Halaman

Jumat, 31 Mei 2013

Peranan Sumber Daya Alam Terhadap Pembangunan Ekonomi

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pembangunan suatu bangsa memerlukan aspek pokok yang disebut dengan sumber daya (resources) baik sumber daya alam atau natural resources maupun sumber daya manusia atau human resources. Kedua sumber daya ini sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu pembangunan. Sejarah menunjukkan masyarakat bisa mencapai kemakmuran karena berhasil memamfaatkan sumber daya yang dimiliki. Pada dasarnya sumber daya alam merupakan asset yang dimiliki suatu Negara yang meliputi tanah dan kekayaan alam seperti kesuburan tanah, keadaan iklim atau cuaca, hasil hutan, tambang dan hasil laut yang sangat mempengaruhi pertumbuhan industri suatu Negara, terutama dalam hal penyediaan bahan baku produksi. Dengan adanya sumber daya alam yang melimpah dan berpotensi tinggi sangat mendukung pembangunan ekonomi suatu Negara. Pembangunan ekonomi adalah usaha – usaha untuk meningkatkan taraf hidup suatu bangsa yang sering kali diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan riel perkapita. Namun sumber daya alam yang ada tersebut tidak sendirinya diolah olah alam akan tetapi perlu adanya sumber daya manusia, guna mengolah sumber daya alam tersebut. Keahlian dan kewirausahaan dibutuhkan untuk mengolah bahan mentah dari alam, menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih tinggi atau disebut juga sebagai proses produksi. Sumber daya manusia adalah yang terpenting, karena jika sebuah Negara memiliki suatu SDM yang terampil dan berkualitas maka ia akan mampu mengolah SDA yang jumlahnya terbatas 2. Pembangunan Ekonomi Menurut Lincolin Arsyad (1993:4), Pembangunan ekonomi adalah kegiatan – kegiatan yang dilakukan suatu Negara untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf hidup masyarakatnya. Dengan batasan tersebut, maka pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu Negara meningkat dalam jangka panjang. Dari batasan dan defenisi tersebut dapat diperoleh pengertian bahwa pembangunan ekonomi. BAB III PEMBAHASAN 1. Peranan Sumber Daya Alam Terhadap Pembangunan Ekonomi Selain Faktor modal dan kemajuan teknologi adapun faktor sumber daya alam yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi suatu Negara. Sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu Negara merupakan anugerah yang perlu disyukuri, sebab tidak semua Negara memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah dan lengkap. Sumber daya alam seperti hutan dengan segala isinya, hasil pertambangan sudah sewajarnya digunakan untuk kepentingan dan kemakmuran masyarakatnya. Dalam konsep pembangunan yang berkelanjutan, sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomis tinggi hendaknya tidak dieksploitasi. Sebab keberadaannya perlu dipikirkan untuk generasi yang akan datang. Jangan sampai hasil hutan dijarah habis sehingga mengakibatkan hutan gundul dan pada gilirannya dapat menyebabkan banjir dan tanah longsor. Oleh karena itu pengelolaan sumber daya alam haruslah dilakukan secara bertanggung jawab. Artinya harus dilakukan secara bijaksana untuk melestarikan persediaan sumber daya alam tersebut, sehingga generasi sekarang dan mendatang dapat menikmatinya. Pengelolaan sumber daya alam haruslah sedemikian rupa, sehingga sumber daya alam itu selalu dapat ditingkatkan persediaannya melalui usaha eksplorasi dan eksploitasi, peningkatan efisiensi proses produksi serta dengan bantuan teknologi untuk dapat meningkatkan proses daur ulang. Berdasarkan hal tersebut diatas, dalam pengelolaan sumber daya alam diperlukan suatu kebijakan yang bertanggung jawab. Penduduk, masyarakat atau istilahnya sumber daya manusia merupakan aset penting dalam pembangunan mengingat penduduk sebagai agent of development, sehingga tidaklah berlebihan bila dikatakan berhasil tidaknya pembangunan ditentukan oleh sikap penduduk selama proses pembangunan berlangsung. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, maka diperlukan suatu strategi pembangunan sumber daya manusia. Salah satu strategi pengembangan sumber daya manusia baik itu perusahaan ataupun pemerintahan adalah pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan yang sesuai, pengembangan sistem penilaian prestasi kerja dan sistem pemberian imbalan, mengefektifkan pelaksanaan rekrutmen dan seleksi, perencanaan anggaran untuk sumber daya manusia serta membina hubungan dan komunikasi karyawan. BAB IV PENUTUP 1. Penutup Berdasarkan uranian pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sumber daya alam dan sumber daya manusia memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi suatu Negara. 2. Saran Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangannya atau masih jauh dari kesempurnaannya seperti yang diharapkan oleh karena itu kritik dan saran baik itu dari bapak dosen maupun rekan mahasiswa/i yang bersifat konstruktif sangat diharapkan guna memperbaiki penulisan lebih lanjut. DAFTAR PUSTAKA - Arsyad, Lincolin. (2004). Ekonomi Pembangunan. Yogakarta: Sekolah Tinggi Ekonomi YKPN - Sukanto Reksodiprodjo. 2000. Pengertian Produktivitas, Bumi Aksara, Jakarta. - Faustino Cardos, Gomes. Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2002. - Mathis dan Jackson. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Salemba Empat. - Irawan, M. Suparmoko, 1995, Ekonomi Pembangunan, Edisi Lima, Cetakan ke Empat, Yogyakarta, Penerbit BPFE. - Mudrajad Kuncoro, 1997, Ekonomi Pembangunan, Teori, masalah dan kebijakan. Cetakan pertama, unit penerbitan dan percetakan akademi manajemen perusahaan YKPN Yogyakarta.

Kamis, 30 Mei 2013

Kurikulum Gabungan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kurikulum adalah suatu hal yang esensial dalam suatu penyelenggaraan pendidikan. Secara sederhana, kurikulum dapat dimengerti sebagai suatu kumpulan atau daftar pelajaran yang akan diajarkan kepada peserta didik komplit dengan cara pemberian nilai pencapaian belajar di kurun waktu tertentu. Kurikulum harus mampu mengakomodasi kebutuhan peserta didik yang berbeda secara individual, baik ditinjau dari segi waktu maupun kemampuan belajar. Oleh karena itu, merumuskan suatu kurikulum sudah barang tentu bukan perkara gampang. Banyak faktor yang menentukan dalam proses lahirnya sebuah kurikulum. Dalam merancang kurikulum biasanya dibentuk suatu tim kerja khusus yang dapat berupa lembaga resmi, misalnya seperti Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional. Pusat Kurikulum sampai saat ini sebagai satu-satunya lembaga resmi bermandat menelurkan kurikulum bagi sekolah penyelenggara pendidikan nasional Indonesia. Tercatat sudah ada 7 kurikulum; kurikulum pertama tahun 1964, kurikulum 1976, kurikulum 1984, kurikulum 1994, Kurikulum edisi revisi 1999 dan yang terbaru kurikulum 2004, yang dilanjut dengan lahirnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Masing-masing kurikulum memiliki warna dan ciri khas tersendiri. Warna dan ciri khas tiap kurikulum menunjukkan kurikulum berusaha menghadirkan sosok peserta didik yang paling pas dengan jamannya. Perubahan kurikulum dari waktu ke waktu bukan tanpa alasan dan landasan yang jelas, sebab perubahan ini disemangati oleh keinginan untuk terus memperbaiki, mengembangkan, dan meningkatkan kualitas sistem pendidikan nasional. Persekolahan sebagai ujung tombak dalam implementasi kurikulum dituntut untuk memahami dan mengaplikasikannya secara optimal dan penuh kesungguhan, sebab mutu penyelenggaraan proses pendidikan salah satunya dilihat dari hal tersebut. Namun di lapangan, perubahan kurikulum seringkali menimbulkan persoalan baru, sehingga pada tahap awal implementasinya memiliki kendala teknis. Sehingga sekolah sebagai penyelenggara proses pendidikan formal sedikit banyaknya pada tahap awal ini membutuhkan energi yang besar hanya untuk mengetahui dan memahami isi dan tujuan kurikulum baru. Dalam teknis pelaksanaannya pun sedikit terkendala disebabkan perlu adaptasi terhadap perubahan atas kurikulum terdahulu yang sudah biasa diterapkannya. Sekolah kejuruan sebagai salah satu lembaga pendidikan formal yang ada di Indonesia, dituntut juga untuk terus mengikuti dan menerapkan berbagai perubahan kurikulum dalam periode tertentu sesuai dengan kebijakan pemerintah dalam sistem pendidikan nasionalnya. Sekolah kejuruan berbeda dengan sekolah umum, terutama kompetensi lulusannya serta keterkaitannya secara langsung dengan dunia kerja, menyebabkan kurikulum untuk sekolah kejuruan tidak pernah bisa dilepaskan dari kondisi dan situasi dunia kerja yang sedang berkembang. Penyesuaian kurikulum dengan dunia kerja serta tetap dilandasi oleh minat dan kebutuhan siswa, menjadikan kurikulum sekolah kejuruan memiliki kerumitan tertentu baik dalam proses penyusunan maupun implementasinya. Mengingat hal tersebut, penulis mencoba mengangkat persoalan kurikulum sekolah kejuruan ini dalam tulisan ini dengan mengangkat tema “Inovasi Pendidikan Kejuruan dari tahun 1984 sampai 2004” B. RUMUSAN MASALAH Dari tema tersebut di atas, penulis mencoba merumuskan permasalahan yang akan dibahas sebagai kerangka acuan dalam pembahasannya. Tema besarnya adalah inovasi seperti apa yang terkandung dalam perubahan kurikulum dari tahun 1984 sampai 2004?. Untuk memudahkan pembahasan, tema tersebut dirinci menjadi beberapa rumusan masalah yang spesifik, diantaranya; 1. Apa muatan inti yang terdapat pada setiap kurikulum? 2. Apa yang menjadi perubahan mendasar dalam setiap kurikulum? 3. Inovasi seperti apa yang terkandung dalam setiap kurikulum? C. PEMBATASAN MASALAH Mengingat setiap kurikulum memuat banyak persoalan di dalamnya, maka dirasa perlu untuk membatasi pengkajian terhadap kurikulum ini, terutama diarahkan pada hal-hal yang lebih spesifik sifatnya seperti membandingkan setiap kurikulum di dalam aspek latar belakang masalahnya, tujuan pendidikannya, pengorganisasian materinya, strategi pembelajarannya, teknik evaluasi hasil belajarnya, proses pembelajarannya, dan hambatan/kendala dalam implementasinya di lapangan. Penulis pun mencoba menampilkan perbedaan mencolok dalam setiap muatan kurikulum dengan tetap melakukan studi komparatif atar kurikulum. D. TUJUAN PENULISAN MAKALAH Makalah yang dibuat oleh penulis pada dasarnya memiliki banyak tujuan, adapun yang khusus (spesifik) dari pembuatan makalah ini adalah sebagai pemenuhan kewajiban tugas akhir semester mata kuliah inovasi pendidikan. Sedangkan tujuan yang lebih luasnya adalah berupaya memberikan gambaran, pengertian dan pemahaman yang cukup lengkap kepada sidang pembaca atau siapapun mengenai inovasi pendidikan kejuruan di Indonesia. BAB II SELAYANG PANDANG PERUBAHAN KURIKULUM Dari tahun 1984 sampai tahun 2004 A. Kurikulum Pendidikan Kejuruan 1984 1) Latar Belakang Kurikulum Edisi 1984 disebutkan sebagai acuan dalam pengembangan pendidikan kejuruan karena merupakan langkah awal pengkajian terhadap kesesuaian kurikulum dengan kebutuhan dunia kerja, dimana kurikulum ini dikembangkan bermula dari data-data empirik yang diperoleh dari pelaksanaan kurikulum pendidikan menengah kejuruan sejak 1981 yang meliputi : Ditemukannya sejumlah unsur baru dalam GBHN 1983 yang perlu ditampung dalam kurikulum yang bersumber dari nilai dasar, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Hal-hal yang berkaitan dengan inovasi peningkatan pendidikan kejuruan dapat dilihat dalam GBHN 1983 sebagai berikut: “Sistem pendidikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan di segala bidang yang memerlukan jenis-jenis keahlian dan keterampilan serta dapat sekaligus meningkatkan produktivitas, kreativitas, mutu dan efisiensi kerja. Dalam hubungan ini, berbagai tingkat dan jenis pendidikan dan pelatihan kejuruan serta politeknik perlu lebih diperluas dan ditingkatkan mutunya dalam rangka mempercepat dipenuhinya kebutuhan tenaga yang cakap dan terampil bagi pembangunan di berbagai bidang.” Adanya kesenjangan program pendidikan baik dengan kebutuhan anak didik maupun dengan lapangan kerja. terlalu saratnya materi kurikulum yang harus diberikan kurikulum 1976/1977 tidak dirancang untuk memungkinkan siswa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. (Suwarna, 2002:131). Untuk merealisasikan harapan tersebut. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan keputusan Nomor 0289a/U/1985 tentang Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan Tingkat Pertama SMKTP) dan Nomor 0289b/U/1985 tentang Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan Tingkat Atas (SMKTA) sebagai kurikulum penggantinya. Yang lebih mendasar adalah dikeluarkannya Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0461/U/1983 yang berisi penyederhanaan organisasi kurikulum, dimana kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan Tingkat Atas disusun dengan mengacu pada kumpulan jabatan tingkat menengah yang ada dan yang diperkirakan akan diperlukan oleh masyarakat. 2) Tujuan Pendidikan Tujuan utama kurikulum SMK 1984 adalah menyiapkan siswa menjadi tenaga siap kerja dengan memberikan peluang yang luas untuk mengembangkan dirinya (memberi peluang kepada siswa untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi) 3) Pengorganisasian Materi Dalam organisasi program pendidikan SMK dikenal sebutan program studi yang dikelompokkan menjadi program inti dan program pilihan. Program inti merupakan program yang wajib diikuti oleh semua siswa yang mengacu pada pencapaian tujuan nasional, perubahan nilai dan tata hidup dalam masyarakat seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi, pengetahuan dan kemampuan kejuruan dan sikap yang sesuai. Program inti ini mencakup Mata Pelajaran Dasar Umum (MPDU) dan Mata Pelajaran Dasar Kejuruan (MPDK). MPDU meliputi sejumlah mata pelajaran yang wajib diikuti oleh semua kelompok pada SMKTA. MPDK bertujuan untuk memberikan bekal dasar pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperlukan untuk mendasari program pilihan, terdiri atas sejumlah mata pelajaran dasar yang wajib diikuti oleh semua siswa SMKTA yang serumpun. Rumpun adalah kumpulan program studi yang mempunyai MPDK yang sama. Program pilihan, merupakan program yang dapat dipilih oleh siswa sesuai dengan minat, bakat dan kemampuannya serta kebutuhan daerah dan pembangunan. Program pilihan yang dimaksud mengacu kepada penguasaan kejuruan dengan kompetensi khusus keilmuan, sikap-sikap profesionalisme yang disyaratkan serta membuka kemungkinan pelaksanaan pendidikan seumur hidup. Program pilihan dituangkan dalam Mata Pelajaran Kejuruan (MPK). Implementasi kedua program tersebut adalah : SMKTA: Program Inti 60% (MPDU 30% dan MPDK 30% dan Program Pilihan 40%) SMKTP: Program inti 70% dan program pilihan 30% 4) Strategi Pembelajaran Konsep implementasi kurikulum ini didasarkan pada prinsip-prinsip : Prinsip relevansi, dimana kurikulum dikembangkan dengan mempertimbangkan tuntutan kebutuhan siswa baik secara umum maupun perorangan sesuai dengan minat dan bakat siswa serta kebutuhan lingkungan. Prinsip pengembangan, dimana kurikulum dikembangkan secara bertahap dan terus menerus dengan jalan mengadakan perbaikan/pemantapan dengan pengembangan lebih lanjut yang bersifat progresip. Prinsip pendidikan seumur hidup, dimana kurikulum dirancang untuk membuka kemungkinan pengembangan pendidikan seumur hidup (tak mengenal batas usia) Prinsip keluwesan/fleksibel, yaitu kurikulum dikembangkan dengan mempertimbangkan fleksibel dalam pelaksanaannya/implementasinya. 5) Teknik Evaluasi Hasil Belajar Evaluasi yang serempak dilaksanakan per semester, dimana masih lebih menekankan pada evaluasi terhadap tingkat penguasaan pengetahuan, prinsip dan konsep-konsep. Penilaian terhadap penguasaan keterampilan masih bersifat sebagai unsur penunjang. Penilaian terhadap praktek biasanya dilakukan pada semester ke 5 atau semester 1 di tingkat 3. 6) Proses Pembelajaran Pelaksanaan PBM terdiri atas kegiatan intra-kurikuler, ko-kurikuler, dan ekstra-kurikuler Pelajaran teori diintegrasikan ke dalam pelajaran praktek untuk mata pelajaran yang sama Tahun pertama merupakan tahun bersama ( belum dijuruskan) Menerapkan sistem kredit semester Mulai dilaksanakannya bimbingan karir (BK) Mulai diimplementasikannya mata pelajaran PSPB dengan alokasi waktu 2 jam pelajaran per minggu Keterpaduan teori dan praktek dalam pelaksanaan dengan bobot praktek kejuruan sekitar 40% dari keseluruhan program pendidikan Susunan dengan pola program inti dan program pilihan dengan porsi 60% : 40% Unit Produksi Sekolah (sebagai sarana kerjasama sekolah dengan dunia usaha/industri) dijadikan tempat praktek guru dan siswa dalam meningkatkan kemampuan profesionalnya, karena unit produksi dapat dikembangkan secara bisnis menyerupai sebuah usaha/industri yang menghasilkan dana untuk membantu praktek siswa. 7) Hambatan dalam pengimplementasian kurikulum Pola penyelenggaraan proses belajar mengajar dilakukan di sekolah, sehingga materi kejuruan yang diberikan tidak jarang bertentangan atau tidak sesuai dengan jenis pekerjaan yang ada di dunia industri. Karena seluruh proses pengembangan kurikulum dilakukan di tingkat pusat, sekolah sebagai pelaksana, maka kebijakan yang diberikan dari pusat cenderung berlawanan dengan kondisi di lapangan sehingga proses PBM/pendidikan tidak berjalan dengan efisien dan efektif. B. Kurikulum SMK 1993/1994 1) Latar Belakang Perubahan kurikulum ini terutama didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan untuk menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan baru dalam UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 29 tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah dan SK Mendikbud No. 0490/U/1992 tentang Sekolah Menengah Kejuruan dan Pertimbangan lain yang terjadi dalam sektor ketenagakerjaan dan pembangunan, serta kecenderungan yang akan terjadi di masa depan. Kurikulum 1994 menggunakan pendekatan berbasis kompetensi, yaitu segala sesuatu ditetapkan atas dasar perimbangan pencapaian kemampuan yang harus dikuasai oleh lulusan melalui analisis jabatan yang ada di lapangan kerja. 2) Tujuan Pendidikan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menenegah, Bab 1 Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi : Pendidikan Menengah Kejuruan adalah pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakan jenis pekerjaan tertentu. Kemudian Bab II pasal 3 Ayat 2 mengatakan bahwa Pendidikan Menengah Kejuruan mengutamakan persiapan siswa untuk memasuki lapangan kerja serta mengembangkan sikap professional. 3) Pengorganisasian Materi GBPP Kurikulum 1994 disajikan tidak secara rinci namun dalam garis-garis besarnya saja. Mata-mata pelajaran pada kelompok dasar kejuruan seperti matematika, bahasa inggris dan IPA di beri alokasi jam tambahan. 4) Strategi Pembelajaran Link and Macth”, merupakan salah satu kebijakan baru untuk pembangunan pendidikan yang sering diterjemahkan terkait dan sepadan. Kebijakan “Link and Macth” mengimplikasikan wawasan sumber daya manusia, wawasan masa depan, wawasan mutu dan wawasan keunggulan, wawasan profesionalisme, wawasan nilai tambah dan wawasan ekonomi dalam penyelenggaraan pendidikan khususnya pendidikan kejuruan. Pendekatan dari “supply-driven” menuju ke “demand-driven”. Pendekatan lama yang bersifat “supply-drivend” dilakukan secara sepihak oleh penyelenggaraan pendidikan kejuruan, mulai dari perencanaan , penyusunan kurikulum dan evaluasinya. Pada pendekatan “demand–driven” mengharapkan justru pihak dunia usaha, dunia industri aatau dunia kerja yang harusnya lebih berperan dalam menentukan mendorong dan menggerakan pendidikan kejuruan sebagai yang berkepentingan dari sudut tenaga kerja. Dari “School-based program” ke “dual-based program”. Perubahan dari pendidikan berbasis sekolah kependidikan berbasis ganda mengharapkan supaya program pendidikan kejuruan dilaksanakan didua tempat. Teori dan praktek dasar kejuruan dilaksanakan di sekolah , sedangkan keterampilan produktif dilaksanakan di DU/DI dengan prinsip belajar sambil bekerja (Learning by doing). Majelis Pendidikan Kejuruan Nasional (MPKN), yang dibentuk dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Mendikbud dan ketua umum KADIN pada tanggal 17 Oktober 1994 No. 0267a/U/1994 dan No. 84/KU/X/1994. MPKN telah secara efektif menggerakkan berbagai badan organisasi perusahaan dan Asosiasi profesi yang dibawah naungan KADIN dalam mendukung pelaksanaan PSG. MPKN bertugas melakukan standarisasi jabatan, standarisasi kompetensi dan sistem pengujian serta sertifikasi. Pendidikan Sistem Ganda (PSG), merupakan suatu bentuk pendidikan keahlian kejuruan yang memadukan secara sistimatis dan singkron program pendidikan disekolah dan program belajar melalui kegiatan bekerja langsung pada bidang pekerjaan yang relavan, terarah untuk mencapai penguasaan kemampuan keahlian tertentu. Dibentuknya Bursa Kerja Khusus (BKK), merupakan wadah untuk pemasaran lulusan SMK yang merupakan salah satu ukuran utama dalam menilai keberhasilan SMK. 5) Teknik Evaluasi Hasil Belajar Selain dilaksanakan evaluasi tertulis terhadap tingkat penguasaan konsep, prinsip dan pemahaman yang bersifat teoritis juga adanya uji profesi untuk mengukur tingkat penguasaan keahlian kejuruan sesuai dengan kompetensi yang ada pada kurikulum 1994, sebagai pengganti EBTANAS. 6) Proses Pembelajaran Pembelajaran menurut Kurikulum SMK 1994 disajikan dalam periode catur wulan, PBM dilaksanakan di sekolah dan di dunia usaha/industri, program pembelajaran disusun bersama-sama antara sekolah dan institusi pasangan. Pola pelaksanaan kurikulum SMK 1994 berbeda dengan kurikulum SMK 1984 dalam berbagai hal antara lain : Petunjuk pelaksanaan lebih sederhana sekolah dapat melakukan improvisasi dan pengayaan di lapangan Pengajaran tidak hanya mengandalkan sumber daya pendidikan sekolah tetepi di beri kesempatan memenfaatkan potensi yang ada di dunia industri dan lingkungannya Adanya muatan lokal Adanya keahlian kejuruan yang dipelajari di sekolah dengan keahlian profesi yang di perlukan di lapangan SMK di dorong membentuk kegiatan unit produksi yang di kelola secara professional. Di kembangkannya sistim magang yang diakui sebagai bagian dari kegiatan belajar melalui praktek lapangan. SMK diharapkan dapat mengembangkan program yang berorientasi pada pasar kerja. SMK dilengkapi dengan bimbingan kejuruan. Dibentuknya majelis penasehat sekolah yang beranggotakan seluruh pihak yang terkait dengan SMK. 7) Hambatan Utama dalam Implementasi kurikulum Mengingat tidak meratanya kondisi daerah dan ketersediaan DU/DI baik jumlah maupun yang bersedia menjadi institusi pasangan, maka tidak jarang pihak sekolah mengalami kesulitan untuk menetapkan jenis pekerjaan dan materi yang akan diberikan kepada peserta didik yang bisa sesuai dan diterima oleh dunia kerja. Selain itu pelaksanaan penempatan siswa yang akan melakukan praktek kerja industri sering tidak sesuai dengan kompetensi yang dimiliki siswa. C. Kurikulum SMK Edisi 1999 1) Latar Belakang Upaya pembaharuan pendidikan harus dilakukan secara terus menerus sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan ekonomi, dan perubahan dalam masyarakat. Khususnya pada pendidikan kejuruan, telah banyak upaya pembaharuan penyelenggaraan pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang dilakukan selama ini. Namun, berdasarkan hasil-hasil kajian, pengamatan, dan penelitian, upaya pembaharuan tersebut banyak menghadapi kendala-kendala di lapangan, yang perlu dicari alternatif pemecahannya. Permasalahan SMK telah menjadi perhatian pemerintah, masyarakat dan dunia industri paling tidak sejak periode 1990-an sampai sekarang, adalah sama yaitu menyangkut hal: masa tunggu kerja tamatan, tingkat pengangguran yang tinggi, mutu lulusan SMK, sistem kompetensi dan sertifikasi. Menyadari hal tersebut, Depdikbud (sekarang Depdiknas) mengeluarkan kebijakan “link and match” melalui model pendidikan sistem ganda (PSG) dan sertifikasi dalam implementasi Kurikulum Edisi 1999. 2) Tujuan Pendidikan Tidak ada perubahan yang mendasar antara tujuan pendidikan pada kurikulum 1994 dengan 1999, yaitu pada Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menenegah, Bab 1 Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi: Pendidikan Menengah Kejuruan adalah pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakan jenis pekerjaan tertentu. Kemudian Bab II pasal 3 Ayat 2 mengatakan bahwa Pendidikan Menengah Kejuruan mengutamakan persiapan siswa untuk memasuki lapangan kerja serta mengembangkan sikap professional. 3) Pengorganisasian Materi Kurikulum SMK Edisi 1999 disusun oleh sekolah bersama-sama dengan industri dan elemen masyarakat lain yang tergabung dalam Majelis Sekolah. Sehingga sekolah mempunyai peluang yang besar dalam mengembangkan dan melakukan inovasi kurikulum secara bebas, bertanggung jawab, dan mandiri. Penyusunan Kurikulum SMK Edisi 1999 dikembangkan dengan mengaju pada beberapa prinsip, yaitu: pengelompokkan kembali program berdasarkan kesamaan akar kompetensi, tingkat keluwesan keahlian, perkutan daya adaptabilitas, standarisasi program, pentahapan pembelajaran, berbasis ganda dan kegiatan ekstra kurikuler. Kurikulum SMK Edisi 1999 disusun menjadi tiga tahap, yaitu: (1) tingkat I berisi kompetensi dan bahan kajian dasar-dasar kejuruan; (2) tingkat II berisi kompetensi dan bahan kajian yang lebih fungsional; dan (3) tingkat III berisi paket-paket keahlian. Pada kurikulum 1999 program pendidikan dan pelatihan terdiri dari program normatif, adaptif, dan produktif. 4) Strategi Pembelajaran Kurikulum SMK Edisi 1999 merupakan perpaduan dari dua pendekatan (kurikulum 1994 dan 1996) yaitu kurikulum berbasis kompetensi dan pendekatan berbasis luas, kuat dan mendasar (Broad Band Curriculum=BBC dan Competency Based Curriculum=CBC) sebagai upaya meningkatkan mutu tamatan SMK sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dan perkembangan dunia kerja. Metode pembelajaran tuntas (Mastery Learning) dan berbasis ganda (Dual Based Program), dilaksanakan di sekolah dan di dunia industri/usaha. Perkuatan kemampuan daya sesuai dengan kemandirian pengembangan diri tamatan (Depdikbud, 1999). Pada kurikulum edisi 1999 tercermin adanya penambahan jam pembelajaran, baik pada pembelajaran Matematika, Kimia, Bahasa Inggris maupun pada aspek produktif. Begitu juga pada penambahan mata pelajaran atau diklat kewirausahaan. 5) Teknik Evaluasi Hasil Belajar Terlaksananya ujian profesi dan sertifikasi industri melalui kerja sama yang makin mantap. Dalam Kebijakan Teknis Pengembangan dan Implementasi Kurikulum SMK Edisi 1999, yang dirumuskan oleh Balitbang dan Ditjen Dikdasmen, dinyatakan: “untuk kepentingan pemasaran tamatan di SMK diberlakukan Uji Kompetensi di samping EBTANAS”. EBTANAS sifatnya wajib diikuti oleh seluruh siswa untuk dapat dinyatakan lulus dari SMK, sedangkan Uji Kompetensi lebih bersifat memberi kesempatan kepada siswa untuk memperoleh sertifikasi (pengakuan) terhadap keahlian yang dimiliki sebagai bekal untuk memasuki dunia kerja. 6) Proses Pembelajaran Dalam pembelajaran aspek normatif dan adaptif ditekankan agar tidak lagi menggunakan metode dan teknik pembelajaran konvensional seperti duduk, dengar, catat, dan hapal (DDCH). Pembelajaran yang bermakna (memiliki life skill yang tinggi) hanya akan tercapai, bila tercipta “pembelajaran, aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM) tercipta dalam kelas. PAKEM akan terwujud bilamana metode dan pendekatan pembelajaran diterapkan antara lain: Penerapan pola CBSA melalaui pendekatan proses. Pendekatan Quantum Teaching dan Quantum Learning. Begitu pula dalam pembelajaran produktif agar dihasilkan efisiensi dan efektif, sesuai dengan tuntutan kurikulum edisi 1999, diharuskan menggunakan pendekatan “Pelatihan Berbasis Kompetensi (Competency Base Training) CBT. 7) Hambatan Utama dalam Implementasi Kurikulum Pelaksanaan Kurikulum SMK Edisi Tahun 1999 juga menghadapi beberapa kendala. Dalam penerapan kurikulum broad based terdapat kesulitan dalam menentukan materi program adaptif, untuk kelompok yang sejenis tetapi sangat berbeda bidang keahliannya. Misalnya, untuk kelompok teknologi industri, terdapat perbedaan karakteristik isi kurikulum antara bidang keahlian Teknik Bangunan dan Teknik Mesin. Hal ini perlu diperhatikan dalam penyajian program adaptif, yang seharusnya juga berbeda. Kendala berikutnya mungkin terjadi untuk program pendidikan dan pelatihan praktik industri, yang lamanya minimum 6 bulan kerja sesuai dengan jam industri. Perubahan waktu praktik industri dari 4 bulan menjadi 6 bulan ini perlu diantisipasi, baik dalam pengelolaannya di sekolah maupun ketersediaan tempat praktik dan koordinasinya pada dunia usaha/industri. D. Kurikulum SMK Edisi 2004 1) Latar Belakang Tantangan kehidupan di masa depan pada hakekatnya adalah tantangan terhadap kompetensi yang dimiliki manusia. Karena itu arah pengembangan kurikulum harus berbasis pada pengembangan potensi manusia yang beragam. Perlu disadari bahwa manusia dilahirkan unik dengan segala keberagaman dan kecepatannya. Karena itu kurikulum sebagai acuan dan fasilitator penyelenggaraan pendidikan, sayogianya memberi peluang adanya kemerdekaan dan pemerataan dalam pendidikan. Pendidikan menjadi bermakna apabila secara pragmatis dapat mendidik manusia bisa hidup sesuai zamannya. Pendidikan harus dilihat sebagai wahana untuk membekali peserta didik dengan berbagai kemampuan, guna menjalani dan mengatasi masalah kehidupan pada hari esok maupun masa depan yang selalu berubah. Pendidikan kejuruan perlu mengajar dan melatih peserta didik untuk menguasai kompetensi dan kemampuan lain yang dibutuhkan untuk menjalani kehidupan dan yang berguna sebagai modal untuk mengembangkan dirinya di kemudian hari. 2) Tujuan Pendidikan Menyiapkan peserta didik agar menjadi manusia produktif, mampu bekerja mandiri, mengisi lowongan pekerjaan yang ada di DUDI sebagai tenaga kerja tingkat menengah, sesuai dengan kompetensi dalam program keahlian yang dipilihnya. Menyiapkan peserta didik agar mampu memilih karir, ulet dan gigih dalam berkompetisi, beradaptasi dilingkungan kerja dam mengembangkan sikap profesional dalam bidang keahlian yang diminatinya. Membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni agar mampu mengembangkan diri dikemudian hari baik secara mandiri maupun melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Membekali peserta didi dengan kompetensi-kompetensi sesuai dengan program keahlian yang dipilih. 3) Pengorganisasian Materi Untuk mencapai standar kompetensi yang telah ditetapkan oleh industri/dunia usaha/asosiasi profesi, materi diklat dikemas dalam berbagai mata diklat yang dikelompokkan dan diorganisasikan menjadi program normatif, adaptif dan produktif. Khusus untuk program produktif ada acuan baku yang dikenal dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) 4) Strategi Pembelajaran Pembelajaran kurikulum SMK 2004 berbasis kompetensi menganut prinsip pembelajaran tuntas (mastery learning) untuk dapat menguasai sikap, pengetahuan dan keterampilan agar dapat bekerja sesuai dengan profesinya seperti yang dituntut suatu kompetensi. Untuk dapat belajar secara tuntas, dikembangkan prinsip pembelajaran : Learning by doing (belajar melalui aktivitas/kegiatan nyata yang memberikan pengalaman belajar bermakna), dikembangkan menjadi pembelajaran berbasis produksi. Individualized learning (pembelajaran dengan memperhatikan keunikan setiap individu) dilaksanakan dengan sistem moduler. 5) Teknik Evaluasi Hasil Belajar Konsistensi dengan pendekatan kompetensi yang digunakan dalam pengembangan kurikulum SMK Edisi 2004, maka sistem penilaian menitikberatkan pada penilaian hasil belajar berbasis kompetensi dan penilaian berbasis kelas dengan ciri sebagai berikut: Menggunakan Penilaian Acuan Patokan (Criterion Reference Assessment) Keberhasilan peserta didik hanya dikategorikan dalam bentuk ”kompeten” dan ”belum kompeten” Penilaian dilaksanakan secara berkelanjutan Selain itu untuk pengakuan terhadap kompetensi yang telah dikuasai oleh peserta diklat, perlu dikembangkan mekanisme pengakuan sebagai berikut: Verifikasi terhadap hasil penilaian pihak internal SMK oleh pihak eksternal, agar apa yang telah dicapai peserta didik dapat diserfikasi oleh dunia kerja. Recognition of Prior Learning (RPL) atau Recognition of Current Competency (RCC) untuk mendukung pelaksanaan sistem multi-entry/multi-exit. 6) Proses Pembelajaran Pelaksanaan pembelajaran dituangkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler. Pola penyelenggaraan pendidikan di SMK dapat menerapkan berbagai pola yaitu pola pendidikan sistem ganda (PSG), multi-entry exit (MEME) dan pendidikan jarak jauh. 7) Hambatan Utama dalam Implementasi Kurikulum Dalam pelaksanaan kurikulum SMK Edisi 2004 mengalami beberapa hambatan misalnya : Secara umum belum memandainya sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia, fasilitas belajar dan peralatan laboratorium banyak yang rusak/tidak layak dan tidak sesuai lagi dengan peralatan yang ada di dunia kerja. Faktor kompetensi dan profesionalisme guru yang kurang memadai, sehingga kurikulum tidak bisa berjalan secara efektif. Terdapatnya kesenjangan yang mencolok antara SMK yang ada di kota-kota besar dengan daerah, sehingga kita tidak bisa memacu pendidikan dengan cepat. BAB III ANALISA TERHADAP PERUBAHAN KURIKULUM Dari tahun 1984 sampai tahun 2004 Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya mengenai kurikulum 1984 dapat disebutkan bahwa kurikulum 1984 memiliki ciri-ciri antara lain : 1) bertujuan menyiapkan siswa menjadi tenaga siap kerja dengan memberi peluang yang luas untuk mengembangkan diri 2) menitikberarkan pada proses tanpa mengabaikan hasil orientasi pada siswa 3) meningkatkan komunikasi dua arah melalui keterampilan proses 4) organisasi kurikulum terdiri atas MPDU dan MPDK 5) pelajaran teori diintegrasikan ke dalam pelajaran praktek untuk mata pelajaran yang sama 6) tahun pertama merupakan tahun bersama ( belum dijuruskan) 7) menerapkan system kredit semester mulai dilaksanakannya bimbingan karir (BK) 9) sifat SMK tidak terminal; lulusannya dapat melanjutkan ke perguruan tinggi 10) mulai diimplementasikannya mata pelajaran PSPB dengan alokasi waktu 2 jam pelajaran per minggu 11) keterpaduan teori dan praktek dalam pelaksanaan dengan bobot praktek kejuruan sekitar 40% dari keseluruhan program pendidikan 12) susunan dengan pola program inti dan program pilihan dengan porsi 60% : 40% 13) istilah-istilah yang digunakan adakah kelompok, rumpun dan program studi. Kurikulum edisi 1984 merupakan kurikulum yang pendekatan pembelajarannya pada “school-based program” sedangkan pada kurikulum edisi 1994 terjadi perubahan pola pembelajaran yang berorientasi menjadi “dual-based program” yang di implimentasikan melalui pendekatan “link and macth” dengan pelaksanaan melalui Pendidikan sistem ganda (PSG). Pola pikir lama yang melihat pendidikan menengah kejuruan sebagai sub sistim dari sistim pendidikan nasional saja, telah berkembang melihat pendidikan menengah kejuruan, juga sebagai sub sistim dari sistim pembangunan sumber daya manusia. Pada pola kurikulum 1984, pengelola pendidikan menengah kejuruan merasa paling tahu dan paling berhak menentukan dan melaksanakan pendidikan kejuruan telah berubah dengan memahami dan menyadari bahwa pihak dunia usaha dan industri adalah juga pihak yang berkepentingan terhadap hasil (Out come) pendidikan menengah kejuruan, dan pihak yang lebih mengetahui kebutuhan kerja, karena itu berhak dan perlu diajak ikut serta dalam perencanaan, pelaksanaan dan penilaian hasil pendidikan menengah kejuruan. Pembaharuan kurikulum 1994 ini terletak juga pada: pendekatan, struktur program, periode ajaran, dan evaluasi, yaitu: 1. Kurikulum SMK Tahun 1994 menggunakan pendekatan competency based, sedangkan Kurikulum Edisi 1999 menggunakan pendekatan kombinasi competency based dan broad based. 2. Struktrur program Kurikulum SMK Tahun 1994 terdiri dari program umum dan program kejuruan, sementara itu Kurikulum SMK Edisi 1999 terdiri dari program normatif, program adaptif, dan program produktif. 3. Pembelajaran menurut Kurikulum SMK 1994 disajikan dalam periode catur wulan, sedangkan Kurikulum 1999 disajikan dalam sistem semester. 4. Evaluasi Kurikulum 1994 dilaksanakan secara parsial, sebaliknya pelaksanaan Kurikulum 1999 akan dievaluasi secara menyeluruh. Kurikulum SMK Edisi 1999 kemudian diperbaharui kembali dengan Kurikulum SMK Edisi 2004. Salah satu inovasi pada Kurikulum SMK Edisi 1999 adalah pemberlakuan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor 323/U/1997 tentang Penyelenggaraan Sistem Ganda pada Sekolah Menengah Kejuruan tanggal 31 Desember 1997, yang memuat komponen-komponen yang diperlukan dalam penyelenggaraan PSG. Inti dari perubahan ini adalah upaya untuk mendekatkan pendidikan kejuruan ke dunia usaha/industri. Selain itu, ada perubahan waktu pelaksanaan praktek industri dari 4 bulan menjadi 6 bulan, yang memerlukan kesiapan sekolah maupun institusi pasangan. Namun secara mendasar, rintisan pembaharuan yang dianggap strategis pada Kurikulum Edisi 1999 meliputi: 1. Masa pengenalan sistem, dimana telah dimulai pada era 1995 dengan dicanangkannya “link and match program”. 2. Masa rintisan sistem sertifikasi dari tahun 1996 – 1998. 3. Uji kompetensi sebagai bagian dari ujian akhir SMK (mulai 1999). 4. Pengembangan model sertifikasi kompetensi di SMK 5. Penyipan SMK sebagai Tempat Uji Kompetensi bagi Lembaga Sertifikasi Profesi/LSP (mulai 2003). Ada beberapa catatan penting yang menarik untuk dikaji mengenai implementasi dari Kurikulum SMK Edisi 1999 diantaranya adalah 1. Terdapat kendala akademis dalam pelaksanaan kurikulum broad based, terutama dalam menentukan isi program adaptif untuk bidang keahlian yang sangat berbeda, walaupun dalam kelompok kejuruan yang sama; 2. Dalam PP 29/1990 ini, pendidikan kejuruan hanya dijelaskan pada tiga tempat. Pasal 1 Ayat 3 menyatakan “pendidikan menengah kejuruan adalah pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakan jenis pekerjaan tertentu”. Sementara itu, pada Pasal 3 Ayat 2 disebutkan bahwa pendidikan menengah kejuruan mengutamakan penyiapan siswa untuk memasuki lapangan kerja serta mengembangkan sikap profesional. Kemudian, pada Pasal 7 diatur syarat-syarat pendirian sekolah menengah kejuruan. Sebagaimana dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1989, dalam PP 29/1990 ini pendidikan kejuruan juga mendapat porsi yang kecil, dan rumusan peraturan untuk pendidikan kejuruan masih terasa sangat umum. 4. Salah satu alternatif untuk meningkatkan kejelasan kebijakan pendidikan kejuruan adalah membuat Peraturan Pemerintah tersendiri untuk menyempurnakan PP 29/1990 sehubungan dengan berlakunya Undang Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. 5. Keputusan Mendikbud No. 323/U/1997 perlu direvisi karena terdapat rumusan-rumusan yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan IPTEK dan DUDI, dimana kurikulum SMK hanya meliputi Program Umum dan Program Kejuruan (Sebagai contoh, pada Bab IV Program, Pasal 8 dan 9 sudah tidak konsisten dengan Kurikulum SMK 1999). Sedangkan menurut Kurikulum 1999, program pendidikan dan pelatihan terdiri dari program normatif, adaptif, dan produktif. 6. Selama ini, di Indonesia dilaksanakan model PSG untuk semua SMK dengan berbagai kondisi. Pelaksanaan PSG ternyata menemui berbagai keragaman kendala, antara lain: kendala geografis, kendala kesiapan dan potensi SMK, kendala program SMK yang kurang didukung oleh keberadaan industri di daerah yang bersangkutan, kurang efektifnya guru pembimbing dari sekolah, dan instruktur di industri, sulitnya menjalin kerjasama dengan IP, serta lemahnya manajemen pelatihan di industri. Barangkali lebih efisien apabila model PSG ini tidak harus dilaksanakan untuk semua SMK. Setiap sekolah, dengan pertimbangan Majelis Sekolah, diberi kebebasan untuk memilih salah satu diantara empat model, yaitu: model pasar, model PSG, model pendidikan koperatif, dan model sekolah, tergantung dari kemampuan, potensi, kesiapan, dan lingkungan masing-masing SMK. 7. Dari kenyataan di atas, muncul pemikiran alternatif-alternatif pelaksanaan Kurikulum SMK Edisi 1999, misalnya: (1) Kurikulum kombinasi broad based dan competency based barangkali hanya dilaksanakan untuk bidang-bidang keahlian dalam kelompok di luar teknologi dan industri, sedangkan untuk bidang-bidang keahlian dalam kelompok teknologi dan industri tetap menggunakan kurikulum competency based. (2) Waktu pelaksanaan praktek industri dapat dipilih oleh masing-masing SMK yang lamanya 4-6 bulan tergantung dari kesiapan sekolah dan institusi pasangannya. Dari uraian di atas, serta implementasi di lapangan mengenai kurikulum edisi revisi tahun 1999 ini dapat diberikan beberapa catatan penting, yakni; 1. Strategei penerapan PSG dalam Kurikulum Edisi 1999 ternyata kurang berhasil atau boleh dikatakan gagal untuk mengatasi permasalahan pendidikan di SMK sehingga mulai era tahun 2000 kebijakan tentang “link and match” dan model pendidikan “sistem ganda” tidak populer lagi. Kegagalan yang menonjol karena tidak adanya standarisasi dalam hal kompetensi dan sertifikasi sehingga pengetahuan dan keterampilan siswa ternyata sebagian besar tidak “match” saat melamar pekerjaan, begitu juga sertifikasi yang dikeluarkan oleh badan/lembaga sertifikasi tidak diakui oleh industri. 2. Dalam Kebijakan Teknis Pengembangan dan Implementasi Kurikulum SMK Edisi 1999, yang dirumuskan oleh Balitbang dan Ditjen Dikdasmen, dinyatakan: “untuk kepentingan pemasaran tamatan di SMK diberlakukan Uji Kompetensi di samping EBTANAS”. EBTANAS sifatnya wajib diikuti oleh seluruh siswa untuk dapat dinyatakan lulus dari SMK, sedangkan Uji Kompetensi lebih bersifat memberi kesempatan kepada siswa untuk memperoleh sertifikasi (pengakuan) terhadap keahlian yang dimiliki sebagai bekal untuk memasuki dunia kerja. Menurut rumusan ini, nampaknya uji kompetensi dan sertifikasi bersifat operasional, sedangkan EBTANAS sifatnya wajib bagi setiap siswa SMK untuk mengikutinya. Rumusan ini memiliki sejumlah kelebihan dan kelemahan. Kelebihan kebijakan ini terletak pada sifat pilihannya, sehingga bagi siswa yang tidak menggunakan kesempatan menempuh Uji Kompetensi dan Sertifikasi tetap dapat dinyatakan lulus dari SMK. Kebijakan yang demikian ini sejalan dengan semangat “demokratisasi dalam pendidikan”. Sedangkan kelemahannya terletak pada pelaksanaan EBTANAS yang harus memuat mata ujian yang mencerminkan kemampuan siswa pada program produktif. Hal ini dimungkinkan menemui kendala-kendala teknis dalam pelaksanaannya. Kelemahan lain berkaitan dengan sertifikasi adalah siswa kurang didorong untuk mengikuti sertifikasi, karena sifatnya pilihan. Padahal di masa yang akan datang, terutama dengan datangnya era perdagangan bebas, sertifikasi memiliki fungsi yang sangat menentukan. 3. Sistem akreditasi di SMK selama ini menggunakan sistem Monitoring dan Evaluasi (ME) yang dilaksanakan oleh Tim Dikmenjur, dengan unit analisis sekolah. Setiap SMK memiliki nilai ME masing-masing, misalnya SMK A memperoleh nilai AB (Amat Baik), SMK B memperoleh nilai B (Baik), dan SMK C memperoleh nilai C (Cukup). Untuk meningkatkan kefektifan standarisasi, perlu dibentuk “Badan Akreditasi Nasional (BAN)” untuk SMK, dengan unit analisis program studi. 4. Perubahan dari Kurikulum SMK 1994 ke Kurikulum SMK 1999 masih belum dilegitimasi oleh peraturan perundangan-undangan yang mantap. Di samping itu, dalam pelaksanaannya menghadapi kendala, terutama pada penerapan kurikulum broad based, dan pelaksanaan praktik industri. 5. Sistem uji kompetensi dan sertifikasi menurut Kurikulum SMK Edisi 1999, yang memberikan opsi kepada siswa, dinilai sejalan dengan “demokratisasi dalam pendidikan”. Namun, kesulitannya terletak pada pelaksanaan EBTANAS serta kurang memberi motivasi kepada siswa yang berpotensi untuk mengambil sertifikasi, karena kedudukannya yang tidak wajib. Sebaliknya, Sistem Akreditasi di SMK masih menggunakan mekanisme Monitoring dan Evaluasi (ME) yang dilakukan oleh Tim Dikmenjur, hal ini belum merupakan sistem akreditasi yang mapan seperti yang dimiliki oleh Pendidikan Tinggi. Pada kurikulum berbasis kompetensi tahun 2004, mengalami banyak perubahan mendasar dalam berbagai aspek. Namun perlu diingat, bahwa perubahan kurikulum bukan berarti terlepas begitu saja dengan kurikulum sebelumnya. Sesuai dengan landasan pemikiran tentang perubahan kurikulum, dimana ditujukan pada pengembangan dan peningkatan mutu sistem pendidikan dalam menghadapai perubahan jaman serta kebutuhan para peserta didik, maka perubahan kurikulum akan senantiasa merupakan proses kontinyuitas yang sistematis. Oleh karena itu, dalam kurikulum 2004 masih memiliki keterkaitan dengan kurikulum sebelumnya, meski dalam banyak aspek memiliki banyak perubahan mendasar. Untuk lebih jauhnya bisa dilihat dalam tabel berikut mengenai perbedaan mendasar antara kurikulum edisi revisi 1999 dengan 2004 di SMK. No KOMPONEN ASPEK Edisi 1999 Edisi 2004 1 Landasan Yuridis Yuridis, Filosofis, Psikologis Sosial Budaya, IPTEK 2 Dokumen Terdiri dari 3 buku yang terpisah Menjadi satu buku terdiri dari 3 bagian 3 Paradigma Demand Driven Demand/Market driven, Life Skills. 4 Standar Kompetensi Belum sepenuhnya mengacu pada Standar Kompetensi Sebagian Mengacu pada SKN 5 Pola Program Program bersama pada bidang keahlian yang sama Program keahlian sebagian ter-pisah sejak tingkat I 6 Kualifikasi Jabatan Tidak jelas Sebagian belum distandarisasi. 7 Diagram Pencapaian Kompetensi Buku II belum dilengkapi dengan diagram Pencapaian Kompetensi Bagian II dilengkapi dengan Diagram Pencapaian Kompetensi 8 Pedoman Pelaksanaan Pedoman pelaksanaan kurikulum dalam bentuk uraian Pedoman pelaksanaan kurikulum dalam bentuk prosedur operasi standar. 9 Bahan Ajar Belum ada standar pengembangan yang baku Dikembangkan dalam bentuk modul cetak dan modul interaktif /program multi media 10 Deskripsi Program Pembelajran - Deskripsi program pembelajaran normatif dan adaftif belum berbasis kompetensi. - Deskripsi terdiri dari: kompetensi/sub kompetensi, pembela-jaran pengetahuan dan keteram-pilan. - Deskripsi program pembelajar-an normatif, adaftif dan produktif berbasis kompetensi. - Deskripsi terdiri dari: kompetensi/sub kompetensi, kriteria unjuk kerja, materi pokok pembelajaran (sikap, pengetahuan dan keterampilan) 11 Praktek Kerja Industri / OJT Minimal 6 bulan Minimal 1 tahun Kurikulum edisi revisi 1999 yang lahir setelah munculnya era reformasi di Indonesia membawa angin perubahan yang cukup signifikan dalam dunia pendidikan. Kurikulum ini mulai memperlihatkan suatu format pendidikan yang cenderung untuk melihat peserta didik sebagai manusia yang kompleks, yang memiliki berbagai kemampuan dan kebutuhan yang mesti digali secara optimal. Hal ini dipertegas lagi dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK) 2004 yang secara jelas dan tegas mengedepankan berbagai aspek yang dimiliki manusia (peserta didik) seperti aspek afektif, kognitif, dan psikomotoriknya. Jadi proses pembelajaran tidak lagi hanya berfokus pada penguasaan dan penguatan aspek kognitif saja yang pada kurikulum sebelumnya (masa orba) menjadi fokus perhatian utama. Kurikulum 1999 pada dasarnya sudah berupaya mrintis ke arah tersebut, meskipun belum secara optimal menggali dan menerapkannya. Ada beberapa persamaan dan perbedaan antara kurikulum 1999 dengan 2004 yang mendasar. Menurut Dr. Ashari djohar diantara persamaannya yaitu; Pendekatan berbasis kompetensi, luas dan mendasar, serta produksi, pada prinsipnya sama sejak kurikulum 1994 Konsep penilaian kompeten dan belum kompeten Pelaksanaan pendidikan sistem ganda Satuan waktu semester Arah pengembangan : Keterampilan menjelang 2020 untuk era global Sedangkan perbedaan yang ada menurut Dr. Ashari djohar diantaranya yaitu; No Kurikulum 1999 2004 1. Topik masih banyak yang bernuansa pohon ilmu Topik (diupayakan) dalam pernyataan kompetensi 2. Pemelajaran dan penilaian terikat pada acuan waktu (semester) Pemelajaran dan penilaian dilaksanakan per kompetensi sesuai rancangan urutan pencapaian kompetensi 3. Dokumen terdiri dari 3 buku terpisah ( buku i, ii,dan iii) Dokumen jadi satu buku Meliputi bag i, bag ii,bag iii 4. Prakerin 3 bulan terstruktur pada sem. 5 Prakerin minimal 1 tahun, waktu disesuaikan kondisi 5. Rumusan kompetensi belum mengacu pada SKN Rumusan kompetensi sudah mengacu pada SKN 6. Berorientasi pada demand driven Berorientasi pada market driven dan life skill 7. Normatif dan adaftif berbasis keilmuan Normatif dan adaftif berbasis kompetensi 8. Aspek sikap tidak ada rumusannya Aspek sikap dirumuskan secara jelas 9. Mata diklat PPKN dan Sejarah terpisah PPKN dan Sejarah menjadi satu mata diklat 10. Materi adaftif disesuaikan dengan tuntutan bidang keahlian Materi adaptif disesuaikan dengan tuntutan program keahlian 11. Ada rancangan proses pencapaian kompetensi 12. Dimungkinkan terjadinya: • Multi kurikulum • Multy-exit/entry 13. Ada substansi noninstruksional yang jelas: • Life skills • Lingkungan hidup • Kompetensi kunci • Dll DAFTAR PUSTAKA Balitbang dan Dikdasmen. 1999. Memahami Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan Edisi 1999 Berpendekatan Competency Based dan Board Based. Jakarta: Balitbang dan Dikdasmen, Depdikbud. Balitbang dan Dikdasmen. 1999. Kebijakan Teknis Pengembangan dan Implementasi Kurikulum Menengah Kejuruan. Jakarta: Balitbang dan Dikdasmen, Depdikbud. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977. Kurikulum Pendidikan Menengah Kejuruan 1976, Buku I tentang Ketentuan-ketentuan Pokok. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984. Kurikulum Pendidikan Menengah Kejuruan 1984, Buku I tentang Ketentuan-ketentuan Pokok. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1999. Pedoman Pelaksanaan Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan Edisi 1999. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Djohar, Dr. Ashari. 2006. Persamaan dan Perbedaan Kurikulum Edisi 1999 – 2004. Materi perkuliahan Sekolah Pascasarjana UPI Bandung. Hasan Bachtiar, 2003. Perencanaan Pengajaran Bidang Studi. Bandung: Pustaka Ramadhan. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 323/U/1997 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Sistem Ganda pada Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah. Jakarta. Satuan Tugas Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan di Indonesia. 1997. Keterampilan Menjelang 2020 untuk Era Glabal. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Perilaku Perusahaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan zaman semakin pesat ditandai perkembangan teknologi yang semakin maju ini membutuhkan support dari berbagai industri untuk mendukung perkembangannya. Manusia adalah makhluk sosial, maka manusia tidak akan lepas dari organisasi, oleh karena itu dalam kehidupannya manusia selalu tergabung dalam suatu organisasi. Organisasi merupakan sekelompok orang yang saling berinteraksi dan bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Manusia merupakan pendukung utama sebagai penggerak berjalannya organisasi. Organisasi sangat dipengaruhi oleh setiap perilaku individu yang ada didalamnya. Individu-individu tersebut mempunyai perilaku dan karakteristik yang berbeda-beda. B. Rumusan Masalah 1. Apa pegertian perilaku ? 2. Pengertian perusahaan ? 3. Pengertian organnisasi ? 4. Pengertian Industri ? 5. Bagaimana sikap perilaku perusahaan ? 6. Bagaimana system managemen organisasi industri ? C. Tujuan Masalah 1. Untuk mengetahui pengertian perilaku ! 2. Untuk mengetahui perusahaan 3. Untuk mengetahui pengertian organnisasi ! 4. Untuk mengetahui pengertian Industri ! 5. Untuk mengetahui sikap perilaku perusahaan! 6. Untuk mengetahui system managemen organisasi industri! BAB II PEMBAHASAN D. Pengertian a. Pengertian perilaku Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. (Notoatmodjo, 2003). Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus – Organisme – Respon. Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2003) : Perilaku tertutup (convert behavior) Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. Perilaku terbuka (overt behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. b. Pengertian perusahaan Menurut pendapat Kansil (2001 : 2) definisi atau pengertian perusahaan adalah setiap bentuk badan usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah negara indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba. Menurut pendapat Swastha dan Sukotjo (2002 : 12) definisi atau pengertian perusahaan adalah adalah suatu organisasi produksi yang menggunakan dan mengkoordinir sumber-sumber ekonomi untuk memuaskan kebutuhan dengan cara yang menguntungkan. Menurut pendapat lain definisi atau pengertian perusahaan adalah tempat terjadinya kegiatan produksi dan berkumpulnya semua faktor-faktor produksi. c. Pengertian industri Industri berasal dari bahasa latin, yaitu industria yang artinya buruh atau tenaga kerja. Dewasa ini, istilah industri sering digunakan secara umum dan luas, yaitu semua kegiatan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam rangka mencapai kesejahteraan Industri adalah suatu kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. E. Sikap perilaku perusahaan Dalam sebuah perusahaan pun tentunya mencari SDM yang berkualitas tinggi agar perusahaannya dapat berkembang dan memberikan keuntungan yang banyak pada akhirnya. Tugas seorang HRD (Human Resources Development) dalam pemilihan atau me-manajemen Sumber Daya Manusia harus sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh calon pegawai, sehingga pekerjaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien, serta agar tidak terjadi kesalahan pada nantinya. Dalam suatu perusahaan salah satu hal yang sangat penting adalah manusia, karena dapat dibayangkan apabila suatu perusahaan tanpa adanya manusia, maka perusahaan tentu tidak akan dapat beroperasi, walaupun sekarang ini telah muncul banyak alat dan mesin-mesin yang sangat canggih, tetapi tetap saja bila tanpa adanya manusia yang menggerakkan mesin tersebut, maka mesin yang semula dikatakan sangat canggih sekalipun hanya dapat menjadi sebuah mesin yang tidak berguna. Oleh karena itu perusahaan tidak boleh memperlakukan manusia (pekerja) dengan semaunya dan memperlakukan seperti mesin. Tenaga-tenaga yang telah diberikan oleh pekerja (manusia) harus dibayar dengan uang, atau yang biasa disebut dengan gaji. Namun agar pekerja lebih semangat lagi dalam melakukan pekerjaannya, maka biasanya perusahaan-perusahaan memberikan balas jasa atau penghargaan yang disebut sebagai kompensasi. Dengan kompensasi, maka pekerja-pekerja diberikan motivasi agar lebih baik lagi dalam bekerja dan menjadi pekerja yang berkualitas tinggi sesuai dengan tuntutan permintaan perusahaan. Selain kompensasi, untuk memberikan rasa aman dan keselamatan kepada pekerja, maka perusahaan juga memberikan asuransi, mobil jemputan dan beberapa tunjangan-tunjangan lainnya kepada pekerja F. Sistem managemen organisasi industri Dalam suatu industri khususnya industri-besar merupakan suatu komunitas yang perlu diatur kinerjanya agar dapat berjalan dengan baik sehingga sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Contoh suatu industri kimia dengan skala besar banyaknya peralatan dengan ukuran yang besar, dengan demikian tentunya diperlukan operator yang pengoperasikan peralatan-peralatan tersebut, oleh karenanya diperlukan adanya pengorganisasian yang baik dalam sistem tersebut. Pengorganisasian dari suatu komunitas tersebut diperlukan system manajemen. Dimana sistem tersebut harus dapat menyatukan elemene lemennya agar dapat berjalan dengan baik. Secara garis besar terdapat enam elemen sistem yang perlu diatur yaitu: 1. Manusia 2. Material 3. Metode 4. Mesin 5. Market 6. Lingkungan Keenam elemen sistem tersebut (M5L) yang saling mendukung agar dapat tercapai tujuan dari organisasi tersebut, dan harus dapat menyatukan sekumpulan karyawan(manusia) yang bekerja secara continoe pada suatu industri, yang dapat mengubah material agar dapat mempunyai nilai lebih, dengan menggunakan peralatan (mesin) dengan metoda tertentu, dimana jumlah dari produksi material tersebut tergantung dari kebutuhan konsumen atau pasar (market) dan juga harus memperhatikan faktor lingkungan baik secara mikro maupun makro. Diantara elemen-elemen dalam sistem tersebut, yang mempunyai peran yang cukup besar adalah manusianya, dimana dalam era sekarang ini, manusia merupakan salah satu bagian dari sumber daya, yang selanjutnya disebut dengan sumber daya manusia (sdm). Kolektivitas manusia dalam suatu organisasi mempunyai kemampuan (skill),pengetahuan (knowledge), pengalaman (experience) yang berbeda.Berdasarkan hal tersebut, organisasi dalam suatu industri (perusahaan)dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: manajemen puncak, manajemen menengah dan manajemen pelaksana. 1. Manajemen puncak Dalam sistem organisasi, manajemen puncak merupakan manajemen tertinggi, dimana orang-orang yang duduk pada posisi ini mempunyai tugas yang cukup berat karena harus memutuskan hal-hal penting dan mengatur yang menyangkut kelangsungan hidup dan keberhasilan dari organisasi atau perusahaan tersebut. Orang yang duduk pada manajemen puncak ini biasanya disebut dengan direktur dan juga pemilik modal dalam perusahaan, atau yang tergabung dalam bentuk dewan (dewan direksi, dewan komisaris). Dewan Direksi dapat terdiri dari Direktur Utama, Direktur Keuangan dan Umum serta Direktur Produksi dan Teknik. 2. Manajemen menengah Manajemen ini terdiri dari pimpinan-pimpinan pabrik (dalam suatu industri, misalnya industri petrokimia, industri pupuk dapat terdiri lebih dari satu pabrik), atau kepala-kepala divisi. Tugas dari bagian ini adalah mengembangkan dan menjalankan rencanarencana yang telah ditetapkan oleh manajemen puncak 3. Manajemen pelaksana Pada tingkat ini, terdiri dari personil yang melaksanakan tugas yang telah dikembang oleh manajemen menengah dan bertanggung jawab kepadanya. Berdasarkan keterangan tersebut, maka semakin tinggi tingkat manajemennya akan diduduki oleh semakin sedikit jumlah personilnya, sebaliknya demikian pula sebaliknya tingkat manajemen pelaksana terdiri dari jumlah personil yang cukup banyak, hal ini digambarkan dalam bentuk piramida dengan kerucut diatas, sebagaimana gambar 1.5. Sebalik untuk tugas dan tanggung jawab,semakin tinggi tingkat manajemen, maka dia mempunyai tugas dan tanggung jawab yang lebih tinggi, hal ini digambarkan dalam bentuk piramida terbalik dengan kerucut dibawah. Organisasi dalam bentuk “Line and Staff system” merupakan bentuk yang sering digunakan sebagai organisasi dalam suatu manajemen. Ada dua kelompok orang 1.orang yang berpengaruh dalam menjalankan organisasi sistem line and staf ini yaitu : a. Sebagai garis atau line yaitu orang–orang yang melaksanakan tugas pokok organisasi dalam rangka mencapai tujuan . b. Sebagai staff yaitu orang – orang yang melaksanakan tugasnya dengan keahlian yang dimilikinya , dalam hal ini berfungsi untuk memberikan saran – saran kepada unit operasional. Secara umum, dalam suatu perusahaan atau industri, person (orang) yang bekerja didalamnya terdiri dari: 1. Pemegang saham sebagai pemilik perusahaan (untuk perusahaan berbentuk Badan Usaha Milik Swasta) dalam pelaksanaan tugas sehari-harinya dibantu oleh Dewan Komisaris, sedangkan tugas untuk menjalankan perusahaan dilaksanakan oleh Direktur Utama dibantu oleh Direktur Teknik dan Direktur Keuangan dan Umum. 2. Direktur Teknik membawahi bidang teknik dan produksi. Sedangkan Direktur Keuangan dan Umum membidangi kelancaran keuangan perusahaan. 3. Beberapa Kepala bagian yang berada dibawah direktur-direktur diatas akan bertanggung jawab membawahi bagian dalam perusahaan,sebagai pendelegasian wewenang dan tanggung jawab. 4. Masing-masing kepala bagian membawahi beberapa seksi dan masing-masing seksi akan membawahi beberapa karyawan perusahaan pada masing-masing bidangnya. 5. Karyawan perusahaan akan dibagi dalam beberapa kelompok regu yang setiap kepala regu akan bertanggung jawab kepada pengawas masing-masing seksi. BAB III PENUTUP G. Kesimpulan Dalam suatu perusahaan salah satu hal yang sangat penting adalah manusia, karena dapat dibayangkan apabila suatu perusahaan tanpa adanya manusia, maka perusahaan tentu tidak akan dapat beroperasi, walaupun sekarang ini telah muncul banyak alat dan mesin-mesin yang sangat canggih, tetapi tetap saja bila tanpa adanya manusia yang menggerakkan mesin tersebut, maka mesin yang semula dikatakan sangat canggih sekalipun hanya dapat menjadi sebuah mesin yang tidak berguna. Manusia merupakan salah satu bagian dari sumber daya, yang selanjutnya disebut dengan sumber daya manusia (sdm). Kolektivitas manusia dalam suatu organisasi mempunyai kemampuan (skill), pengetahuan (knowledge), pengalaman (experience) yang berbeda. Berdasarkan hal tersebut, organisasi dalam suatu industri (perusahaan). H. Saran Oleh karena itu perusahaan tidak boleh memperlakukan manusia dengan semaunya dan memperlakukan seperti mesin. Tenaga-tenaga yang telah diberikan oleh pekerja harus dibayar dengan uang. Namun agar pekerja lebih semangat lagi dalam melakukan pekerjaannya, maka biasanya perusahaan-perusahaan memberikan balas jasa atau penghargaan yang disebut sebagai kompensasi. Dengan kompensasi, maka pekerja-pekerja diberikan motivasi agar lebih baik lagi dalam bekerja dan menjadi pekerja yang berkualitas tinggi sesuai dengan tuntutan permintaan perusahaan. Selain kompensasi, untuk memberikan rasa aman dan keselamatan kepada pekerja, maka perusahaan juga memberikan asuransi, mobil jemputan dan beberapa tunjangan-tunjangan lainnya kepada pekerja Daftar Pustaka Robert N.Anthony Vijay Govindarajan. Management Control System, penerbit Salemba Empat, 2005. Anthony, Robert N. The Management Control Function. Boston: Harvard Business School Press, 1989. Kaplan, Robert, dan David Norton. Balanced Scorecard. Boston: Harvard Business School Press, 1996.

Faktor Pengangguran Atau Antar GEPENG

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Hakekatnya, pembangunan ekonomi di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas kesempatan kerja dan kesempatan peluang berusaha, meningkatkan pemerataan pendapatan masyarakat serta meningkatkan hubungan antar daerah. Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan bermuara pada manusia sebagai insan yang harus dibangun kehidupannya dan sekaligus merupakan sumberdaya pembangunan yang harus terus ditingkatkan kualitas dan kemampuannya untuk mengangkat harkat dan martabatnya (Chambers, 1983). Kota Denpasar dan kota-kota lainnya di Bali tumbuh juga secara baik dan bahkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Salah satu persoalan yang muncul adalah kesenjangan atau ketimpangan yang semakin besar dalam pembagian pendapatan antara berbagai golongan pendapatan, antara daerah perkotaan dan pedesaan. Ini berarti juga bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat belum berhasil untuk menanggulangi masalah kemiskinan, seperti pengangguran dan masalah sosial-ekonomi lainnya, seperti gelandangan dan pengemis. Tetapi, arus urbanisasi, khususnya yang menuju Kota Denpasar dan kota-kota lainnya seperti Gianyar, Tabanan dan Singaraja semakin besar seiring dengan pertumbuhan ekonomi regional. Kota Denpasar yang sebagai Ibukota Provinsi Bali menjadi daerah yang “subur” bagi penduduk untuk mendapatkan pekerjaan. Di sisi lain, kesempatan kerja yang tersedia dan peluang berusaha di Kota Denpasar termasuk kota-kota lainnya di Bali (seperti Gianyar, Tabanan dan Singaraja) ternyata tidak mampu menampung pelaku-pelaku urbanisasi karena keterbatasan keterampilan yang dimiliki di daerah asal. Apalagi mereka yang melakukan urbanisasi tidak memiliki keterampilan tertentu yang dibutuhkan dan sengaja untuk melakukan kegiatan sebagai gelandangan dan pengemis. Akibatnya, mereka yang dengan sengaja untuk menjadi gelandangan dan pengemis (Gepeng) di kota-kota seperti Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja akan semakin menjadi ”sosok” yang sangat tidak dibutuhkan karena dirasakan mengganggu ketertiban dan keamanan di jalanan termasuk dibeberapa permukiman. BAB II PEMBAHASAN 2. Pengertian Gelandangan dan Pengemis Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan, pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. (Anon., 1980). Humaidi, (2003) menyatakan bahwa gelandangan berasal dari kata gelandang yang berarti selalu mengembara, atau berkelana (lelana). Menurut Muthalib dan Sudjarwo (dalam IqBali, 2005) diberikan tiga gambaran umum gelandangan, yaitu (1) sekelompok orang miskin atau dimiskinkan oleh masyaratnya, (2) orang yang disingkirkan dari kehidupan khalayak ramai, dan (3) orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan. Ali, dkk., (1990) juga menggambarkan mata pencaharian gelandangan di Kartasura seperti pemulung, peminta-minta, tukang semir sepatu, tukang becak, penjaja makanan, dan pengamen. Harth (1973) mengemukakan bahwa dari kesempatan memperoleh penghasilan yang sah, pengemis dan gelandangan termasuk pekerja sektor informal. Sementara itu, Breman (1980) mengusulkan agar dibedakan tiga kelompok pekerja dalam analisis terhadap kelas sosial di kota, yaitu (1) kelompok yang berusaha sendiri dengan modal dan memiliki ketrampilan; (2) kelompok buruh pada usaha kecil dan kelompok yang berusaha sendiri dengan modal sangat sedikit atau bahkan tanpa modal; dan (3) kelompok miskin yang kegiatannya mirip gelandangan dan pengemis. Sementara itu Alkostar (1984) dalam penelitiannya tentang kehidupan gelandangan melihat bahwa terjadinya gelandangan dan pengemis dapat dibedakan menjadi dua faktor penyebab, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi sifat-sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat fisik ataupun cacat psikis. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor sosial, kultural, ekonomi, pendidikan, lingkungan, agama dan letak geografis. 2.1 Kemiskinan Hall dan Midgley (2004), menyatakan kemiskinan dapat didefenisikan sebagai kondisi deprivasi materi dan sosial yang menyebabkan individu hidup di bawah standar kehidupan yang layak, atau kondisi di mana individu mengalami deprivasi relatif dibandingkan dengan individu yang lainnya dalam masyarakat. Juga, kemiskinan didefenisikan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial (Friedmann, 1979). Kemiskinan merupakan suatu ketidaksanggupan seseorang untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan keperluan-keperluan materialnya (Oscar, dalam Suparlan, 1984). Dalam proses dinamikanya, budaya kemiskinan ini selanjutnya menjadi kondisi yang memperkuat kemiskinan itu sendiri. Keadaan tersebut di atas memberikan indikasi bahwa kemiskinan merupakan penyebab dan sekaligus dampak, dimana masing-masing faktor penyebab sekaligus dampak untuk dan dari faktor-faktor lainnya atau penyebab sirkuler (Rajab, 1996). Sementara itu, Harris (1984) mengatakan bahwa kemiskinan disebabkan karena keterbatasan faktor-faktor geografis (daerahnya terpencil atau terisolasi, dan terbatasanya prasarana dan sarana), ekologi (keadaan sumber daya tanah/lahan, dan air serta cuaca yang tidak mendukung), teknologi (kesederhanaan sistem teknologi untuk berproduksi), dan pertumbuhan penduduk yang tinggi dibandingkan dengan tingkat penghasilannya. Chambers (1983) mengemukakan bahwa sebenarnya orang-orang miskin tidaklah malas, fatalistik, boros, dungu dan bodoh, tetapi mereka sebenarnya adalah pekerja keras, cerdik dan ulet. Argumennya dilandasi bahwa mereka memiliki sifat-sifat tersebut karena untuk dapat mempertahankan hidupnya dan melepaskan diri dari belenggu rantai kemiskinan. 3. Penyebab Terjadinya Gelandangan dan Pengemis Berdasarkan pada hasil survai dan pengamatan langsung di lokasi penelitian, yaitu di empat kota (Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja), serta observasi di lokasi daerah asal, yaitu Munti Gunung dan sekitarnya, diperoleh beberapa faktor penyebab terjadinya Gelandangan dan Pengemis (Gepeng). Beberapa faktor penyebab tersebut di antaranya ádalah faktor yang ada di internal individu dan keluarga Gepeng, internal masyarakat, dan eksternal masyarakat, yaitu di kota-kota tujuan aktivitas Gepeng. Faktor-faktor penyebab ini dapat terjadi secara parsial dan juga secara bersama-sama atau saling mempengaruhi antara satu faktor dengan faktor yang lainnya. 3.1 Faktor Internal Faktor internal dan keluarga yang dimaksudkan ádalah suatu keadaan di dalam diri individu dan keluarga Gepeng yang mendorong mereka untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis. Faktor-faktor tersebut diuraikan secara ringkas berikut ini. 3.2 Kemiskinan Individu dan Keluarga Melalui penelitian yang dilakukan ternyata kemiskinan individu termasuk salah satu faktor yang menentukan terjadinya kegiatan menggelandang dan mengemis. Kondisi ini tercermin dari informasi yang diperoleh bahwa rata-rata penguasaan lahan Gepeng dan keluarganya adalah relatif sempit, yaitu 38,23 are, dengan interval antara 20-60 are. Terbatasnya penguasaan lahan diperburuk lagi oleh kondisi lahan yang tandus, kritis dan kurangnya ketersediaan air, kecuali saat musim hujan mengakibatkan mereka tidak dapat mengusahakan lahannya sepanjang tahun. Oleh karena itu, pada saat musim kemarau Gepeng dan keluarganya mencari penghasilan ke kota (Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja) hanya untu memenuhi kebutuhan yang paling mendasar, yaitu kebutuhan pangan. Dengan demikian, kesulitan memperoleh penghasilan dari lahan pertanian yang dikuasainya mendorong mereka untuk meninggalkan desanya dan terpaksa harus mencari penghasilan dengan cara-cara yang mudah dan tanpa memerlukan ketrampilan, yaitu menjadi Gepeng. 3.3 Umur Ternyata faktor umur memberikan pengaruh yang cukup signifikan, dimana sebagian terbesar (sekitar 74,32 %) dari gelandangan dan pengemis yang ditemui adalah berusia yang masih sangat muda, yaitu kurang dari 13 tahun. Berdasarkan pada wawancara dengan mereka diketahui bahwa faktor umur yang masih muda ini memberikan peluang bagi mereka untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis karena tiadanya memikirkan rasa malu yang terlalu kuat. Bahkan mereka (anak-anak) terlihat riang berlari-lari dan bercanda dengan temannya saat menggepeng. Kondisi ini sangat berbeda atau berbanding terbalik dengan mereka yang telah menginjak usia remaja. Hal ini, tercermin dari hasil penelitian bahwa Gepeng yang berusia antara 15 – 40 tahun tidak ditemukan di empat kota yang menjadi lokasi studi. Hal yang menarik juga terlihat dari penelitian ini, yaitu tidak ditemukannya Gepeng yang berusia 15-40 tahun dan berjenis kelamin laki-laki. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa laki-laki yang sudah dewasa sudah merasa tidak pantas lagi menjadi Gepeng karena malu. Selain itu, diperoleh informasi juga bahwa mereka yang berusia remaja telah beralih fungsi pekerjaan menjadi buruh, kuli, pembantu rumah tangga, tukang, termasuk buruh tani, khususnya pada musim-musim panen cengkeh di Kabupaten Buleleng. Sementara itu, hasil penelitian menunjukkan juga bahwa kaum perempuan berumur lebih dari 40 tahun sepertinya memberikan peluang yang lebih besar untuk memperoleh ”belas kasihan” dari penduduk kota. Kondisi tersebut sangat wajar jika dikaji lebih lanjut dimana mereka akan mendapat beberapa keuntungan, di antaranya adalah sebagai berikut: (i) calon pemberi uang akan iba melihat seorang ibu dengan anak kecil yang digendongnya; (ii) uang yang diperoleh akan lebih banyak, selain terkadang mereka diberikan juga makanan, khususnya untuk anak yang digendongnya. 3.4 Pendidikan Formal Berkenaan dengan faktor umur tersebut di atas, ternyata faktor pendidikan juga turut mempengaruhi responden untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis. Pada tingkat umur yang masih terkategori anak-anak, semestinya mereka sedang mengikuti kegiatan pendidikan formal di sekolah. Namun, mereka memilih menjadi Gepeng dibandingkan bersekolah karena tidak memiliki kemampuan finansial untuk kebutuhan sekolah sebagai akibat dari kemiskinan orang tua. Tidak berpendidikannya responden menyebabkan mereka tidak memperoleh pengetahuan atau pemahaman tentang budi pekerti, agama dan ilmu pengetahuan lainnya yang mampu menggugah hati mereka untuk tidak melakukan kegiatan sebagai Gepeng. 3.5 Ijin Orang Tua Seluruh anak-anak yang melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka telah mendapat ijin dari orang tuanya dan bahkan disuruh oleh orang tuanya. Melalui wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat di desa, alasan tersebut di atas juga dibenarkan mengingat kondisi sosial ekonomi orang tua anak-anak yang menjadi Gepeng di dusun tergolong sangat miskin. Sehingga pada musim kemarau, mereka ”terpaksa” membiarkan anaknya dan ”menyuruh” anaknya untuk ikut mencari penghasilan guna membantu memenuhi kebutuhan rumah tangganya. 3.6 Rendahnya Ketrampilan Hasil wawancara terhadap seluruh Gepeng yang beroperasi di Kota Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja tidak memiliki ketrampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Kondisi ini sangat wajar terjadi karena sebagian terbesar dari mereka adalah masih berusia yang belia atau muda. Semestinya mereka sedang menikmati kegiatan akademik atau di dunia pendidikan. Sementara mereka yang tergolong umur relatif lebih tua dan berjenis kelamin perempuan sejak muda tidak pernah memperoleh pendidikan ketrampilan di desa. Oleh karena itu, kegiatan menggelandang dan mengemis adalah pilihan yang paling gampang untuk dilaksanakan guna memperoleh penghasilan secara mudah. Tetapi menurut mereka, mengemis itu terkadang agak sulit untuk memperoleh uang karena harus berkeliling dan mencoba serta mencoba untuk meinta-minta, dimana tidak semua calon pemberi sedekah langsung memberikannya, dan bahkan tidak memperdulikannya. 3.7 Sikap Mental Kondisi ini terjadi karena di pikiran para Gepeng muncul kecendrungan bahwa pekerjaan yang dilakukannya tersebut adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, selayaknya pekerjaan lain yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan. Ketiadaan sumber-sumber penghasilan dan keterbatasan penguasaan prasarana dan sarana produktif, serta terbatasnya ketrampilan menyebabkan mereka menjadikan mengemis sebagai suatu pekerjaan. Atau dengan kata lain, mereka mengatakan juga bahwa tiada jalan lain selain mengemis untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, sikap mental yang malas ini juga didorong oleh lemahnya kontrol warga masyarakat lainnya atau adanya kesan permisif terhadap kegiatan menggelandang dan mengemis yang dilakukan oleh warga karena keadaan ekonomi mereka yang sangat terbatas. Sementara di sisi lain, belum dimilikinya solusi yang tepat dalam jangka pendek bagi mereka yang menjadi Gepeng. Keadaan yang demikian ini juga turut memunculkan dan sedikit menjaga adanya budaya mengemis yang terjadi. 3.8 Faktor Eksternal/Lingkungan Pada penelitian ini, faktor lingkungan yang dimaksudkan adalah beberapa faktor yang berada di sekeliling atau sekitar responden baik yang di daerah asal maupun di daerah tujuan. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah: (i) kondisi hidrologis; (ii) kondisi pertanian; (iii) kondisi prasarana dan sarana fisik; (iv) akses terhadap informasi dan modal usaha; (v) kondisi permisif masyarakat di kota; (vi) kelemahan pananganan Gepeng di kota. 3.9 Kondisi Hidrologis Mempersoalkan kondisi hidrologis di Dusun Munti Gunung, sepertinya tidak dapat dilepaskan juga dari kondisi yang sama di desa-desa yang berada di wilayah Kecamatan Kubu, dimana faktor air merupakan faktor utama sebagai pembatas dalam aktivitas warga. Hanya beberapa wilayah yang berada di dekat pesisir yang dapat memperoleh air sepanjang tahun karena pemerintah melalui Dinas Pekerjaan Umum telah membangun sumur-sumur bor dan dilengkapi dengan prasarananya, seperti mesin pompa dan instalasi pipa-pipa. Secara alamiah Dusun Munti Gunung termasuk daerah yang sangat gersang dan tandus sebagai akibat dari keterbatasan ketersediaan air. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena fakta membuktikan curah hujan yang rendah dan musim kemarau yang panjang. Pada musim ini, mereka yang tergolong miskin sangat kesulitan untuk memperoleh air yang dimanfaatkan untuk kebutuhan air minum dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Kondisi inilah yang kemudian mendorong bagi warga masyarakat yang miskin dengan ”terpaksa” harus keluar dari dusunnya untuk mencari penghasilan karena pada periode musim kemarau tersebut mereka tidak dapat melakukan aktivitas ekonomis. Perlu diketahui juga bahwa, sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah pertanian. 3.10 Kondisi Pertanian Secara topografis, Dusun Munti Gunung memiliki kondisi yang kurang mendukung jika dihubungkan dengan pengelolaan usahatani atau pembangunan pertanian (termasuk ternak) di lahan kering. Topografinya adalah berbukit atau bergunung ditambah dengan ketiadaan teknologi budidaya pertanian menjadikan penduduk termasuk Gepeng dan keluarganya tidak mampu mengelola lahannya. Apalagi keadaan hidrologisnya sangat tidak mendukung untuk kegiatan pertanian. Penguasaan teknologi pertanian yang terbatas sangat memperparah pengelolaan usahatani di desa. Mereka umumnya menanam tanaman palawija (kacang-kacangan dan umbi-umbian) yang tidak memerlukan banyak air irigasi. Pengunaan bibit, pemupupukan termasuk penanganan hama dan penyakit dapat dikatakan sangat rendah kualitasnya sehingga produktivitas yang dihasilkan juga menjadi rendah. Kondisi yang demikian inilah selanjutnya mengakibatkan mereka memperoleh penghasilan/pendapatan yang rendah, sementara kebutuhan hidup keluarga Gepeng termasuk penduduk lainnya semakin tinggi. Oleh karena itu, terbatasnya sumber dan besarnya pendapatan mendorong mereka untuk keluar dari dusun guna mencari penghasilan di kota. 3.11 Kondisi Prasarana Fisik Keadaan topografis Dusun Munti Gunung yang berbukit dan secara geografis termasuk terisolasi mengakibatkan pembangunan prasarana fisik seperti jalan, pasar, sekolah, air bersih adalah sangat terbatas. Prasarana transportasi sebagai salah satu prasarana yang pokok, seperti jalan darat baik yang menghubungkan antar dusun maupun di dalam dusun relatif belum bagus, yaitu sebagian besar merupakan jalan yang tidak beraspal atau merupakan jalan “geladag” (yang hanya diperkeras) atau jalan tanah. Seperti telah disebutkan di depan bahwa sebesar 70 % dari panjang jalan sekitar 18,50 km jalan yang ada di wilayah Dusun Munti Gunung merupakan jalan tanah. Rendahnya kualitas jalan menyebabkan terjadinya inefisiensi di dalam kegiatan transportasi sehingga mengakibatkan penghasilan yang diperoleh dari kegiatan ekonomis menjadi relatif rendah. Penghasilan yang kecil ini tampaknya juga mendorong mereka meninggalkan dusunnya untuk mencari pekerjaan di luar desa, seperti menggelandang dan mengemis. Prasarana lainnya yang terbatas adalah prasarana air bersih, dimana mereka hanya membangun bak-bak penampungan air yang disebut dengan cubang baik yang dikelola secara kolektif selain secara individual yang berfungsi untuk menampung air hujan. Sebagai penduduk di bawah garis kemiskinan di desa, mereka tertarik mendapatkan uang di kota. ”Kota sebagai tempat mengadu nasib dianggap sebagai faktor penarik hijrahnya orang dari desa ke kota. 3.12 Terbatasnya Akses Informasi dan Modal Usaha Warga Dusun Munti Gunung memiliki keterbatasan di dalam mengakses informasi baik yang berkenaan dengan berbagai aspek ekonomi produktif, sosial maupun aspek lainnya. Keterbatasan dalam mengakses informasi ini juga diperparah oleh keterbatasan pemilikan prasarana media, seperti televisi, koran dan lain sebagainya. Ternyata, keterbatasan ini diakibatkan juga oleh belum masuknya jaringan listrik secara meluas di Dusun Munti Gunung. Akses lainnya yang sulit untuk diperoleh adalah modal usaha. Kesulitan ini diakibatkan karena perolehan modal usaha memerlukan berberapa syarat yang sangat sulit untuk dipenuhi oleh warga dusun, termausk keluarga Gepeng. Syarat utama yang dibutuhkan adalah adanya agunan yang berupa sertifikat tanah. Warga dusun dan keluarga Gepeng tidak berani menyerahkan sertifikat tanahnya sebagai agunan karena mereka tidak mau mengambil resko terburuk, yaitu tanahnya disita jika usahanya tidak berhasil. 3.13 Kondisi Permisif di Kota Tujuan Sikap permisif masyarakat di Kota (Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja) terlihat dari adanya sikap yang memberi bila ada Gepeng yang mendekatinya, baik yang ke rumah, di pinggir jalan, di warung dan lain sebagainya. Rasa kasihan, kepedulian dan berbagi antar sesama umat yang merupakan ajaran moralitas mengakibatkan warga kota memberikan sedekahnya kepada Gepeng. 3.14 Kelemahan Penanganan Gepeng di Kota Walaupun pemerintah di (Kota Denapasar, Kabupaten Gianyar, Tabanan dan Buleleng) telah berupaya secara maksimal di dalam menangani Gepeng di wilayahnya masing-masing, namun hasilnya belum maksimal. Kondisi ini terlihat dari adanya Gepeng yang telah ditangkap dan dikembalikan ke desa akan selalu balik kembali untuk melakukan kegiatannya. Malahan selain ditangkap, Gepeng juga dibina, tetapi ternyata setelah dipulangkan mereka balik kembali. Oleh karena itu, terlihat bahwa penanganan Gepeng belum efektif. BAB III PENUTUP 4. Kesimpulan Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan seperti yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bebrapa hal, di antaranya adalah sebagai berikut 1. Beberapa faktor penyebab terjadinya Gepeng ádalah faktor internal, yaitu individu dan keluarga Gepeng serta masyarakat , dan eksternal masyarakat, yaitu di kota-kota tujuan aktivitas Gepeng. Faktor-faktor penyebab ini dapat terjadi secara parsial dan juga secara bersama-sama atau saling mempengaruhi antara satu faktor dengan faktor yang lainnya; 2. Faktor internal dan keluarga yang dimaksudkan ádalah suatu keadaan di dalam diri individu dan keluarga Gepeng yang mendorong mereka untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis. Faktor-faktor tersebut ádalah : (i) kemiskinan individu dan keluarga; yang mencakup penguasaan lahan yang terbatas dan tidak produktif, keterbatasan penguasaan aset produktif, keterbatasan penguasaan modal usaha; (ii) umur; (iii) rendahnya tingkat pendidikan formal; (iv) ijin orang tua; (v) rendahnya tingkat ketrampilan (“life skill”) untuk kegiatan produktif; (vi) sikap mental; dan 3. Faktor-faktor eksternal mencakup: (i) kondisi hidrologis; (ii) kondisi pertanian; (iii) kondisi prasarana dan sarana fisik; (iv) akses terhadap informasi dan modal usaha; (v) kondisi permisif masyarakat di kota; (vi) kelemahan pananganan Gepeng di kota. 4.1 Saran dan Rekomendasi Penanganan masalah Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) di Bali tidak dapat dilepaskan dari penanganan kemiskinan itu sendiri, terutama jika dilihat dari sudut pandang daerah asal Gepeng. Memang, kemiskinan bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya kegiatan menggelandangan dan mengemis tetapi bisa juga menjadi akar penyebab. Oleh karena itu, beberapa alternatif pemecahan masalah yang berkenaan dengan penanganan Gepeng dapat ditinjau dari dua aspek yaitu: (i) kondisi di daerah asal; (ii) kondisi di luar daerah asal. Prinsipnya adalah upaya pencegahan dilakukan di daerah asal sehingga mereka tidak terdorong untuk meninggalkan desanya dan mencari penghasilan di kota dengan cara mengemis. Sedangkan di sisi lain, prinsipnya adalah penanggulangan yaitu di tempat tujuan (di Kota Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja). Gepeng yang beroperasi di empat kota tersebut “harus” ditanggulangi atau ditangani sehingga mereka tidak lagi tertarik untuk menjadi Gepeng di kota, karena tidak akan memperoleh penghasilan lagi. DAFTAR PUSTAKA Ali, Marpuji, dkk. (1990). “Gelandangan di Kertasura”. Surakarta: Monografi 3 Lembaga Penelitian Universitas Muhamadiyah. Alkotsar, Artidjo (1984). Advokasi Anak Jalanan”. Jakarta: Rajawali. Anonimus (1980). “Peraturan Pemerintah No. 31/1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Jakarta. Iqbali, Saptono. (2005). “Gelandangan-Pengemis (GEPENG) di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem”. Denpasar: Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Udayana. Rajab, Budi, (1996). “Persoalan Kemiskinan dalam orientasi Kebijaksanaan Pembangunan”, Bandung: Majalah Ilmiah PDP Unpad Prakarsa Suparlan, Parsudi (1984). “Gelandangan: Sebuah Konsekuensi Perkembangan Kota, dalam Gelandangan pandangan Ilmu Sosial”. Jakarta: LP3ES.
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Hakekatnya, pembangunan ekonomi di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas kesempatan kerja dan kesempatan peluang berusaha, meningkatkan pemerataan pendapatan masyarakat serta meningkatkan hubungan antar daerah. Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan bermuara pada manusia sebagai insan yang harus dibangun kehidupannya dan sekaligus merupakan sumberdaya pembangunan yang harus terus ditingkatkan kualitas dan kemampuannya untuk mengangkat harkat dan martabatnya (Chambers, 1983). Kota Denpasar dan kota-kota lainnya di Bali tumbuh juga secara baik dan bahkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Salah satu persoalan yang muncul adalah kesenjangan atau ketimpangan yang semakin besar dalam pembagian pendapatan antara berbagai golongan pendapatan, antara daerah perkotaan dan pedesaan. Ini berarti juga bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat belum berhasil untuk menanggulangi masalah kemiskinan, seperti pengangguran dan masalah sosial-ekonomi lainnya, seperti gelandangan dan pengemis. Tetapi, arus urbanisasi, khususnya yang menuju Kota Denpasar dan kota-kota lainnya seperti Gianyar, Tabanan dan Singaraja semakin besar seiring dengan pertumbuhan ekonomi regional. Kota Denpasar yang sebagai Ibukota Provinsi Bali menjadi daerah yang “subur” bagi penduduk untuk mendapatkan pekerjaan. Di sisi lain, kesempatan kerja yang tersedia dan peluang berusaha di Kota Denpasar termasuk kota-kota lainnya di Bali (seperti Gianyar, Tabanan dan Singaraja) ternyata tidak mampu menampung pelaku-pelaku urbanisasi karena keterbatasan keterampilan yang dimiliki di daerah asal. Apalagi mereka yang melakukan urbanisasi tidak memiliki keterampilan tertentu yang dibutuhkan dan sengaja untuk melakukan kegiatan sebagai gelandangan dan pengemis. Akibatnya, mereka yang dengan sengaja untuk menjadi gelandangan dan pengemis (Gepeng) di kota-kota seperti Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja akan semakin menjadi ”sosok” yang sangat tidak dibutuhkan karena dirasakan mengganggu ketertiban dan keamanan di jalanan termasuk dibeberapa permukiman. BAB II PEMBAHASAN 2. Pengertian Gelandangan dan Pengemis Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan, pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. (Anon., 1980). Humaidi, (2003) menyatakan bahwa gelandangan berasal dari kata gelandang yang berarti selalu mengembara, atau berkelana (lelana). Menurut Muthalib dan Sudjarwo (dalam IqBali, 2005) diberikan tiga gambaran umum gelandangan, yaitu (1) sekelompok orang miskin atau dimiskinkan oleh masyaratnya, (2) orang yang disingkirkan dari kehidupan khalayak ramai, dan (3) orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan. Ali, dkk., (1990) juga menggambarkan mata pencaharian gelandangan di Kartasura seperti pemulung, peminta-minta, tukang semir sepatu, tukang becak, penjaja makanan, dan pengamen. Harth (1973) mengemukakan bahwa dari kesempatan memperoleh penghasilan yang sah, pengemis dan gelandangan termasuk pekerja sektor informal. Sementara itu, Breman (1980) mengusulkan agar dibedakan tiga kelompok pekerja dalam analisis terhadap kelas sosial di kota, yaitu (1) kelompok yang berusaha sendiri dengan modal dan memiliki ketrampilan; (2) kelompok buruh pada usaha kecil dan kelompok yang berusaha sendiri dengan modal sangat sedikit atau bahkan tanpa modal; dan (3) kelompok miskin yang kegiatannya mirip gelandangan dan pengemis. Sementara itu Alkostar (1984) dalam penelitiannya tentang kehidupan gelandangan melihat bahwa terjadinya gelandangan dan pengemis dapat dibedakan menjadi dua faktor penyebab, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi sifat-sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat fisik ataupun cacat psikis. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor sosial, kultural, ekonomi, pendidikan, lingkungan, agama dan letak geografis. 2.1 Kemiskinan Hall dan Midgley (2004), menyatakan kemiskinan dapat didefenisikan sebagai kondisi deprivasi materi dan sosial yang menyebabkan individu hidup di bawah standar kehidupan yang layak, atau kondisi di mana individu mengalami deprivasi relatif dibandingkan dengan individu yang lainnya dalam masyarakat. Juga, kemiskinan didefenisikan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial (Friedmann, 1979). Kemiskinan merupakan suatu ketidaksanggupan seseorang untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan keperluan-keperluan materialnya (Oscar, dalam Suparlan, 1984). Dalam proses dinamikanya, budaya kemiskinan ini selanjutnya menjadi kondisi yang memperkuat kemiskinan itu sendiri. Keadaan tersebut di atas memberikan indikasi bahwa kemiskinan merupakan penyebab dan sekaligus dampak, dimana masing-masing faktor penyebab sekaligus dampak untuk dan dari faktor-faktor lainnya atau penyebab sirkuler (Rajab, 1996). Sementara itu, Harris (1984) mengatakan bahwa kemiskinan disebabkan karena keterbatasan faktor-faktor geografis (daerahnya terpencil atau terisolasi, dan terbatasanya prasarana dan sarana), ekologi (keadaan sumber daya tanah/lahan, dan air serta cuaca yang tidak mendukung), teknologi (kesederhanaan sistem teknologi untuk berproduksi), dan pertumbuhan penduduk yang tinggi dibandingkan dengan tingkat penghasilannya. Chambers (1983) mengemukakan bahwa sebenarnya orang-orang miskin tidaklah malas, fatalistik, boros, dungu dan bodoh, tetapi mereka sebenarnya adalah pekerja keras, cerdik dan ulet. Argumennya dilandasi bahwa mereka memiliki sifat-sifat tersebut karena untuk dapat mempertahankan hidupnya dan melepaskan diri dari belenggu rantai kemiskinan. 3. Penyebab Terjadinya Gelandangan dan Pengemis Berdasarkan pada hasil survai dan pengamatan langsung di lokasi penelitian, yaitu di empat kota (Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja), serta observasi di lokasi daerah asal, yaitu Munti Gunung dan sekitarnya, diperoleh beberapa faktor penyebab terjadinya Gelandangan dan Pengemis (Gepeng). Beberapa faktor penyebab tersebut di antaranya ádalah faktor yang ada di internal individu dan keluarga Gepeng, internal masyarakat, dan eksternal masyarakat, yaitu di kota-kota tujuan aktivitas Gepeng. Faktor-faktor penyebab ini dapat terjadi secara parsial dan juga secara bersama-sama atau saling mempengaruhi antara satu faktor dengan faktor yang lainnya. 3.1 Faktor Internal Faktor internal dan keluarga yang dimaksudkan ádalah suatu keadaan di dalam diri individu dan keluarga Gepeng yang mendorong mereka untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis. Faktor-faktor tersebut diuraikan secara ringkas berikut ini. 3.2 Kemiskinan Individu dan Keluarga Melalui penelitian yang dilakukan ternyata kemiskinan individu termasuk salah satu faktor yang menentukan terjadinya kegiatan menggelandang dan mengemis. Kondisi ini tercermin dari informasi yang diperoleh bahwa rata-rata penguasaan lahan Gepeng dan keluarganya adalah relatif sempit, yaitu 38,23 are, dengan interval antara 20-60 are. Terbatasnya penguasaan lahan diperburuk lagi oleh kondisi lahan yang tandus, kritis dan kurangnya ketersediaan air, kecuali saat musim hujan mengakibatkan mereka tidak dapat mengusahakan lahannya sepanjang tahun. Oleh karena itu, pada saat musim kemarau Gepeng dan keluarganya mencari penghasilan ke kota (Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja) hanya untu memenuhi kebutuhan yang paling mendasar, yaitu kebutuhan pangan. Dengan demikian, kesulitan memperoleh penghasilan dari lahan pertanian yang dikuasainya mendorong mereka untuk meninggalkan desanya dan terpaksa harus mencari penghasilan dengan cara-cara yang mudah dan tanpa memerlukan ketrampilan, yaitu menjadi Gepeng. 3.3 Umur Ternyata faktor umur memberikan pengaruh yang cukup signifikan, dimana sebagian terbesar (sekitar 74,32 %) dari gelandangan dan pengemis yang ditemui adalah berusia yang masih sangat muda, yaitu kurang dari 13 tahun. Berdasarkan pada wawancara dengan mereka diketahui bahwa faktor umur yang masih muda ini memberikan peluang bagi mereka untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis karena tiadanya memikirkan rasa malu yang terlalu kuat. Bahkan mereka (anak-anak) terlihat riang berlari-lari dan bercanda dengan temannya saat menggepeng. Kondisi ini sangat berbeda atau berbanding terbalik dengan mereka yang telah menginjak usia remaja. Hal ini, tercermin dari hasil penelitian bahwa Gepeng yang berusia antara 15 – 40 tahun tidak ditemukan di empat kota yang menjadi lokasi studi. Hal yang menarik juga terlihat dari penelitian ini, yaitu tidak ditemukannya Gepeng yang berusia 15-40 tahun dan berjenis kelamin laki-laki. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa laki-laki yang sudah dewasa sudah merasa tidak pantas lagi menjadi Gepeng karena malu. Selain itu, diperoleh informasi juga bahwa mereka yang berusia remaja telah beralih fungsi pekerjaan menjadi buruh, kuli, pembantu rumah tangga, tukang, termasuk buruh tani, khususnya pada musim-musim panen cengkeh di Kabupaten Buleleng. Sementara itu, hasil penelitian menunjukkan juga bahwa kaum perempuan berumur lebih dari 40 tahun sepertinya memberikan peluang yang lebih besar untuk memperoleh ”belas kasihan” dari penduduk kota. Kondisi tersebut sangat wajar jika dikaji lebih lanjut dimana mereka akan mendapat beberapa keuntungan, di antaranya adalah sebagai berikut: (i) calon pemberi uang akan iba melihat seorang ibu dengan anak kecil yang digendongnya; (ii) uang yang diperoleh akan lebih banyak, selain terkadang mereka diberikan juga makanan, khususnya untuk anak yang digendongnya. 3.4 Pendidikan Formal Berkenaan dengan faktor umur tersebut di atas, ternyata faktor pendidikan juga turut mempengaruhi responden untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis. Pada tingkat umur yang masih terkategori anak-anak, semestinya mereka sedang mengikuti kegiatan pendidikan formal di sekolah. Namun, mereka memilih menjadi Gepeng dibandingkan bersekolah karena tidak memiliki kemampuan finansial untuk kebutuhan sekolah sebagai akibat dari kemiskinan orang tua. Tidak berpendidikannya responden menyebabkan mereka tidak memperoleh pengetahuan atau pemahaman tentang budi pekerti, agama dan ilmu pengetahuan lainnya yang mampu menggugah hati mereka untuk tidak melakukan kegiatan sebagai Gepeng. 3.5 Ijin Orang Tua Seluruh anak-anak yang melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka telah mendapat ijin dari orang tuanya dan bahkan disuruh oleh orang tuanya. Melalui wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat di desa, alasan tersebut di atas juga dibenarkan mengingat kondisi sosial ekonomi orang tua anak-anak yang menjadi Gepeng di dusun tergolong sangat miskin. Sehingga pada musim kemarau, mereka ”terpaksa” membiarkan anaknya dan ”menyuruh” anaknya untuk ikut mencari penghasilan guna membantu memenuhi kebutuhan rumah tangganya. 3.6 Rendahnya Ketrampilan Hasil wawancara terhadap seluruh Gepeng yang beroperasi di Kota Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja tidak memiliki ketrampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Kondisi ini sangat wajar terjadi karena sebagian terbesar dari mereka adalah masih berusia yang belia atau muda. Semestinya mereka sedang menikmati kegiatan akademik atau di dunia pendidikan. Sementara mereka yang tergolong umur relatif lebih tua dan berjenis kelamin perempuan sejak muda tidak pernah memperoleh pendidikan ketrampilan di desa. Oleh karena itu, kegiatan menggelandang dan mengemis adalah pilihan yang paling gampang untuk dilaksanakan guna memperoleh penghasilan secara mudah. Tetapi menurut mereka, mengemis itu terkadang agak sulit untuk memperoleh uang karena harus berkeliling dan mencoba serta mencoba untuk meinta-minta, dimana tidak semua calon pemberi sedekah langsung memberikannya, dan bahkan tidak memperdulikannya. 3.7 Sikap Mental Kondisi ini terjadi karena di pikiran para Gepeng muncul kecendrungan bahwa pekerjaan yang dilakukannya tersebut adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, selayaknya pekerjaan lain yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan. Ketiadaan sumber-sumber penghasilan dan keterbatasan penguasaan prasarana dan sarana produktif, serta terbatasnya ketrampilan menyebabkan mereka menjadikan mengemis sebagai suatu pekerjaan. Atau dengan kata lain, mereka mengatakan juga bahwa tiada jalan lain selain mengemis untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, sikap mental yang malas ini juga didorong oleh lemahnya kontrol warga masyarakat lainnya atau adanya kesan permisif terhadap kegiatan menggelandang dan mengemis yang dilakukan oleh warga karena keadaan ekonomi mereka yang sangat terbatas. Sementara di sisi lain, belum dimilikinya solusi yang tepat dalam jangka pendek bagi mereka yang menjadi Gepeng. Keadaan yang demikian ini juga turut memunculkan dan sedikit menjaga adanya budaya mengemis yang terjadi. 3.8 Faktor Eksternal/Lingkungan Pada penelitian ini, faktor lingkungan yang dimaksudkan adalah beberapa faktor yang berada di sekeliling atau sekitar responden baik yang di daerah asal maupun di daerah tujuan. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah: (i) kondisi hidrologis; (ii) kondisi pertanian; (iii) kondisi prasarana dan sarana fisik; (iv) akses terhadap informasi dan modal usaha; (v) kondisi permisif masyarakat di kota; (vi) kelemahan pananganan Gepeng di kota. 3.9 Kondisi Hidrologis Mempersoalkan kondisi hidrologis di Dusun Munti Gunung, sepertinya tidak dapat dilepaskan juga dari kondisi yang sama di desa-desa yang berada di wilayah Kecamatan Kubu, dimana faktor air merupakan faktor utama sebagai pembatas dalam aktivitas warga. Hanya beberapa wilayah yang berada di dekat pesisir yang dapat memperoleh air sepanjang tahun karena pemerintah melalui Dinas Pekerjaan Umum telah membangun sumur-sumur bor dan dilengkapi dengan prasarananya, seperti mesin pompa dan instalasi pipa-pipa. Secara alamiah Dusun Munti Gunung termasuk daerah yang sangat gersang dan tandus sebagai akibat dari keterbatasan ketersediaan air. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena fakta membuktikan curah hujan yang rendah dan musim kemarau yang panjang. Pada musim ini, mereka yang tergolong miskin sangat kesulitan untuk memperoleh air yang dimanfaatkan untuk kebutuhan air minum dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Kondisi inilah yang kemudian mendorong bagi warga masyarakat yang miskin dengan ”terpaksa” harus keluar dari dusunnya untuk mencari penghasilan karena pada periode musim kemarau tersebut mereka tidak dapat melakukan aktivitas ekonomis. Perlu diketahui juga bahwa, sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah pertanian. 3.10 Kondisi Pertanian Secara topografis, Dusun Munti Gunung memiliki kondisi yang kurang mendukung jika dihubungkan dengan pengelolaan usahatani atau pembangunan pertanian (termasuk ternak) di lahan kering. Topografinya adalah berbukit atau bergunung ditambah dengan ketiadaan teknologi budidaya pertanian menjadikan penduduk termasuk Gepeng dan keluarganya tidak mampu mengelola lahannya. Apalagi keadaan hidrologisnya sangat tidak mendukung untuk kegiatan pertanian. Penguasaan teknologi pertanian yang terbatas sangat memperparah pengelolaan usahatani di desa. Mereka umumnya menanam tanaman palawija (kacang-kacangan dan umbi-umbian) yang tidak memerlukan banyak air irigasi. Pengunaan bibit, pemupupukan termasuk penanganan hama dan penyakit dapat dikatakan sangat rendah kualitasnya sehingga produktivitas yang dihasilkan juga menjadi rendah. Kondisi yang demikian inilah selanjutnya mengakibatkan mereka memperoleh penghasilan/pendapatan yang rendah, sementara kebutuhan hidup keluarga Gepeng termasuk penduduk lainnya semakin tinggi. Oleh karena itu, terbatasnya sumber dan besarnya pendapatan mendorong mereka untuk keluar dari dusun guna mencari penghasilan di kota. 3.11 Kondisi Prasarana Fisik Keadaan topografis Dusun Munti Gunung yang berbukit dan secara geografis termasuk terisolasi mengakibatkan pembangunan prasarana fisik seperti jalan, pasar, sekolah, air bersih adalah sangat terbatas. Prasarana transportasi sebagai salah satu prasarana yang pokok, seperti jalan darat baik yang menghubungkan antar dusun maupun di dalam dusun relatif belum bagus, yaitu sebagian besar merupakan jalan yang tidak beraspal atau merupakan jalan “geladag” (yang hanya diperkeras) atau jalan tanah. Seperti telah disebutkan di depan bahwa sebesar 70 % dari panjang jalan sekitar 18,50 km jalan yang ada di wilayah Dusun Munti Gunung merupakan jalan tanah. Rendahnya kualitas jalan menyebabkan terjadinya inefisiensi di dalam kegiatan transportasi sehingga mengakibatkan penghasilan yang diperoleh dari kegiatan ekonomis menjadi relatif rendah. Penghasilan yang kecil ini tampaknya juga mendorong mereka meninggalkan dusunnya untuk mencari pekerjaan di luar desa, seperti menggelandang dan mengemis. Prasarana lainnya yang terbatas adalah prasarana air bersih, dimana mereka hanya membangun bak-bak penampungan air yang disebut dengan cubang baik yang dikelola secara kolektif selain secara individual yang berfungsi untuk menampung air hujan. Sebagai penduduk di bawah garis kemiskinan di desa, mereka tertarik mendapatkan uang di kota. ”Kota sebagai tempat mengadu nasib dianggap sebagai faktor penarik hijrahnya orang dari desa ke kota. 3.12 Terbatasnya Akses Informasi dan Modal Usaha Warga Dusun Munti Gunung memiliki keterbatasan di dalam mengakses informasi baik yang berkenaan dengan berbagai aspek ekonomi produktif, sosial maupun aspek lainnya. Keterbatasan dalam mengakses informasi ini juga diperparah oleh keterbatasan pemilikan prasarana media, seperti televisi, koran dan lain sebagainya. Ternyata, keterbatasan ini diakibatkan juga oleh belum masuknya jaringan listrik secara meluas di Dusun Munti Gunung. Akses lainnya yang sulit untuk diperoleh adalah modal usaha. Kesulitan ini diakibatkan karena perolehan modal usaha memerlukan berberapa syarat yang sangat sulit untuk dipenuhi oleh warga dusun, termausk keluarga Gepeng. Syarat utama yang dibutuhkan adalah adanya agunan yang berupa sertifikat tanah. Warga dusun dan keluarga Gepeng tidak berani menyerahkan sertifikat tanahnya sebagai agunan karena mereka tidak mau mengambil resko terburuk, yaitu tanahnya disita jika usahanya tidak berhasil. 3.13 Kondisi Permisif di Kota Tujuan Sikap permisif masyarakat di Kota (Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja) terlihat dari adanya sikap yang memberi bila ada Gepeng yang mendekatinya, baik yang ke rumah, di pinggir jalan, di warung dan lain sebagainya. Rasa kasihan, kepedulian dan berbagi antar sesama umat yang merupakan ajaran moralitas mengakibatkan warga kota memberikan sedekahnya kepada Gepeng. 3.14 Kelemahan Penanganan Gepeng di Kota Walaupun pemerintah di (Kota Denapasar, Kabupaten Gianyar, Tabanan dan Buleleng) telah berupaya secara maksimal di dalam menangani Gepeng di wilayahnya masing-masing, namun hasilnya belum maksimal. Kondisi ini terlihat dari adanya Gepeng yang telah ditangkap dan dikembalikan ke desa akan selalu balik kembali untuk melakukan kegiatannya. Malahan selain ditangkap, Gepeng juga dibina, tetapi ternyata setelah dipulangkan mereka balik kembali. Oleh karena itu, terlihat bahwa penanganan Gepeng belum efektif. BAB III PENUTUP 4. Kesimpulan Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan seperti yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bebrapa hal, di antaranya adalah sebagai berikut 1. Beberapa faktor penyebab terjadinya Gepeng ádalah faktor internal, yaitu individu dan keluarga Gepeng serta masyarakat , dan eksternal masyarakat, yaitu di kota-kota tujuan aktivitas Gepeng. Faktor-faktor penyebab ini dapat terjadi secara parsial dan juga secara bersama-sama atau saling mempengaruhi antara satu faktor dengan faktor yang lainnya; 2. Faktor internal dan keluarga yang dimaksudkan ádalah suatu keadaan di dalam diri individu dan keluarga Gepeng yang mendorong mereka untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis. Faktor-faktor tersebut ádalah : (i) kemiskinan individu dan keluarga; yang mencakup penguasaan lahan yang terbatas dan tidak produktif, keterbatasan penguasaan aset produktif, keterbatasan penguasaan modal usaha; (ii) umur; (iii) rendahnya tingkat pendidikan formal; (iv) ijin orang tua; (v) rendahnya tingkat ketrampilan (“life skill”) untuk kegiatan produktif; (vi) sikap mental; dan 3. Faktor-faktor eksternal mencakup: (i) kondisi hidrologis; (ii) kondisi pertanian; (iii) kondisi prasarana dan sarana fisik; (iv) akses terhadap informasi dan modal usaha; (v) kondisi permisif masyarakat di kota; (vi) kelemahan pananganan Gepeng di kota. 4.1 Saran dan Rekomendasi Penanganan masalah Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) di Bali tidak dapat dilepaskan dari penanganan kemiskinan itu sendiri, terutama jika dilihat dari sudut pandang daerah asal Gepeng. Memang, kemiskinan bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya kegiatan menggelandangan dan mengemis tetapi bisa juga menjadi akar penyebab. Oleh karena itu, beberapa alternatif pemecahan masalah yang berkenaan dengan penanganan Gepeng dapat ditinjau dari dua aspek yaitu: (i) kondisi di daerah asal; (ii) kondisi di luar daerah asal. Prinsipnya adalah upaya pencegahan dilakukan di daerah asal sehingga mereka tidak terdorong untuk meninggalkan desanya dan mencari penghasilan di kota dengan cara mengemis. Sedangkan di sisi lain, prinsipnya adalah penanggulangan yaitu di tempat tujuan (di Kota Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja). Gepeng yang beroperasi di empat kota tersebut “harus” ditanggulangi atau ditangani sehingga mereka tidak lagi tertarik untuk menjadi Gepeng di kota, karena tidak akan memperoleh penghasilan lagi. DAFTAR PUSTAKA Ali, Marpuji, dkk. (1990). “Gelandangan di Kertasura”. Surakarta: Monografi 3 Lembaga Penelitian Universitas Muhamadiyah. Alkotsar, Artidjo (1984). Advokasi Anak Jalanan”. Jakarta: Rajawali. Anonimus (1980). “Peraturan Pemerintah No. 31/1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Jakarta. Iqbali, Saptono. (2005). “Gelandangan-Pengemis (GEPENG) di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem”. Denpasar: Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Udayana. Rajab, Budi, (1996). “Persoalan Kemiskinan dalam orientasi Kebijaksanaan Pembangunan”, Bandung: Majalah Ilmiah PDP Unpad Prakarsa Suparlan, Parsudi (1984). “Gelandangan: Sebuah Konsekuensi Perkembangan Kota, dalam Gelandangan pandangan Ilmu Sosial”. Jakarta: LP3ES.