah era informasi dan pentas globalisasi yang kian kompetitif. Di antara problem yang sering dijumpai dalam praktek pendidikan di pesantren, terutama yang masih bercorak salaf, adalah persoalan efektivitas metodologi pengajaran. Di sinilah perlunya dilakukan penyelarasan tradisi dan modernitas di tengah dunia pesantren. Dalam hal ini, memang diperlukan adanya pembaharuan di pesantren, terutama mengenai metodologi pengajarannya, namun pembaharuan ini tidak harus meninggalkan praktek pengajaran lama (tradisional), karena memang di sinilah karakter khas dan indegenousitas pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Justru yang perlu dilakukan adalah, adanya konvigurasi sistemik dan kultural antara metodologi tradisional dengan metodologi konvensional-modern. Dengan demikian, penerapan metodologi pengajaran modern dan pembangunan kultur belajar yang dialogis-emansipatoris, bisa seirama dengan watak asli dari kultur pesantren.

C. Pesantren Sebagai Basis Pembentukan Karakter Umat Muslim.
K.H. Miscbach, tokoh dari kalangan ulama, mengatakan dalam Mubes I Ittihad al-Ma’ahid Islamiyah pada tanggal 2-3 Agustus 1969 bahwa pesantren merupakan kubu pertahanan mental masa-masa kolonial Belanda. Artinya, pesantren tidak hanya sebagai lembaga pertahanan fisik terhadap intimidasi dan senjata penjajah, namun pesantren juga menjadi kubu pertahanan yang bersifat mental ataupun moral. Pemikiran Snouck Hurgronje yang berupaya mengasimilasikan kebudayaan Indonesia dengan Belanda tidak mencapai keberhasilan karena sistem pertahanan masyarakat Indonesia saat itu dominan dipengaruhi pesantren. Tentu, ini dikarenakan tradisi dan corak santri yang tidak mudah berasimilasi dengan budaya Barat, dalam hal ini Belanda sebagai penjajah.
Pesantren juga sukses dalam memberantas buta huruf pada masyarakat akar rumput masa penjajahan dengan sistem mengenalkan bahasa Arab Melayu. Di lain hal, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat muslim Indonesia yang pertama membuka isolasi kultural dengan dunia luar. Hal ini adalah bentuk kemampuan pesantren dalam mengaktualkan bahasa Arab. Turunannya adalah membuka wacana bangsa hingga dapat berinteraksi dengan dunia dan keilmuan yang luas.
Dengan demikian, sistem pendidikan pesantren berhasil melahirkan tokoh-tokoh ulama, zuama’, bahkan politikus, bahkan sampai saat ini pun dapat dibuktikan. Banyak tokoh-tokoh nasional sekarang pernah mengeyam pendidikan pesantren secara baik. K.H. Hasan Basri, tokoh dan ulama nasional mengatakan beberapa titik keberhasilan pesantren, antara lain:
1. Berhasil menanamkan iman yang kokoh dalam jiwa para santri sehingga mereka memiliki daya dan semangat juang yang tinggi untuk islam.
2. Bersikap tegas menentang kebatilan secara konsekuen dan menyatukan diri dengan golongan pergerakan yang mempunyai pandangan yang sama.
3. Mampu membenmtuk kecerdasan (intelektualitas) dan kesolehan (Moralitas) pada diri para santri, menguasai ilmu yang diajarkan, dan membina diri bagar memiliki ahlak terpuji.
4. Mampu membentuk masyarakat yang bermoral dan beradab menurut ajaran islam, sehingga menjadi kekuatan sesuai dengan pengaruhnya yang besar dalam masyarakat bangsa Indonesia.
5. Menjadikan dirinya bagaikan benteng terahir pertahanan umat islam dari serangan kebudayaan barat , yang dilancarkan pemerintah colonial belanda. Dengan demikian pesantren telah berhasilmenyelamatkan kebudayaan islam diindonesia.
6. Pesantren dan masyarakat santrinya adalah satu-satunya lembaga pendidikan diindonesia yang tidak mengenal kompromi dengan pemerintah colonial belanda.
7. Dalam menghadapi arus perubahan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang melanda bangsa Indonesia, ternyata masih tetap menunjukkan vitalitasnya untuk tetap berperan sebagai salah satu kekuatan sosial yang penting bagi peradaban Islam di Indonesia, baik masa kini maupun masa mendatang. Pesantren juga ternyata tidak tergilas oleh arus perkembangan lembaga-lembaga pendidikan modern yang berkiblat ke Barat, dantetap mempertahankan nilai-nilai moral keislaman.
Penjelasan-penjelasan di atas memperlihatkan bahwa pesantren, dulu ataupun sekarang, merupakan lembaga yang berhasil membentuk karakter-karakter pribadi muslim (santri) dan memiliki peranan besar dalam membina ummat dan bangsa hingga dari daerah perkotaan daerah pesisr hingga daerah ke pelosok pedesaan yang menyeluruh.
D. Upaya Mempertahankan System Pesantren
Pada perkembangannya pesantren mulai memasukkan ilmu-ilmu umum sebagai salah satu bentuk pengembangan wawasan warga pesantren dari orientasi ke-akhiratan menjadi berimbang dengan kehidupan duniawi. Penyelenggaraan pendidikan formal, yaitu madrasah dan sekolah umum, ‘hidup’ dalam satu atap pesantren. Dengan kata lain pendidikan formal diselenggarakan dalam lingkar budaya pesantren. Hal ini berimbas pada para lulusannya yang tidak lagi hanya dibekali ilmu-ilmu agama sehingga mereka bisa memasuki sekolah-sekolah formal yang lebih tinggi tingkatannya dalam sistem pendidikan.
Semua hal tersebut menggambarkan bahwa seluruh jaringan sistem pesantren telah berubah, khususnya pada proses belajar-mengajar di pesantren. Para pengambil kebijakan menganggap itu perlu dilakukan karena pada kehidupan di era modern ini tidaklah cukup hanya berbekal moral yang baik, tetapi juga memerlukan bekal kemampuan ‘tekhnoratik’ khusus sesuai dengan semakin tajamnya pembagian kerja dan profesi yang dibutuhkan.
Menurut Mastuhu, ada beberapa arah perkembangan pendidikan pesantren yang akan berjalan menempuh bentuk-bentuk alternatif sebagai berikut :
1. Tetap berbentuk lama, yaitu sebagai pendidikan non formal yang khusus mendalami ilmu-ilmu agama.
2. Berbentuk tetap sebagai pendidikan non formal di bidang agama tetapi dilengkapi dengan berbagai ketrampilan, dengan catatan bahwa studi keagamaan juga terus dikembangkan sesuai dengan pemikiran dalam Islam.
3. Berbentuk tetap sebagai pendidikan non formal di bidang agama tetapi dilengkapi dengan berbagai ketrampilan, dengan catatan bahwa studi keagamaan juga terus dikembangkan sesuai dengan pemikiran dalam Islam, Berbentuk seperti alternatif kedua namun ada penyelenggaraan pendidikan formal, baik madrasah ataupun sekolah umum, sebagaimana sekarang ini yang berlaku: ‘pesantren’ madrasah dan sekolah umum berada dalam satu ‘kampus’ pesantren.
4. Berubah menjadi bentuk pendidikan formal yang mengasuh khusus ilmu-ilmu agama.
5. Berubah menjadi bentuk alternatif keempat ditambah dengan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Ilmu-ilmu agama yang diajarkan juga dikembangkan sesuai dengan perkembangan pemikiran dalam Islam. Artinya, pengajaran ilmu-ilmu agama menjadi mayoritas sedang ilmu pengetahuan umum menjadi minoritas. Bentuk ini pernah dilakukan Departemen Agama melalui sekolah-sekolah percobaan yang dinamakan ‘Madrasah Plus’ di Padang, Makassar, Jawa Timur. Sekolah percobaan tersebut dimaksudkan untuk mencari calon-calon mahasiswa UIN, dengan perbandingan kurikulum 70% ilmu agama, 30% ilmu pengetahuan umum.
6. Berubah menjadi bentuk pendidikan formal seperti alternatif kelima, tetapi dengan perbandingan terbalik, 70% akal (ilmu pengetahuan umum atau metode berfikir) dan 30% moral (agama). Bentuk ini sama dengan bentuk yang sekarang berlaku bagi madrasah-madrasah yang diasuh oleh Departemen Agama, sebagai hasil keputusan Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri tahun 1975.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa Sistem Pendidikan Nasional kita terperangkap pada dikotomi keilmuan, yaitu pendidikan umum yang berorientasi pada pengembangan akal dan pendidikan agama yang berorientasi pada pengembangan moral. Padahal, seharusnya kedua ilmu tersebut (umum-agama) dapat diintegralkan di atas landasan paradigma Islam. Profesionalitas yang dikembangkan melalui pendidikan formal harus dipadu oleh iman dan takwa kepada Allah SWT.
Dalam perkembangannya ke depan, yang harus selalu diingat adalah bahwa pesantren harus tetap menjadi ‘rumah’ dalam mengembangkan pertahanan mental spiritual sesuai dengan perkembangan jaman dan tuntutan masa. Selain itu, ilmu yang diajarkan di pesantren harus memiliki pola integralistik (umum-agama) yang dilandasi karakteristik keilmuan Islam , diantaranya bersumber dari Allah SWT, bersifat duniawi dan ukhrawi, berlaku umum untuk semua komunitas manusia, realistis, dan integral; artinya tidak dikotomis pada dimensi keilmuannya, serta universal sehingga dapat melahirkan konsep-konsep keilmuwan di segala bidang dan semua kebutuhan manusia. Dan, yang tak kalah pentingnya adalah pesantren, yang merupakan pendidikan berbasis agama (Islam), harus mampu memaksimalkan aspek da’wah karena da’wah merupakan bagian dari Islam dan tidak bisa dipisahkan dengan ilmu-ilmu keislaman. Oleh karena itu dibutuhkan beberapa cara, baik langsung maupun tidak langsung, untuk menjalankan hal tersebut, seperti menyediakan SDM, yaitu menyediakan para pengelola dan pengajar yang faham konsep-konsep tersebut, ada kebijakan politik dari pihak terkait untuk mendukung hal tersebut, dan selalu melakukan penelitian untuk melakukan pengembangan sistim pesantren dari masa ke masa. Dalam hal ini, kebijakan pemerintah turut mempengaruhi dunia pendidikan, khususnya pesantren. Pemerintah seyogyanya memiliki keberpihakan dan pembelaan pada pesantren, khususnya pada isu terorisme yang berkembang beberapa tahun ini. Diharapkan ada dukungan kebijakan terhadap fitnah yang tertuju pada sistem pendidikan yang memang lahir dari rahim bangsa kita sendiri.
Kemudian, dukungan masyarakat pada keberadaan lembaga pendidikan pesantren tersebut juga tidak bisa diabaikan. Dengan kata lain bahwa masyarakat hendaknya juga memiliki kesadaran untuk ikut terlibat dalam perubahan sistem pendidikan pesantren. Misalnya ada keterlibatan masyarakat dalam pesantren yang berorientasi pada bidang sosial, budaya, ataupun pertanian.
PENUTUP
Pendidikan dalam Islam mempunyai tujuan untuk mewujudkan manusia yang baik, manusia yang sempurna atau manusia universal yang sesuai dengan fungsi utama diciptakannya. Dalam hal ini lembaga pesantren telah memulainya dengan melahirkan figur dan tokoh yang benar-benar meraih pencapaian hal tersebut.
Sebagai pendidikan yang lahir dari rahim bangsa sendiri, pesantren harus menjadi garda terdepan dalam melaksanakan kegiatan da’wah sesuai spesifikasinya. Meminjam ungkapan Pak Natsir, “Risalah Merintis Da’wah Melanjutkan”. Da’wah merupakan bagian dari Islam dan tidak bisa dipisahkan dengan ilmu-ilmu keislaman. Pesantren sebagai tempat menuntut ilmu dipandang sangat strategis bila memainkan peranan utama dalam mengembangkan da’wah tersebut. Oleh karena itu, landasan yang mungkin dapat digunakan pesantren dapat mengacu pada konsep-konsep pendidikan dan pembinaan yang komprehensif dan pengembangan masyarakat di sekitar pesantren, baik dari sisi budaya beribadah atau tradisi ber-muamalah yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dengan memaksimalkan aspek da’wah, pesantren diharapkan memiliki para santri yang memiliki kesadaran untuk turut terlibat dalam pekerjaan da’wah, sehingga antara pesantren dan lingkungan di sekitarnya tidak memiliki jarak dalam hal nilai keislaman yang dikembangkan dalam budaya pesantren











Daftar Pustaka :

1. Indra, Hasbi Indra, Dr., M.Ag., Pesantren dan Transformasi Sosial, Penamadani, - Jakarta: 2005.
2. Ismail, Taufiq, et al., Drh., H., Membangun Kemandirian Umat di Pedesaan, Bogor: Pesantren Pertanian Darul Fallah, 2000..
3. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994.
4. Natsir, M., Kubu Pertahana Mental Dari Abad ke Abad, Jakarta: DDII perwakilan Jatim, 1969.
5. Nandika, Dodi, Pendidikan di Tengah Gelombang Perubahan, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2007.
6. Karni Asrori S. Etos studi kaum santri wajah baru pendidikan islam, Mizan, Bandung: 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar