Halaman

Jumat, 03 Mei 2013

DESENTRALISASI PENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Perkembangan system pendidikan di Indonesia telah melalui perjalanan sejarah yang cukup panjang seirama dengan pasang surut perjalanan sejarah bangsa. Jauh sebelum Indonesia mencapai kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, system pendidikan yang berkembang di Indonesia adalah system pendidikan tradisional yang sejak awal memang lahir dari tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pada awal kemerdekaan RI, para pendiri republic yang sebagian besar adalah para tokoh pendidikan, memusatkan usahanya untuk membangun system pendidikan nasional sebagai pengganti dari system pendidikan colonial yang telah berlangsung lebih dari tiga abad. System pendidikan nasional mulai menampakan bentuknya sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-Dasar pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Dalam kurun waktu 50 tahun Indonesia merdeka, Indonesia telah mengalami tiga kali perubahan Undang-Undang, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang system pendidikan Nasional. Selama kurun waktu tersebut, telah terjadi berbagai perubahan dan perkembangan, baik dari aspek substansi maupun kekuasaan dan kewenangan penyelenggaraannya. Dari aspek substansi, telah terjadi perubahan dan perkembangan, antara lain tentang tujuan pendidikan, kurikulum, metode mengajar, penilaian pendidikan terus berlangsung dengan adanya perubahan rencana pelajaran 1964, kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 84, kurikulum 1994, dan kini berlangsung KTSP. Perubahan pada aspek kekuasaan dan kewenangan penyelenggaraan pendidikan, antara lain tampak pada perubahan system pendiidikan nasional yang mulanya sentralistik kini menjadi system pendidikan nasional yang mengalami desentralisasi. Bagian ini akan mengupas satu aspek yang kini telah, sedang, dan terus akan bergulir, yakni perkembangan pelaksanaan desentralisasi pendidikan, yang akan menitikberatkan tentang bagaimana system desentralisasi pendidikan di Indonesia. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengertian dan bentuk desentralisasi? 2. Bagaimana konsep desentralisasi pendidikan? 3. Apa tujuan desentralisasi pendidikan di Indonesia? 4. Bagaimana pelaksanaan otonomi daerah dalam dunia pendidikan? 5. Apa prasyarat keberhasilan proses desentralisasi pendidikan? 6. Apa kewenangan pemerintah pusat dan propinsi di bidang pendidikan? 7. Bagaimana desentralisasi pendidikan di tingkat sekolah? 8. Bagaimana bentuk evaluasi desentralisasi pendidikan? 9. Apa kelebihan dan kelemahan desentralisasi pendidikan? BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian dan bentuk desentralisasi Pengertian desentralisasi pendidikan menurut Hurst (1985), bahwa “the decentralization process implies the transfer of certain function from small group of policy-makers to a small group of authorities at the local level” dengan kata lain desentralisasi merupakan proses penyerahan fungsi-fungsi tertentu dari sekelompok kecil pembuat kebijakan kepada satu kelompok kecil pemegang kekuasaan pada tataran local. Definisi Hurst tersebut telah menggambarkan dengan jelas proses penyerahan fungsi-fungsi pemerintahan yang kemudian diberikan kepada pemerintah daerah. [1] Menurut Chau (1985: 96-97) merujukkan desentralisasi pada konsep pendelegasian kekuasaan kepada pemerintah daerah, dengan tujuan meningkatkan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya. Ia menyatakan “decentralization is a certain delegation of power to regional admistration, but with the sole objective of increased efficiency in the use of resources”. [2] Dari berbagai definisi di atas, konsep desentralisasi kemudian dapat dibedakan dalam tiga bentuk, yakni : [3] a. Deconcentration (Dekonsentrasi) Typically transfers tasks and work, but not authority, to other unit within in organization. (secara tipikal merupakan penyerahan tugas-tugas dan pekerjaan, tetapi bukan kewenangan kepada unit lain di dalam satu organisai) b. Delegation (Delegasi) Transfers decision-making authority from higher to lower hierarchical units. However, this authority can be withdrawn at the discretion of the delegating unit. (menyerahkan kewenangan dalam penentuan keputusan dari unit organisasi yang lebih tinggi kepada hierarki organisasi yang lebih rendah, meskipun demikian kewenangan ini dapat ditarik kembali kepada unit organisasi yang memberikan delegasi) c. Devolution (Devolusi) Transfer authority to a unit that can act independently, or a unit that can act without first asking permission. Privatization is a from of devolution in which responsibility and resources are transferred from public sector institution to private sector ones. (menyerahkan kewenangan kepada unit organisasi yang dapat melaksanakannya secara mandiri, atau unit organisasi yang dapat melaksanakan tanpa harus meminta petunjuk terlebih dahulu. Privatisasi adalah satu bentuk devolusi yang dalam tanggung jawab dan sumberdayanya telah diberikan dari institusi sector public kepada institusi sector swasta). B. Konsep desentralisasi pendidikan Otonomi pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah terungkap pada Bak Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang tua, Masyarakat dan Pemerintah.Pada bagian ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 disebutkan bahwa “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan; pasal 9 Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. [4] Begitu juga pada bagian keempat Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 ayat (2) “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun”. Khusus ketentuan bagi Perguruan Tinggi, pasal 24 ayat (2) “Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep otonomi pendidikan mengandung pengertian yang luas, mencakup filosofi, tujuan, format dan isi pendidikan serta manajemen pendidikan itu sendiri. Implikasinya adalah setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan misi pendidikan yang jelas dan jauh ke depan dengan melakukan pengkajian yang mendalam dan meluas tentang trend perkembangan penduduk dan masyarakat untuk memperoleh konstruk masyarakat di masa depan dan tindak lanjutnya, merancang sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik budaya bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika dalam perspektif tahun 2020. Kemandirian daerah itu harus diawali dengan evaluasi diri, melakukan analisis faktor internal dan eksternal daerah guna mendapat suatu gambaran nyata tentang kondisi daerah sehingga dapat disusun suatu strategi yang matang dan mantap dalam upaya mengangkat harkat dan martabat masyarakat daerah yang berbudaya dan berdaya saing tinggi melalui otonomi pendidikan yang bermutu dan produktif. C. Tujuan desentralisasi pendidikan di Indonesia Hanson berpendapat bahwa tujuan desentralisasi adalah :  Mempercepat pertumbuhan ekonomi (accelerated economic development)  Meningkatkan efesiensi manajemen (increased management efficiency)  Distribusi tanggung jawab dalam bidang keuangan (redistribution of financial responsibility)  Meningkatkan demokratisasi mealalui distribusi kekuasaan (increased democratization trough the distribution of power)  Control local menjadi lebih besar melalui deregulasi (greater local control trough deregulation)  Pendidikan berbasis kebutuhan pasar (market-based education)  Menetralisasi pusat-pusat kekuasaan (neutralizing competing centers of power)  Meningkatkan kualitas pendidikan (improving the quality of education) [5] D. Pelaksanaan otonomi daerah dalam dunia pendidikan Otonomi pendidikan yang benar harus bersifat accountable, artinya kebijakan pendidikan yang diambil harus selalu dipertanggungjawabkan kepada publik, karena sekolah didirikan merupakan institusi publik atau lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa disertai dengan akuntabilitas publik bisa menjurus menjadi tindakan yang sewenang-wenang. Berangkat dan ide otonomi pendidikan muncul beberapa konsep sebagai solusi dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaan otonomi pendidikan,yaitu : [6] 1. Meningkatkan Manajemen Pendidikan Sekolah Menurut Wardiman Djajonegoro (1995) bahwa kualitas pendidikan dapat ditinjau dan segi proses dan produk. Pendidikan disebut berkualitas dan segi proses jika proses belajar mengajar berlangsung secara efektif, dan peserta didik mengalami pembelajaran yang bermakna. Pendidikan disebut berkualitas dan segi produk jika mempunyai salah satu ciri-ciri sebagai berikut : a) peserta didik menunjukkan penguasaan yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar (learning task) yang harus dikuasai dengan tujuan dan sasaran pendidikan, diantaranya hasil belajar akademik yang dinyatakan dalam prestasi belajar (kualitas internal); b) hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam kehidupan sehingga dengan belajar peserta didik bukan hanya mengetahui sesuatu, tetapi dapat melakukan sesuatu yang fungsional dalam kehidupannya (learning and learning), c) hasil pendidikan sesuai atau relevan dengan tuntutan lingkungan khususnya dunia kerja. 2. Reformasi Lembaga Keuangan Hubungan Pusat-Daerah Perlu dilakukan penataan tentang hubungan keuangan antara Pusat-Daerah menyangkut pengelolaan pendapatan (revenue) dan penggunaannya (expenditure) untuk kepentingan pengeluaran rutin maupun pembangunan daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Sumber keuangan diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah, Dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan yang syah dengan melakukan pemerataan diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kegiatan pada suatu daerah, terutama pada daerah miskin. Bila dimungkinkan dilakukan subsidi silang antara daerah yang kaya kepada daerah yang miskin, agar pemerataan pendidikan untuk mendapatkan kualitas sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 3. Kemauan Pemerintah Daerah Melakukan Perubahan Pada era otonom, kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Bila pemerintah daerah memiliki political will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di daerahnya akan maju. Sebaiknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated dan tidak pernah mendapat momentum yang baik untuk berkembang. Otonomi pendidikan harus mendapat dukungan DPRD, karena DPRD-lah yang merupakan penentu kebijakan di tingkat daerah dalam rangka otonomi tersebut. Di bidang pendidikan, DPRD harus mempunyai peran yang kuat dalam membangun pradigma dan visi pendidikan di daerahnya. Oleh karena itu, badan legislatif harus diberdayakan dan memberdayakan diri agar mampu menjadi mitra yang baik. Kepala pemerintahan daerah, kota diberikan masukan secara sistematis dan membangun daerah. 4. Membangun Pendidikan Berbasis Masyarakat Kondisi Sumber Daya yang dimiliki setiap daerah tidak merata untuk seluruh Indonesia. Untuk itu, pemerintah daerah dapat melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan, pakar kampus maupun pakar yang dimiliki Pemerintah Daerah Kota sebagai Brain Trust atau Think Thank untuk turut membangun daerahnya, tidak hanya sebagai pengamat, pemerhati, pengecam kebijakan daerah. Sebaliknya, lembaga pendidikan juga harus membuka diri, lebih banyak mendengar opini publik, kinerjanya dan tentang tanggung jawabnya dalam turut serta memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. 5. Pengaturan Kebijakan Pendidikan antara Pusat dan Daerah Pemerintah Pusat tidak diperkenankan mencampuri urusan pendidikan daerah Pemerintah Pusat hanya diperbolehkan memberikan kebijakan-kebijakan bersifat nasional, seperti aspek mutu dan pemerataan. Pemerintah pusat menetapkan standard mutu. Jadi, pemerintah pusat hanya berperan sebagai fasilitator dan katalisator bukan regulator. Otonomi pengelolaan pendidikan berada pada tingkat sekolah, oleh karena itu lembaga pemerintah harus memberi pelayanan dan mendukung proses pendidikan agar berjalan efektif dan efisien. E. Prasyarat keberhasilan proses desentralisasi pendidikan Keberhasilan desentralisasi pendidikan setidaknya akan tergantung pada beberapa factor pendukung. Di bawah ini akan dikemukakan empat factor penunjang keberhasilan desentralisasi pendidikan, yaitu : [7] 1. Menerapkan deregulasi, meningkatkan fleksibilitas melalui penerapan deregulasi merupakan kunci utama untuk memacu efektivitas desentralisasi pendidikian di daerah dan sekolah. deregulasi merupakan proses pemangkasan jalur birokrasi yang terlalu ketat dan panjang. Deregulasi juga berarti menghilangkan rantai birokrasi yang terlalu banyak. Sebagai system semestinya bukan untuk mempersulit dan memperlambat proses, tetapi sebaliknya memperlancar proses layanan pendidikan yang diperlukan oleh masyarakat. 2. Menerapkan semiotonom atau melaksanakan desentralisasi secara bertahap dan berkesinambungan. 3. Melaksanakan kepemimpinan demokratis dan partisipatif dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. 4. Menerapkan profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan. F. Kewenangan pemerintah pusat dan propinsi di bidang pendidikan Pemerintah pusat masih mempertahankan bentuk-bentuk kewenangan di dunia pendidikan. Hal ini terlihat jelas pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi, khususnya pada pasal 2, butir 11, bidang pendidikan tercantum 10 butir kewenangan yang masih dipegang oleh pemerintah pusat, di antaranya terdapat tujuh hal yang penetapannya masih digenggam oleh pemerintah pusat, yaitu : 1. Menetapkan standar kompetensi siswa 2. Menetapkan standar materi pelajaran pokok 3. Menetapkan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik 4. Menetapkan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan 5. Menetapkan persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa 6. Menetapkan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah, dan luar sekolah 7. Mengatur dan mengembangkan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh, serta mengatur sekolah internasional. [8] Pemerintah provinsi memiliki kewenangan sebagai berikut : 1. Menetapkan kebijakan penerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang dan atau tidak mampu 2. Menyediakan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/ modul pendidikan untuk TK, pendiidkan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan luar sekolah 3. Mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi, selain pengaturan kurikulum, akreditasi, dan pengangkatan tenaga akademis 4. Pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi, penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan/ atau penataran guru. [9] G. Desentralisasi pendidikan di tingkat sekolah Desentralisasi pendidikan di tingkat sekolah merupakan satu bentuk desentralisasi yang langsung sampai ke ujung tombak pendidikan di lapangan. Jika lembaga dinas pendidikan kecamatan, dan dinas pendidikan kabupaten/kota lebih memiliki peran sebagai fasilitator dan coordinator proses pembinaan, pengarahan, pemantauan dan penilaian, maka sekolah seharusnya diberikan peran lebih nyata dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan. Bentuk desentralisai pendidikan yang paling mendasar adalah dilaksanakan oleh sekolah, dengan menggunakan komite sekolah sebagai wadah pemberdayaan peran serta masyarakat, dan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai proses pelaksanaan layanan pendidikan secara nyata di dalam masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat perlu dibentuk Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota, dan Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikian, baik di tingkat kabupaten/kota ataupun sekolah. [10] Amanat undang-undang tersebut telah ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. dalam keputusan tersebut dengan jelas disebutkan bahwa peran yang harus diemban Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah : 1. Sebagai pemberi pertimbangan 2. Pendukung kegiatan layanan pendidikan 3. Pemantau kegiatan layanan pendidikan 4. Mediator atau penghubung tali komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah. Beberapa urusan dalam bidang pendidikan yang secara langsung dapat diserahkan kepada sekolah adalah sebagai berikut : 1. Menetapkan visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah 2. Memiliki kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang kelas yang tersedia, fasilitas yang ada, jumlah guru, dan tenaga admistratif yang dimiliki. 3. Menetapkan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang diadakan dan dilaksanakn oleh sekolah. dalam hal ini, dengan mempertimbangkan kepentingan daerah dan masa depan lulusnya, sekolah perlu diberikan kewenangan untuk melaksanakan kkurikulum nasional dengan kemungkinan menambah atau mengurangi muatan kurikulum dengan meminta pertimbangan kepada Komite Sekolah. 4. Pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, termasuk buku pelajaran dapat diberikan kepada sekolah, dengan memperhatikan standar dan ketentuan yang ada. 5. Penghapusan barang dan jasa dapat dilaksanakan sendiri oleh sekolah, dengan mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten. 6. Proses pengajaran dan pembelajaran. Ini merupakan kewenangan professional sejati yang dimiliki oleh lembaga pendidikan sekolah. 7. Urusan teknis edukatif yang lain sejalan dengan konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) merupakan urusan yang sejak awal harus menjadi tanggung jawab dan kewenangan sekolah. [11] H. Evaluasi Desentralisasi Pendidikan Penerapan desentralisasi yang telah berjalan sepuluh tahun dinilai perlu dikaji ulang. Khusus pada bidang pendidikan perlu ada evaluasi terkait dampaknya terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Sejak reformasi, desentralisasi diberlakukan hampir di semua bidang, kecuali pada lima hal, yaitu keuangan, agama, hukum, dan pertahanan. Sebelum akhirnya ada penambahan bidang, yaitu sektor pendidikan. [12] Desentralisasi pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan yang menjadikan sekolah sebagai proses pengambilan keputusan dan merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya manusia termasuk profesionalitas guru yang belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak baik secara regional maupun secara internasional. Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air kita. Hal ini beralasan, karena sistem birokrasi selalu menempatkan “kekuasaan” sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses pengambilan keputusan. Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah bahkan terkesan semakin buruk dalam era reformasi saat ini. Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang “dikendalikan”. Merekalah seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan sehari-hari yang menghadang upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka ada dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai pembakuan dalam bentuk juklak dan juknis yang “pasti” tidak sesuai dengan kenyataan obyektif di masing-masing sekolah. Disamping itu pula, kekuasaan birokrasi juga yang menjadi faktor sebab dari menurunnya semangat partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dulu, sekolah sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat, dan merekalah yang membangun dan memelihara sekolah, mengadakan sarana pendidikan, serta iuran untuk mengadakan biaya operasional sekolah. Jika sekolah telah mereka bangun, masyarakat hanya meminta guru-guru kepada pemerintah untuk diangkat pada sekolah mereka itu. Pada waktu itu, kita sebenarnya telah mencapai pembangunan pendidikan yang berkelanjutan (sustainable development), karena sekolah adalah sepenuhnya milik masyarakat yang senantiasa bertanggungjawab dalam pemeliharan serta operasional pendidikan sehari-hari. Pada waktu itu, Pemerintah berfungsi sebagai penyeimbang, melalui pemberian subsidi bantuan bagi sekolah-sekolah pada masyarakat yang benar-benar kurang mampu. Namun, keluarnya Inpres SDN No. 10/1973 adalah titik awal dari keterpurukan sistem pendidikan, terutama sistem persekolahan di tanah air. Pemerintah telah mengambil alih “kepemilikan” sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi milik pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratik bahkan sentralistik. Sejak itu, secara perlahan “rasa memiliki” dari masyarakat terhadap sekolah menjadi pudar bahkan akhirnya menghilang. Peran masyarakat yang sebelumnya “bertanggungjawab”, mulai berubah menjadi hanya “berpartisipasi” terhadap pendidikan, selanjutnya, masyarakat bahkan menjadi “asing” terhadap sekolah. Semua sumberdaya pendidikan ditanggung oleh pemerintah, dan seolah tidak ada alasan bagi masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi apalagi bertanggungjawab terhadap penyelengaraan pendidikan di sekolah. Berdasarkan pengalaman empiris tersebut, maka kemandirian setiap satuan pendidikan sudah menjadi satu keharusan dan merupakan salah satu sasaran dari kebijakan desentralisasi pendidikan saat ini. Sekolah-sekolah sudah seharusnya menjadi lembaga yang otonom dengan sendirinya, meskipun pergeseran menuju sekolah-sekolah yang otonom adalah jalan panjang sehingga memerlukan berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Jalan panjang ini tidak selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh dengan onak dan duri. Orang bisa saja mengatakan bahwa paradigma baru untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yang demokratis dan partisipatif, tidak dapat dilaksanakan di dalam suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun, pengembangan demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi demokratis dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang jelas dan transparans. Selanjutnya desentralisasi pendidikan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah maupun sekolah untuk mengambil keputusan terbaik tentang penyelenggaraan pendidikan di daerah atau sekolah yang bersangkutan berdasarkan potensi daerah dan stakeholders sekolah. Olah karenanya, desentralisasi pendidikan disamping diakui sebagai kebijakan politis yang berkaitan dengan pendidikan, juga merupakan kebijakan yang berkait dengan banyak hal. Paqueo dan Lammaert menunjukkan alasan-alasan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan yang sangat cocok untuk kondisi Indonesia, yaitu; (1) kemampuan daerah dalam membiaya pendidikan, (2) peningkatan efektivitas dan efesiensi penyelenggaraan pendidikan dari masing-masing daerah, (3) redistribusi kekuatan politik, (4) peningkatan kualitas pendidikan, (5) peningkatan inovasi dalam rangka pemuasan harapan seluruh warga negara. Sesuai dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi di bidang pendidikan, pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keinginan dan tujuan bangsa Indonesia dalam penyelenggaran pendidikan itu sendiri. Sebagai contoh dalam pendidikan dasar, propenas menyebutkan kegiatan pokok dalam upaya memperbaiki manajemen pendidikan dasar di Indonesia adalah:  Melaksanakan desentralisasi bidang pendidikan secara bertahap, bijaksana dan profesional, termasuk peningkatan peranan stakeholders sekolah;  Mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan secara desentralisasi untuk meningkatkan efesiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat;  Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, seperti diversifikasi penggunaan sumber daya dan dana;  Mengembangkan sistem insentif yang mendorong terjadinya kompetensi yang sehat baik antara lembaga dan personil sekolah untuk pencapaian tujuan pendidikan  Memberdayakan personil dan lembaga, antara lain melalui pelatihan yang dilaksanakan oleh lembaga profesional.  Meninjau kembali semua produk hukum di bidang pendidikan yang tidak sesuai lagi dengan arah dan tuntutan pembangunan pendidikan; dan  Merintis pembentukan badan akreditasi dan sertifikasi mengajar di daerah untuk meningkatkan kualitas tenaga kependidikan secara independen. Atas dasar amanat seperti yang dirumuskan dalam propenas di atas, maka sangat jelas bahwa tekad bangsa Indonesia untuk mewujudkan sistem pendidikan secara desentralistik terkesan sangat kuat. Dengan sistem ini pendidikan dapat dilaksanakan lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, di mana proses pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang paling dekat dengan proses pembelajaran (kepala sekolah, guru, dan orang tua peserta didik). Adanya otonomisasi daerah yang sekaligus disertai dengan otonomi penyelenggaraan pendidikan atau desentralisasi pendidikan, hendaknya dapat mencapai sasaran utama progam restrukturisasi sistem dan manajemen pendidikan di Indonesia. Restrukturisasi dimaksud antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut:  Struktur organisasi pendidikan hendaknya terbuka dan dinamis, mencerminkan desentralisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.  Sarana pendidikan dan fasilitas pembelajaran dibakukan berdasarkan prinsip edukatif sehingga lembaga pendidikan merupakan tempat yang menyenangkan untuk belajar, berprestasi, berkreasi, berkomunikasi, berolah raga serta menjalankan syariat agama.  Tenaga kependidikan, terutama tenaga pengajar harus benar-benar profesional dan diikat oleh sistem kontrak kinerja.  Struktur kurikulum pendidikan hendaknya mengacu pada penerapan sistem pembelajaran tuntas, tidak terikat pada penyelesaian target kurikulum secara seragam per catur wulan dan tahun pelajaran  Proses pembelajaran tuntas diterapkan dengan berbagai modus pendekatan pembelajaran, peserta didik aktif sesuai dengan tingkat kesulitan konsep-konsep dasar yang dipelajari.  Sistem penilaian hasil belajar secara berkelanjutan perlu diterapkan di setiap lembaga pendidikan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pembelajaran tuntas.  Dilakukan supervisi dan akreditasi. Supervisi dan pembinaan administrasi akdemik dilakukan oleh unsur manajemen tingkat pusat dan provinsi yang bertujuan untuk mengendalikan mutu (quality control). Sedangkan akreditasi dilakukan untuk menjamin mutu quality assurance) pelayanan kelembagaan.  Pendidikan berbasis masyarakat seperti pondok pesantren, kursus-kursus keterampilan, pemagangan di tempat kerja dalam rangka pendidikan sistem ganda harus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.  Formula pembiayaan pendidikan atau unit cost dan subsidi pendidikan harus didasarkan pada bobot beban penyelenggaraan pendidikan yang memperhatikan jumlah peserta didik, kesulitan komunikasi, tingkat kesejahteraan masyarakat dan tingkat partisipasi pendidikan serta kontribusi masyarakat terhadap pendidikan pada setiap sekolah. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa desentralisasi pendidikan pada hakekatnya berkorelasi positif terhadap peningkatan mutu lulusan lembaga pendidikan dan efesiensi pengelolaan pendidikan. Apabila sekolah dapat dikelola dengan optimal oleh personalia yang profesional, pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak-pihak yang lebih dekat dan tahu tentang kebutuhan dan potensi sekolah, maka mutu pendidikan akan semakin menunjukan pada tingkat maksimal sesuai yang diharapkan. I. Kelebihan dan kelemahan desentralisasi pendidikan Berikut kelebihan dari desentralisasi pendidikan : 1. Peningkatan mutu, yaitu dengan kewenangan yang dimiliki sekolah maka sekolah lebih leluasa mengelola dan memberdayakan potensi sumber daya yang dimiliki 2. Efisiensi Keuangan hal ini dapat dicapai dengan memanfaatkan sumber-sumber pajak lokal dan mengurangi biaya operasional 3. Efisiensi Administrasi, dengan memotong mata rantai birokrasi yang panjang dengan menghilangkan prosedur yang bertingkat-tingkat 4. Perluasan dan pemerataan, membuka peluang penyelenggaraan pendidikan pada daerah pelosok sehingga terjadi perluasan dan pemerataan pendidikan. [13] Adapun kelemahan yang mungkin timbul dalam implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan melalui UU Otonomi Daerah adalah : 1. Kurang siapnya SDM pada daerah terpencil 2. Tidak meratanya pendapatan asli daerah, khususnya daera-daerah miskin 3. Kurangnya perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan 4. Otoritas pimpinan dalam hal ini Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas utama 5. kondisi dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki. [14] BAB III PENUTUPAN A. Simpulan Proses desentralisasi pendidikan di Indonesia sedang berjalan dengan mencari bentuk yang diinginkan. Oleh karena itu, tarik ulur kekuasaan dan kewenangan antara unit organisasi di pusat dan daerah masih terjadi. Hal ini harus dimaknai sebagai proses penyelarasan dan penyesuaian, agar desentralisasi pendidikan pada akhirnya dapat menemukan bentuk yang dapat disepakati baik pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun pihak sekolah. Berdasarkan uraian tersebut, tampak nyata bahwa dewasa ini masih diperlukan adanya kejelasan tentang kekuasaan dan kewenangan semua unit organisasi, dari pusat sampai ke sekolah. hal ini amat diperlukan agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi tumpang tindih dan tabrakan antara unit organisasi. Selain itu, kejelasan tentang kekuasaan dan kewenangan untuk masing-masing unit organisasi itu diperlukan dalam rangka efisiensi. B. Saran 1. Sistem desentralisasi hendaknya lebih diperhatikan dan ditegaskan oleh pemerintah, agar guru tidak hanya sebagai bahan percobaan diadakannya sisitem pendidikan. 2. Sistem desentralisasi pendidikan merupakan konsep otonomi sekolah, yang mengedepankan adanya semua hal diberikan wewenang kepada sekolah, tetapi dengan masih adanya sistem sentralistik pada ujian nasional, yang menentukan kelulusan siswa hanya ujian nasional. Hendaknya pemerintah harus lebih mengedepankan wewenang sekolah dalam penentuan kelulusan siswa. 3. Harus lebih ada kejelasan kekuasaan dan wewenang dari pemerintah untuk sistem desentralisasi 4. Dengan adanya perubahan sistem pendidikan yang akan diganti menjadi kurikulum 2013, hendaknya ada kesinambungan antara stakeholder sekolah/ pendidikan dan pemerintah ada kerjasama yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Dewasastra.2012.http://dewasastra.wordpress.com/2012/03/27/desentralisasi-pendidikan/. (Diakses 23 Desember 2012) http://pakguruonline.pendidikan.net/otonomi_pendidikan.html. (Diakses 23 Desember 2012) Indra Akuntono. 2011. November 8. “Desentralisasi Pendidikan Perlu di Evaluasi”. Kompas. 4. Mark Hanson, 1997, Educational Reform and The Transition From Authoritarian to democratic Goverments: The Cases of Argentina, Colombia, Venezuela, and Spain, dalam Internasional Jurnal of Educational Development, Vol 32, No.1. Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep Strategi, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000. Riant Nugroho, 2000, Desentralisasi Tanpa Revolusi, Elex Media Komputindo: Jakarta. Salim Agus, Indonesia Belajarlah! Membangun Pendidikan Indonesia, 2007, Yogyakarta: Tiara Wacana. Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, 2005, Jakarta: Rajawali Pers.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Perkembangan system pendidikan di Indonesia telah melalui perjalanan sejarah yang cukup panjang seirama dengan pasang surut perjalanan sejarah bangsa. Jauh sebelum Indonesia mencapai kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, system pendidikan yang berkembang di Indonesia adalah system pendidikan tradisional yang sejak awal memang lahir dari tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pada awal kemerdekaan RI, para pendiri republic yang sebagian besar adalah para tokoh pendidikan, memusatkan usahanya untuk membangun system pendidikan nasional sebagai pengganti dari system pendidikan colonial yang telah berlangsung lebih dari tiga abad. System pendidikan nasional mulai menampakan bentuknya sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-Dasar pendidikan dan Pengajaran di Sekolah. Dalam kurun waktu 50 tahun Indonesia merdeka, Indonesia telah mengalami tiga kali perubahan Undang-Undang, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang system pendidikan Nasional. Selama kurun waktu tersebut, telah terjadi berbagai perubahan dan perkembangan, baik dari aspek substansi maupun kekuasaan dan kewenangan penyelenggaraannya. Dari aspek substansi, telah terjadi perubahan dan perkembangan, antara lain tentang tujuan pendidikan, kurikulum, metode mengajar, penilaian pendidikan terus berlangsung dengan adanya perubahan rencana pelajaran 1964, kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 84, kurikulum 1994, dan kini berlangsung KTSP. Perubahan pada aspek kekuasaan dan kewenangan penyelenggaraan pendidikan, antara lain tampak pada perubahan system pendiidikan nasional yang mulanya sentralistik kini menjadi system pendidikan nasional yang mengalami desentralisasi. Bagian ini akan mengupas satu aspek yang kini telah, sedang, dan terus akan bergulir, yakni perkembangan pelaksanaan desentralisasi pendidikan, yang akan menitikberatkan tentang bagaimana system desentralisasi pendidikan di Indonesia. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengertian dan bentuk desentralisasi? 2. Bagaimana konsep desentralisasi pendidikan? 3. Apa tujuan desentralisasi pendidikan di Indonesia? 4. Bagaimana pelaksanaan otonomi daerah dalam dunia pendidikan? 5. Apa prasyarat keberhasilan proses desentralisasi pendidikan? 6. Apa kewenangan pemerintah pusat dan propinsi di bidang pendidikan? 7. Bagaimana desentralisasi pendidikan di tingkat sekolah? 8. Bagaimana bentuk evaluasi desentralisasi pendidikan? 9. Apa kelebihan dan kelemahan desentralisasi pendidikan? BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian dan bentuk desentralisasi Pengertian desentralisasi pendidikan menurut Hurst (1985), bahwa “the decentralization process implies the transfer of certain function from small group of policy-makers to a small group of authorities at the local level” dengan kata lain desentralisasi merupakan proses penyerahan fungsi-fungsi tertentu dari sekelompok kecil pembuat kebijakan kepada satu kelompok kecil pemegang kekuasaan pada tataran local. Definisi Hurst tersebut telah menggambarkan dengan jelas proses penyerahan fungsi-fungsi pemerintahan yang kemudian diberikan kepada pemerintah daerah. [1] Menurut Chau (1985: 96-97) merujukkan desentralisasi pada konsep pendelegasian kekuasaan kepada pemerintah daerah, dengan tujuan meningkatkan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya. Ia menyatakan “decentralization is a certain delegation of power to regional admistration, but with the sole objective of increased efficiency in the use of resources”. [2] Dari berbagai definisi di atas, konsep desentralisasi kemudian dapat dibedakan dalam tiga bentuk, yakni : [3] a. Deconcentration (Dekonsentrasi) Typically transfers tasks and work, but not authority, to other unit within in organization. (secara tipikal merupakan penyerahan tugas-tugas dan pekerjaan, tetapi bukan kewenangan kepada unit lain di dalam satu organisai) b. Delegation (Delegasi) Transfers decision-making authority from higher to lower hierarchical units. However, this authority can be withdrawn at the discretion of the delegating unit. (menyerahkan kewenangan dalam penentuan keputusan dari unit organisasi yang lebih tinggi kepada hierarki organisasi yang lebih rendah, meskipun demikian kewenangan ini dapat ditarik kembali kepada unit organisasi yang memberikan delegasi) c. Devolution (Devolusi) Transfer authority to a unit that can act independently, or a unit that can act without first asking permission. Privatization is a from of devolution in which responsibility and resources are transferred from public sector institution to private sector ones. (menyerahkan kewenangan kepada unit organisasi yang dapat melaksanakannya secara mandiri, atau unit organisasi yang dapat melaksanakan tanpa harus meminta petunjuk terlebih dahulu. Privatisasi adalah satu bentuk devolusi yang dalam tanggung jawab dan sumberdayanya telah diberikan dari institusi sector public kepada institusi sector swasta). B. Konsep desentralisasi pendidikan Otonomi pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah terungkap pada Bak Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang tua, Masyarakat dan Pemerintah.Pada bagian ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 disebutkan bahwa “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan; pasal 9 Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. [4] Begitu juga pada bagian keempat Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 ayat (2) “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun”. Khusus ketentuan bagi Perguruan Tinggi, pasal 24 ayat (2) “Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep otonomi pendidikan mengandung pengertian yang luas, mencakup filosofi, tujuan, format dan isi pendidikan serta manajemen pendidikan itu sendiri. Implikasinya adalah setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan misi pendidikan yang jelas dan jauh ke depan dengan melakukan pengkajian yang mendalam dan meluas tentang trend perkembangan penduduk dan masyarakat untuk memperoleh konstruk masyarakat di masa depan dan tindak lanjutnya, merancang sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik budaya bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika dalam perspektif tahun 2020. Kemandirian daerah itu harus diawali dengan evaluasi diri, melakukan analisis faktor internal dan eksternal daerah guna mendapat suatu gambaran nyata tentang kondisi daerah sehingga dapat disusun suatu strategi yang matang dan mantap dalam upaya mengangkat harkat dan martabat masyarakat daerah yang berbudaya dan berdaya saing tinggi melalui otonomi pendidikan yang bermutu dan produktif. C. Tujuan desentralisasi pendidikan di Indonesia Hanson berpendapat bahwa tujuan desentralisasi adalah :  Mempercepat pertumbuhan ekonomi (accelerated economic development)  Meningkatkan efesiensi manajemen (increased management efficiency)  Distribusi tanggung jawab dalam bidang keuangan (redistribution of financial responsibility)  Meningkatkan demokratisasi mealalui distribusi kekuasaan (increased democratization trough the distribution of power)  Control local menjadi lebih besar melalui deregulasi (greater local control trough deregulation)  Pendidikan berbasis kebutuhan pasar (market-based education)  Menetralisasi pusat-pusat kekuasaan (neutralizing competing centers of power)  Meningkatkan kualitas pendidikan (improving the quality of education) [5] D. Pelaksanaan otonomi daerah dalam dunia pendidikan Otonomi pendidikan yang benar harus bersifat accountable, artinya kebijakan pendidikan yang diambil harus selalu dipertanggungjawabkan kepada publik, karena sekolah didirikan merupakan institusi publik atau lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa disertai dengan akuntabilitas publik bisa menjurus menjadi tindakan yang sewenang-wenang. Berangkat dan ide otonomi pendidikan muncul beberapa konsep sebagai solusi dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaan otonomi pendidikan,yaitu : [6] 1. Meningkatkan Manajemen Pendidikan Sekolah Menurut Wardiman Djajonegoro (1995) bahwa kualitas pendidikan dapat ditinjau dan segi proses dan produk. Pendidikan disebut berkualitas dan segi proses jika proses belajar mengajar berlangsung secara efektif, dan peserta didik mengalami pembelajaran yang bermakna. Pendidikan disebut berkualitas dan segi produk jika mempunyai salah satu ciri-ciri sebagai berikut : a) peserta didik menunjukkan penguasaan yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar (learning task) yang harus dikuasai dengan tujuan dan sasaran pendidikan, diantaranya hasil belajar akademik yang dinyatakan dalam prestasi belajar (kualitas internal); b) hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam kehidupan sehingga dengan belajar peserta didik bukan hanya mengetahui sesuatu, tetapi dapat melakukan sesuatu yang fungsional dalam kehidupannya (learning and learning), c) hasil pendidikan sesuai atau relevan dengan tuntutan lingkungan khususnya dunia kerja. 2. Reformasi Lembaga Keuangan Hubungan Pusat-Daerah Perlu dilakukan penataan tentang hubungan keuangan antara Pusat-Daerah menyangkut pengelolaan pendapatan (revenue) dan penggunaannya (expenditure) untuk kepentingan pengeluaran rutin maupun pembangunan daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Sumber keuangan diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah, Dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan yang syah dengan melakukan pemerataan diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kegiatan pada suatu daerah, terutama pada daerah miskin. Bila dimungkinkan dilakukan subsidi silang antara daerah yang kaya kepada daerah yang miskin, agar pemerataan pendidikan untuk mendapatkan kualitas sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 3. Kemauan Pemerintah Daerah Melakukan Perubahan Pada era otonom, kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Bila pemerintah daerah memiliki political will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di daerahnya akan maju. Sebaiknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated dan tidak pernah mendapat momentum yang baik untuk berkembang. Otonomi pendidikan harus mendapat dukungan DPRD, karena DPRD-lah yang merupakan penentu kebijakan di tingkat daerah dalam rangka otonomi tersebut. Di bidang pendidikan, DPRD harus mempunyai peran yang kuat dalam membangun pradigma dan visi pendidikan di daerahnya. Oleh karena itu, badan legislatif harus diberdayakan dan memberdayakan diri agar mampu menjadi mitra yang baik. Kepala pemerintahan daerah, kota diberikan masukan secara sistematis dan membangun daerah. 4. Membangun Pendidikan Berbasis Masyarakat Kondisi Sumber Daya yang dimiliki setiap daerah tidak merata untuk seluruh Indonesia. Untuk itu, pemerintah daerah dapat melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan, pakar kampus maupun pakar yang dimiliki Pemerintah Daerah Kota sebagai Brain Trust atau Think Thank untuk turut membangun daerahnya, tidak hanya sebagai pengamat, pemerhati, pengecam kebijakan daerah. Sebaliknya, lembaga pendidikan juga harus membuka diri, lebih banyak mendengar opini publik, kinerjanya dan tentang tanggung jawabnya dalam turut serta memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. 5. Pengaturan Kebijakan Pendidikan antara Pusat dan Daerah Pemerintah Pusat tidak diperkenankan mencampuri urusan pendidikan daerah Pemerintah Pusat hanya diperbolehkan memberikan kebijakan-kebijakan bersifat nasional, seperti aspek mutu dan pemerataan. Pemerintah pusat menetapkan standard mutu. Jadi, pemerintah pusat hanya berperan sebagai fasilitator dan katalisator bukan regulator. Otonomi pengelolaan pendidikan berada pada tingkat sekolah, oleh karena itu lembaga pemerintah harus memberi pelayanan dan mendukung proses pendidikan agar berjalan efektif dan efisien. E. Prasyarat keberhasilan proses desentralisasi pendidikan Keberhasilan desentralisasi pendidikan setidaknya akan tergantung pada beberapa factor pendukung. Di bawah ini akan dikemukakan empat factor penunjang keberhasilan desentralisasi pendidikan, yaitu : [7] 1. Menerapkan deregulasi, meningkatkan fleksibilitas melalui penerapan deregulasi merupakan kunci utama untuk memacu efektivitas desentralisasi pendidikian di daerah dan sekolah. deregulasi merupakan proses pemangkasan jalur birokrasi yang terlalu ketat dan panjang. Deregulasi juga berarti menghilangkan rantai birokrasi yang terlalu banyak. Sebagai system semestinya bukan untuk mempersulit dan memperlambat proses, tetapi sebaliknya memperlancar proses layanan pendidikan yang diperlukan oleh masyarakat. 2. Menerapkan semiotonom atau melaksanakan desentralisasi secara bertahap dan berkesinambungan. 3. Melaksanakan kepemimpinan demokratis dan partisipatif dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. 4. Menerapkan profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan. F. Kewenangan pemerintah pusat dan propinsi di bidang pendidikan Pemerintah pusat masih mempertahankan bentuk-bentuk kewenangan di dunia pendidikan. Hal ini terlihat jelas pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi, khususnya pada pasal 2, butir 11, bidang pendidikan tercantum 10 butir kewenangan yang masih dipegang oleh pemerintah pusat, di antaranya terdapat tujuh hal yang penetapannya masih digenggam oleh pemerintah pusat, yaitu : 1. Menetapkan standar kompetensi siswa 2. Menetapkan standar materi pelajaran pokok 3. Menetapkan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik 4. Menetapkan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan 5. Menetapkan persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa 6. Menetapkan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah, dan luar sekolah 7. Mengatur dan mengembangkan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh, serta mengatur sekolah internasional. [8] Pemerintah provinsi memiliki kewenangan sebagai berikut : 1. Menetapkan kebijakan penerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang dan atau tidak mampu 2. Menyediakan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/ modul pendidikan untuk TK, pendiidkan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan luar sekolah 3. Mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi, selain pengaturan kurikulum, akreditasi, dan pengangkatan tenaga akademis 4. Pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi, penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan/ atau penataran guru. [9] G. Desentralisasi pendidikan di tingkat sekolah Desentralisasi pendidikan di tingkat sekolah merupakan satu bentuk desentralisasi yang langsung sampai ke ujung tombak pendidikan di lapangan. Jika lembaga dinas pendidikan kecamatan, dan dinas pendidikan kabupaten/kota lebih memiliki peran sebagai fasilitator dan coordinator proses pembinaan, pengarahan, pemantauan dan penilaian, maka sekolah seharusnya diberikan peran lebih nyata dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan. Bentuk desentralisai pendidikan yang paling mendasar adalah dilaksanakan oleh sekolah, dengan menggunakan komite sekolah sebagai wadah pemberdayaan peran serta masyarakat, dan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai proses pelaksanaan layanan pendidikan secara nyata di dalam masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat perlu dibentuk Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota, dan Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikian, baik di tingkat kabupaten/kota ataupun sekolah. [10] Amanat undang-undang tersebut telah ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. dalam keputusan tersebut dengan jelas disebutkan bahwa peran yang harus diemban Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah : 1. Sebagai pemberi pertimbangan 2. Pendukung kegiatan layanan pendidikan 3. Pemantau kegiatan layanan pendidikan 4. Mediator atau penghubung tali komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah. Beberapa urusan dalam bidang pendidikan yang secara langsung dapat diserahkan kepada sekolah adalah sebagai berikut : 1. Menetapkan visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah 2. Memiliki kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang kelas yang tersedia, fasilitas yang ada, jumlah guru, dan tenaga admistratif yang dimiliki. 3. Menetapkan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang diadakan dan dilaksanakn oleh sekolah. dalam hal ini, dengan mempertimbangkan kepentingan daerah dan masa depan lulusnya, sekolah perlu diberikan kewenangan untuk melaksanakan kkurikulum nasional dengan kemungkinan menambah atau mengurangi muatan kurikulum dengan meminta pertimbangan kepada Komite Sekolah. 4. Pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, termasuk buku pelajaran dapat diberikan kepada sekolah, dengan memperhatikan standar dan ketentuan yang ada. 5. Penghapusan barang dan jasa dapat dilaksanakan sendiri oleh sekolah, dengan mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten. 6. Proses pengajaran dan pembelajaran. Ini merupakan kewenangan professional sejati yang dimiliki oleh lembaga pendidikan sekolah. 7. Urusan teknis edukatif yang lain sejalan dengan konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) merupakan urusan yang sejak awal harus menjadi tanggung jawab dan kewenangan sekolah. [11] H. Evaluasi Desentralisasi Pendidikan Penerapan desentralisasi yang telah berjalan sepuluh tahun dinilai perlu dikaji ulang. Khusus pada bidang pendidikan perlu ada evaluasi terkait dampaknya terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Sejak reformasi, desentralisasi diberlakukan hampir di semua bidang, kecuali pada lima hal, yaitu keuangan, agama, hukum, dan pertahanan. Sebelum akhirnya ada penambahan bidang, yaitu sektor pendidikan. [12] Desentralisasi pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan yang menjadikan sekolah sebagai proses pengambilan keputusan dan merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya manusia termasuk profesionalitas guru yang belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak baik secara regional maupun secara internasional. Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air kita. Hal ini beralasan, karena sistem birokrasi selalu menempatkan “kekuasaan” sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses pengambilan keputusan. Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah bahkan terkesan semakin buruk dalam era reformasi saat ini. Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang “dikendalikan”. Merekalah seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan sehari-hari yang menghadang upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka ada dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai pembakuan dalam bentuk juklak dan juknis yang “pasti” tidak sesuai dengan kenyataan obyektif di masing-masing sekolah. Disamping itu pula, kekuasaan birokrasi juga yang menjadi faktor sebab dari menurunnya semangat partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dulu, sekolah sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat, dan merekalah yang membangun dan memelihara sekolah, mengadakan sarana pendidikan, serta iuran untuk mengadakan biaya operasional sekolah. Jika sekolah telah mereka bangun, masyarakat hanya meminta guru-guru kepada pemerintah untuk diangkat pada sekolah mereka itu. Pada waktu itu, kita sebenarnya telah mencapai pembangunan pendidikan yang berkelanjutan (sustainable development), karena sekolah adalah sepenuhnya milik masyarakat yang senantiasa bertanggungjawab dalam pemeliharan serta operasional pendidikan sehari-hari. Pada waktu itu, Pemerintah berfungsi sebagai penyeimbang, melalui pemberian subsidi bantuan bagi sekolah-sekolah pada masyarakat yang benar-benar kurang mampu. Namun, keluarnya Inpres SDN No. 10/1973 adalah titik awal dari keterpurukan sistem pendidikan, terutama sistem persekolahan di tanah air. Pemerintah telah mengambil alih “kepemilikan” sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi milik pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratik bahkan sentralistik. Sejak itu, secara perlahan “rasa memiliki” dari masyarakat terhadap sekolah menjadi pudar bahkan akhirnya menghilang. Peran masyarakat yang sebelumnya “bertanggungjawab”, mulai berubah menjadi hanya “berpartisipasi” terhadap pendidikan, selanjutnya, masyarakat bahkan menjadi “asing” terhadap sekolah. Semua sumberdaya pendidikan ditanggung oleh pemerintah, dan seolah tidak ada alasan bagi masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi apalagi bertanggungjawab terhadap penyelengaraan pendidikan di sekolah. Berdasarkan pengalaman empiris tersebut, maka kemandirian setiap satuan pendidikan sudah menjadi satu keharusan dan merupakan salah satu sasaran dari kebijakan desentralisasi pendidikan saat ini. Sekolah-sekolah sudah seharusnya menjadi lembaga yang otonom dengan sendirinya, meskipun pergeseran menuju sekolah-sekolah yang otonom adalah jalan panjang sehingga memerlukan berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Jalan panjang ini tidak selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh dengan onak dan duri. Orang bisa saja mengatakan bahwa paradigma baru untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yang demokratis dan partisipatif, tidak dapat dilaksanakan di dalam suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun, pengembangan demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi demokratis dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang jelas dan transparans. Selanjutnya desentralisasi pendidikan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah maupun sekolah untuk mengambil keputusan terbaik tentang penyelenggaraan pendidikan di daerah atau sekolah yang bersangkutan berdasarkan potensi daerah dan stakeholders sekolah. Olah karenanya, desentralisasi pendidikan disamping diakui sebagai kebijakan politis yang berkaitan dengan pendidikan, juga merupakan kebijakan yang berkait dengan banyak hal. Paqueo dan Lammaert menunjukkan alasan-alasan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan yang sangat cocok untuk kondisi Indonesia, yaitu; (1) kemampuan daerah dalam membiaya pendidikan, (2) peningkatan efektivitas dan efesiensi penyelenggaraan pendidikan dari masing-masing daerah, (3) redistribusi kekuatan politik, (4) peningkatan kualitas pendidikan, (5) peningkatan inovasi dalam rangka pemuasan harapan seluruh warga negara. Sesuai dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi di bidang pendidikan, pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keinginan dan tujuan bangsa Indonesia dalam penyelenggaran pendidikan itu sendiri. Sebagai contoh dalam pendidikan dasar, propenas menyebutkan kegiatan pokok dalam upaya memperbaiki manajemen pendidikan dasar di Indonesia adalah:  Melaksanakan desentralisasi bidang pendidikan secara bertahap, bijaksana dan profesional, termasuk peningkatan peranan stakeholders sekolah;  Mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan secara desentralisasi untuk meningkatkan efesiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat;  Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, seperti diversifikasi penggunaan sumber daya dan dana;  Mengembangkan sistem insentif yang mendorong terjadinya kompetensi yang sehat baik antara lembaga dan personil sekolah untuk pencapaian tujuan pendidikan  Memberdayakan personil dan lembaga, antara lain melalui pelatihan yang dilaksanakan oleh lembaga profesional.  Meninjau kembali semua produk hukum di bidang pendidikan yang tidak sesuai lagi dengan arah dan tuntutan pembangunan pendidikan; dan  Merintis pembentukan badan akreditasi dan sertifikasi mengajar di daerah untuk meningkatkan kualitas tenaga kependidikan secara independen. Atas dasar amanat seperti yang dirumuskan dalam propenas di atas, maka sangat jelas bahwa tekad bangsa Indonesia untuk mewujudkan sistem pendidikan secara desentralistik terkesan sangat kuat. Dengan sistem ini pendidikan dapat dilaksanakan lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, di mana proses pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang paling dekat dengan proses pembelajaran (kepala sekolah, guru, dan orang tua peserta didik). Adanya otonomisasi daerah yang sekaligus disertai dengan otonomi penyelenggaraan pendidikan atau desentralisasi pendidikan, hendaknya dapat mencapai sasaran utama progam restrukturisasi sistem dan manajemen pendidikan di Indonesia. Restrukturisasi dimaksud antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut:  Struktur organisasi pendidikan hendaknya terbuka dan dinamis, mencerminkan desentralisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.  Sarana pendidikan dan fasilitas pembelajaran dibakukan berdasarkan prinsip edukatif sehingga lembaga pendidikan merupakan tempat yang menyenangkan untuk belajar, berprestasi, berkreasi, berkomunikasi, berolah raga serta menjalankan syariat agama.  Tenaga kependidikan, terutama tenaga pengajar harus benar-benar profesional dan diikat oleh sistem kontrak kinerja.  Struktur kurikulum pendidikan hendaknya mengacu pada penerapan sistem pembelajaran tuntas, tidak terikat pada penyelesaian target kurikulum secara seragam per catur wulan dan tahun pelajaran  Proses pembelajaran tuntas diterapkan dengan berbagai modus pendekatan pembelajaran, peserta didik aktif sesuai dengan tingkat kesulitan konsep-konsep dasar yang dipelajari.  Sistem penilaian hasil belajar secara berkelanjutan perlu diterapkan di setiap lembaga pendidikan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pembelajaran tuntas.  Dilakukan supervisi dan akreditasi. Supervisi dan pembinaan administrasi akdemik dilakukan oleh unsur manajemen tingkat pusat dan provinsi yang bertujuan untuk mengendalikan mutu (quality control). Sedangkan akreditasi dilakukan untuk menjamin mutu quality assurance) pelayanan kelembagaan.  Pendidikan berbasis masyarakat seperti pondok pesantren, kursus-kursus keterampilan, pemagangan di tempat kerja dalam rangka pendidikan sistem ganda harus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.  Formula pembiayaan pendidikan atau unit cost dan subsidi pendidikan harus didasarkan pada bobot beban penyelenggaraan pendidikan yang memperhatikan jumlah peserta didik, kesulitan komunikasi, tingkat kesejahteraan masyarakat dan tingkat partisipasi pendidikan serta kontribusi masyarakat terhadap pendidikan pada setiap sekolah. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa desentralisasi pendidikan pada hakekatnya berkorelasi positif terhadap peningkatan mutu lulusan lembaga pendidikan dan efesiensi pengelolaan pendidikan. Apabila sekolah dapat dikelola dengan optimal oleh personalia yang profesional, pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak-pihak yang lebih dekat dan tahu tentang kebutuhan dan potensi sekolah, maka mutu pendidikan akan semakin menunjukan pada tingkat maksimal sesuai yang diharapkan. I. Kelebihan dan kelemahan desentralisasi pendidikan Berikut kelebihan dari desentralisasi pendidikan : 1. Peningkatan mutu, yaitu dengan kewenangan yang dimiliki sekolah maka sekolah lebih leluasa mengelola dan memberdayakan potensi sumber daya yang dimiliki 2. Efisiensi Keuangan hal ini dapat dicapai dengan memanfaatkan sumber-sumber pajak lokal dan mengurangi biaya operasional 3. Efisiensi Administrasi, dengan memotong mata rantai birokrasi yang panjang dengan menghilangkan prosedur yang bertingkat-tingkat 4. Perluasan dan pemerataan, membuka peluang penyelenggaraan pendidikan pada daerah pelosok sehingga terjadi perluasan dan pemerataan pendidikan. [13] Adapun kelemahan yang mungkin timbul dalam implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan melalui UU Otonomi Daerah adalah : 1. Kurang siapnya SDM pada daerah terpencil 2. Tidak meratanya pendapatan asli daerah, khususnya daera-daerah miskin 3. Kurangnya perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan 4. Otoritas pimpinan dalam hal ini Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas utama 5. kondisi dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki. [14] BAB III PENUTUPAN A. Simpulan Proses desentralisasi pendidikan di Indonesia sedang berjalan dengan mencari bentuk yang diinginkan. Oleh karena itu, tarik ulur kekuasaan dan kewenangan antara unit organisasi di pusat dan daerah masih terjadi. Hal ini harus dimaknai sebagai proses penyelarasan dan penyesuaian, agar desentralisasi pendidikan pada akhirnya dapat menemukan bentuk yang dapat disepakati baik pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun pihak sekolah. Berdasarkan uraian tersebut, tampak nyata bahwa dewasa ini masih diperlukan adanya kejelasan tentang kekuasaan dan kewenangan semua unit organisasi, dari pusat sampai ke sekolah. hal ini amat diperlukan agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi tumpang tindih dan tabrakan antara unit organisasi. Selain itu, kejelasan tentang kekuasaan dan kewenangan untuk masing-masing unit organisasi itu diperlukan dalam rangka efisiensi. B. Saran 1. Sistem desentralisasi hendaknya lebih diperhatikan dan ditegaskan oleh pemerintah, agar guru tidak hanya sebagai bahan percobaan diadakannya sisitem pendidikan. 2. Sistem desentralisasi pendidikan merupakan konsep otonomi sekolah, yang mengedepankan adanya semua hal diberikan wewenang kepada sekolah, tetapi dengan masih adanya sistem sentralistik pada ujian nasional, yang menentukan kelulusan siswa hanya ujian nasional. Hendaknya pemerintah harus lebih mengedepankan wewenang sekolah dalam penentuan kelulusan siswa. 3. Harus lebih ada kejelasan kekuasaan dan wewenang dari pemerintah untuk sistem desentralisasi 4. Dengan adanya perubahan sistem pendidikan yang akan diganti menjadi kurikulum 2013, hendaknya ada kesinambungan antara stakeholder sekolah/ pendidikan dan pemerintah ada kerjasama yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Dewasastra.2012.http://dewasastra.wordpress.com/2012/03/27/desentralisasi-pendidikan/. (Diakses 23 Desember 2012) http://pakguruonline.pendidikan.net/otonomi_pendidikan.html. (Diakses 23 Desember 2012) Indra Akuntono. 2011. November 8. “Desentralisasi Pendidikan Perlu di Evaluasi”. Kompas. 4. Mark Hanson, 1997, Educational Reform and The Transition From Authoritarian to democratic Goverments: The Cases of Argentina, Colombia, Venezuela, and Spain, dalam Internasional Jurnal of Educational Development, Vol 32, No.1. Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep Strategi, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000. Riant Nugroho, 2000, Desentralisasi Tanpa Revolusi, Elex Media Komputindo: Jakarta. Salim Agus, Indonesia Belajarlah! Membangun Pendidikan Indonesia, 2007, Yogyakarta: Tiara Wacana. Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, 2005, Jakarta: Rajawali Pers.