Halaman

Jumat, 17 Agustus 2012

arti Sahabat

Arti Sahabat…
Sahabat…
yaph sahabat or sohib,
seberapa pentingkah mereka untuk kita???
kalo buatq, sebuah persahabatan itu penting banget…
secara pada daasarnya kita itu adalah mahkluk sosial dimana kita ini butuh bersosialisasi
b butuh untuk berkumbul, namun, disisi yang laen kita itu adalah juga termasuk mahluk EGO.
jika EGO (individualisme) yang lebih dominan, maka munculah sikap EGOISME.
Existensi sahabat, dapat membantu kita untuk mengurangi rasa EGOISME. Dimana kita mengerti akan
adanya kebutuhan untuk saling mendengar dan didengar. saling berbagi saling berdekatan. dan bahkan bisa juga terjadi
saling "tengkar" dan ini yang membuat persahabatan itu menjadi penting dan dapat
membuat hidup kita lebih dinamis.
Secara Teoritis, sahabat adalah orang yang bisa meneerima kamu apa adanya, saat kamu benar ia akan mendukungmu…
saat kamu salah ia akan memberitahumu, menyalahkanmu..
"menyalahkan kesalahanmu,TETAPI BUKAN hidupmu" dan ia nggak akan nge-cap kamu akan kesalahanmu, tapi aia akan memperbaiki hidupmu.
Ia mungkin ahag gak akan selalu ada bersamamau. tapi ia bisa menjadi norang pertama yang siap
n iklhas kalo kamu hubungi kapanpun dan dimanapun keberadaanya. Dia yang mebuat kita sanggup untuk
"berdarah-darah" karena berusaha memberlanya, dan membuat kamu rela melakukan pa saja untuk melihat senyumnya kembali mekar.
yah sulit memang.. untuk dilakukan…
aq disini ga punya banyak sahabat. saat q merasakan meraka menjauh, q berpikir bahwa meraka mungkin tak nyaman bersama aQ. n ini membuat q lebih berpikir dan bertanya-tanya
"Apa ada yang salah dalam diriku???"
yang Q tau aQ sangat menghargai pesahabatanq. Tapi apakah penghargaan yang ku berikan udah cukup untuk mereka??? N, parahNya,…
"apakah dia tahu bahwa sebenarnya aQ merasa sangat nyaman ketika bersamanya???"
Hmmmmm….Akhirnya.. aQ menemukan ada kesalahan dalam cara pandangq mengenai sahabat.
aQ n mungkin temen-temen yang laen mungkin menganggap bahwa sahabat itu adalah tempat kita bisa bebas berkeluh kesah apa ajah.
But, pernahkah berpikir, bahwa sahabat itu juga manusia.. yang JUGA membutuhkan t4 berkeluh kesah???
sahabat juga manusia dengan segala keterbatasanya, yang butuh dibahagiakan, butuh dicintai dan dimengerti…
diberi.. juga diterima.. BUKAN HANYA menerima.
Ada Pepatah "Sesuatu akan menjadi sangat berharga saat sudah kehilanganya" nggak harus gitu dulu khan hehe…
kalo udah sampe kehilangan berarti sudah terlambat… kita nggak mungkin untuk mengembalikan nya seperti semula.. so, mulaijlah mencintai apa yang kamu miliki bukan yang kamu ingingi.
shabat, dia bukan dewa, dia bukan superman, dia juga manusia yang sama seperti kita…
mulailah mikir hal2 yang bisa menyenangkan yang mungkin belum kita lakukan untuk sahabat kita..
britahu mereka bahwa kita meresa nyaman dan asik jika berada didekatnya apapun dan bagaimanapun keadaanya.
beritahu merek bahwa kita siap untuk dihubungi kapanpun dan dimanapun hanya untuk mendengarkan
keluh kesahnya "Ini jerawatku kok tambah banyak yah???" atau dan tetap tersenyum karena gerutuan sahabat kita tentang kita
"kamu kok nyebelin banget sih ???"

Intelektual Diujung Tanduk


("Ayo bersatu kalahkan musuh… Satu Komando…Ambil semua perlengkapannya…kita dalam kondisi Siaga 1…")


Bagi teman-teman yang berada di kampus mungkin akhir-akhir ini mendengar kalimat tersebut. Ada apa dengan kalimat diatas, mungkin sudah menjadi rahasia umum bahwa kalimat diatas menandakan adanya suatu aktivas yang ‘sedikit’ geli jika disebutkan dikalangan kampus, ‘TAWURAN’. Tapi untuk memperhalus predikat mahasiswa sebaiknya kita menggunakan kata ‘KOMPETISI’ untuk menggantikan kata ‘ TAWURAN’ (cz penulis tidak terima kalau ‘tawuran’ dilekatkan dengan mahasiswa, walaupun faktanya begitu). Dalam tulisan kali ini kita tidak akan membahas oknum yang benar dan salah, tapi lebih melihat apa akar masalah yang menimbulkan ‘kompetisi’ antar mahasiswa.

Mari kita Sedikit mengingat konsep mahasiswa yang sering diajarkan oleh senior terdahulu ketika PPD-A, LK 1 dan sejenisnya; “Orang-orang yang berada di dalam kampus adalah orang-orang yang akan siap untuk melakukan suatu perubahan. Bahkan dalam kehidupan bermasyarakat, sering mengharapkan adanya suatu perubahan ditengah-tengah mereka dari kaum intelektual ini, karena mereka menganggap bahwa kampus adalah sebagai sarana dalam mengembangkan diri dan berbagai kreativitas untuk menciptakan ilmu pengetahuan dan wawasan yang lebih baik. Kampus adalah aset besar yang selalu dijadikan sebagai lahan perubahan dan kemajuan suatu bangsa. Banyak orang mengatakan, bahwa mahasiswa adalah agent of change atau agen perubahan. Artinya, setiap perubahan yang terjadi di masyarakat, baik perubahan itu parsial ataupun secara total pasti melibatkan para calon intelektual ini”.

‘Kompetisi’ antar mahasiswa untuk zaman ini sudah sangat akut dan terus menggerogoti kehidupan kampus. Inilah bentuk perubahan yang telah dilakukan oleh mahasiswa, perubahan dari kondisi buruk menuju lebih buruk lagi, bukankah itu bisa disebut perubahan. Memang sangat ‘betul’ apa yang diajarkan oleh senior kita bahwa mahasiswa adalah pelopor ‘perubahan’. Sekarang bukan hanya mahasiswa saja, tapi masyarakat mulai mencontohkannya juga. Kalau tidak percaya silakan ‘nongkrong’ didepan TV untuk melihatnya. Kampus adalah miniatur masyarakat, dimasyarakat ada pencuri dikampus juga ada, dimasyarakat ada penjudi dikampus juga ada, dimasyarakat ada koruptor dikampus juga ada, dimasyarakat ada kupu-kupu malam dikampus juga ada ayam kampus dan masih banyak lagi persamaaan-persamaannya. Tapi ingat dikampus ada satu hal yang tidak dimiliki oleh masyarakat sipil biasa, yaitu kampus tempat lahirnya suatu perubahan. Kampuslah menjadi standar moral paling akhir ketika moral suatu bangsa hancur.

Namun faktanya mahasiswa sudah kembali kepada kelompok ‘komunal primitif’ dimana menyelesaikan masalah hanya dengan satu metode yaitu ‘kompetisi’. Lebih anehnya lagi aktivitas ini seakan-akan sudah masuk ‘kalender akademik’ yang kejadiannya ada waktunya. Bahkan ada saja beberapa mahasiswa lama yang ber’dakwah’ bahwa ‘kompetisi’ merupakan ritual penting untuk memperkuat persatuan & solidaritas antar mahasiswa dalam kelompok tertentu (Hentikanlah menyebarkan aliran sesat dikalangan intelektual…cukuplah itu menjadi memori anda wahai mahasiswa lama…tidak perlu lagi menurunkan kepada generasi-generasi anda…berikanlah mereka Hikmah dari semua kejadian yang telah anda alami…bukannya mendorong kaum intelektual untuk melakukan aktivitas itu lagi).

Jika mau menelusuri term ‘Kompetisi’ yang sebenarnya lebih populer terjadi pada tahun 90-an menjadi trade marknya pelajar SMP-SMU, sekarang virus tersebut menjangkiti mahasiswa. Padahal mahasiswa yang identik dengan simbol perubahan intelektual muda, atau bisa disebut agent of change sudah sepantasnya memberikan contoh yang baik bagi bangsa. Apalagi secara historis, peran mahsiswa sangat substansial dalam membangun bangsa ini sejak zaman kemerdekaan hingga reformasi yang semakin terpuruk . Akan tetapi kemahasiswaan itu ternyata begitu mudahnya tercoreng hanya karena emosi, arogansi kekuasaan, kepentingan atau alasan solidaritas serta slogan-slogan ‘kosong lainnya’. Apa yang terjadi dengan mahasiswa kita? Padahal mereka sangat dikenal sebagai manusia rasional, akademis, menyelesaikan masalah secara arif, namun tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat, berulah dengan tindakan irrasional, tanpa berpikir akibat yang ditimbulkannya.

Penyebab terjadinya ‘kompetisi’ antara mahasiswa hanyalah hal-hal yang sepele misalnya saling ledek (baca: calla), efek kalah menang pertandingan olahraga antar fakultas, mengganggu cewek/mahasiswi beda fakultas atau beda universitas, senggolan kecil, tidak sopan saat lewat, efek yel-yel fakultas saat ospek, rebutan atribut warna, menyanyikan lagu pop yang diklaim milik sekelompok mahasiswa padahal lagu itu adalah lagu yang dikomersilkan di masyarakat. Begitu banyak lagi alasan-alasan bodoh dan tidak masuk akal lainnya yang bisa menjadi penyebab ‘kompetisi’. Inilah kemunduran berpikir mahasiswa akibat pengkaderan yang tidak progresif, transformatif & ideologis.

Begitu banyak pembenaran yang dilakukan oleh mahasiswa untuk melakukan aktivitas ini. Mulai dari kelompok yang sedikit ‘idealis’ yaitu untuk membuktikan rasa solidaritas, kelompok ‘pragmatis’ yaitu sekedar menyalurkan stress akibat tekanan akademik hingga kelompok ‘plagiator’ yaitu mencontohkan apa yang telah dilakukan oleh pendahulu-pendahulu kita alias kultur (Brak….). Mungkin kita tidak perlu mengomentri kelompok pragmatis & plagiator, biarkanlah mereka hancur dengan alasannya itu. Tapi untuk kelompok yang sedikit ‘idealis’ yang melakukan aktivitas ‘kompetisi’ atas dasar membangun solidaritas (keren sekali…). Memang kalau dilihat faktanya memang akan muncul ‘rasa solidaritas’ ketika bersama-sama mengalahkan ‘musuh’. Lihat saja semua individu saling bersatu dan bahu membahu serta cepat tanggap dalam merespon musuh yang datang, suasana kerja sama sangat terlihat. Mulai dari penyedia logistik (batu, kayu, dan lainnya) hingga militansinya yang selalu berada didepan untuk terus membakar semangat ‘prajuritnya’ agar tidak henti-hentinya menghujani lawan dengan batu. Kekompakan dan persaudaraan sangat terlihat jelas.

Bagi kawan-kawan mahasiswa yang masih memiliki hati nurani. Persatuan & solidaritas seperti itulah yang kalian inginkan. Solidaritas yang dibangun atas dasar adanya suatu tekanan atau ketertindasan hanyalah solidaritas yang semu, rapuh dan temporer serta menimbulkan kerusakan fisik maupun psikis. Solidaritas seperti itu bisa muncul takkala pola pikir manusia mulai merosot. Ikatan ini terjadi ketika manusia mulai hidup dalam suatu kelompok tertentu. Saat itu, ‘naluri mempertahankan diri’ sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan eksistensinya (baca: ego kelompok), tempat mereka berada dan beraktivitas. Dari sinilah muncul ikatan itu, ikatan yang paling lemah dan rendah nilainya. (maaf mungkin agak sedikit kasar) Ikatan semacam ini muncul dalam dunia hewan serta senantiasa emosional sifatnya. Rasa persaudaraan (kerjasama & solidaritas) muncul ketika ada ancaman dari luar yang hendak menyerang. Tetapi bila suasananya aman dari serangan musuh atau musuh tersebut dapat dilawan dan dipecundangi, sirnlah kekuatan itu. Karena itu, solidaritas seperi itu sangat rendah nilainya.

Ikatan seperti itu tidak layak dijadikan pengikat antar mahasiswa dalam kehidupannya yang penuh dengan nuansa intelektual & ilmiah. Ikatan yang benar untuk mengikat mahasiswa adalah ikatan pemikiran, inilah yang biasa disebut dengan ikatan ideologi. Untuk itu saya mengharapkan lembaga kemahasiswaan untuk melakukan suatu transformsasi model organisasi yang lebih mengarahkan mahasiswa untuk berjalan sesuai dengan fitrahnya.

Melihat gambaran diatas, bangsa Indonesia saat ini memang sedang dalam keadaan benar- benar sakit. Bahkan sakitnya sudah sangat akut dan perlu segera opname. Mahasiswa sebagai kaum intelektual saja sudah tidak mampu menjaga intelektualitasnya dalam menghadapi masalah, apalagi dengan masyarakat awam? Mahasiswa saja tidak mampu memecahkan masalah dengan cara elegan, bagaimana dengan masyarakat awam? Lalu apa yang bisa diharapkan dari para mahasiswa ini?. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pengurus lembaga kedepannya. Berbuatlah dan berkarya…Masa depan bangsa berada ditangan anda wahai kaum Intelek. Selalu optimis dan….KEEP ON FIGHTING TILL THE END.
Saatnya meng’INTELEKTUAL’kan kembali kaum INTELEKTUAL.












(“Berapa SKS kau ambil bro…,” “ 24 SKS fren…”, “kenapa na banyak sekali…saya kira banyak tugas besar dan lab yang ko ambil”. “mau bagaimana lagi…supaya cepat sarjana dan cepat kerja,”. “sessa ko itu nanti, bisa ji ko pelajari semuanya itu dalam 1 semester kah?”.....)


Inilah sepenggal cerita yang sering kita jumpai akhir-akhir ini, ketika pengambilan KRS dimulai. Saat ini, diantara mereka yang masih kuliah di PTN maupun PTS, ‘Cepat lulus’ memang merupakan kata kunci yang sering dikemukakan oleh mahasiswa sekarang dengan alasan yang bermacam-macam, seperti ingin cepat selesai agar tidak terlalu lama di kampus, atau ingin cepat kerja agar bisa membantu orang tua. Tapi alas an yang paling dominan dan sering muncul adalah biaya kuliah yang mahal dan ingin segara kerja menghasilkan uang. Meskipun demikian, mereka tidak dapat menjawab ketika ditanya, “kalau sudah menghasilkan uang lalu mau buat apa?”. Paling-paling, jawaban yang mereka berikan, “ya, paling tidak bisa mengurangi beban orang tua, kasihan kan orang tua kalau harus susah mencari biaya kuliah?”.
Apa pun alasannya, kecenderungan ingin cepat lulus dari bangku kuliah itu menunjukkan bahwa orientasi belajar sekarang memang lebih ke produk atau hasil akhir dan kurang menghargai proses. Padahal, proses mendapatkan ilmu pengetahuan jauh lebih berharga daripada produk pengetahuan itu sendiri. Tidak ada ilmu yang dapat dipetik begitu saja tanpa melalui proses.
Jika kita melihat orang-orang dulu dengan tradisi mencari guru oleh anak-anak muda yang menginjak dewasa untuk mengisi jiwanya dengan belajar kepada seseorang yang dinilai memiliki ilmu. Ilmu yang mereka cari bukanlah ilmu magis atau sihir, melainkan ilmu yang mereka anggap berguna untuk bekal hidup sebagai petani, seperti ilmu mengusir hama, mengusir bala, bencana, dan sejenisnya. Dalam proses pencarian ilmu itu, mereka melalui berbagai tahapan, seperti puasa senin-kamis selama tujuh kali, puasa mutih (tidak makan garam) ngrowot (hanya makan umbi-umbian dan sayur). Setelah itu pada malam ketujuh tidur dihutan, ilmu yang mereka dapatkan dicoba dulu, membawa kayu bakar yang cukup banyak, lalu setelah sampai dirumah diletakkan dengan cara dibanting, dan masih ada tahap-tahap lainnya.
Tahapan demi tahapan dalam proses berguru itu dijalani secara berurutan satu persatu. Bukan berarti kita harus melakukan metode seperti itu untuk mendapat pengetahuan, tapi nilai yang bisa kita ambil adalah kesediaan menjalani tahapan satu demi satu secara berurutan itu adalah proses mencari ilmu. Jadi, mereka menyakini bahwa ilmu hanya dapat diperoleh setelah melalui proses panjang. Ilmu tidak bisa dikuasai begitu saja secara kilat, bila kita cermati proses berguru anak-anak muda kampung itu cukup memakan waktu panjang, ketekunan, kesabaran, ketabahan, keberanian dan perjuangan berat.
Belajar dari orang dulu yang memiliki kemauan belajar yang kuat walaupun belum mempunyai fasilitas pendidikan seperti sekarang ini membuat kita terkesima, namun ketika melihat anak-anak muda (mahasiswa & pelajar) sekarang selalu ingin serba cepat untuk bisa mendapatkan hasil. Mereka tidak mau melewati semua proses yang panjang dan melelahkan, menuntut ketekunan, kesabaran, kerja keras, apalagi perjuangan. Semua ingin serba cepat ibaratnya sekali seduh langsung jadi. Kalau perlu, tidak usah memakai proses sedikit pun, tapi langsung jadi. Ibaratnya bim salabim, abracadabra, vingardium laviosa, jadilah ilmu dan ijasah yang saya nanti-nantikan untuk bekal mencari uang.
Kecenderungan serba instan dalam memperoleh ilmu pengetahuan sekaligus memperlakukan ilmu sebagai proses dan kurang menghargai proses itu, dari hari ke hari semakin kuat. Istilah “instan” yang semula hanya dikenal dalam makanan dan minuman untuk menyebut mie atau susu, secara tiba-tiba menyeruak masuk menjadi kosakata ke dalam segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan mahasiswa. Dalam memperoleh ilmu pengetahuan, mahasiswa inginnya sekali seduh langsung jadi atau langsung dapat. Padahal kenyataannya ilmu pengetahuan tidak seperti mie atau susu instan yang sekali seduh langsung dapat dinikmati.
Istilah belajar ‘sks’ (system kebut semalam), untuk menunjuk para mahasiswa yang suka belajar dan menyelesaikan tugas semalam suntuk setiap kali mau menghadapi ujian atau deadline tugas, tapi setelah itu tidak belajar dan kerja tugas lagi, merupakan cerminan dari kuatnya budaya instan tadi. Tidak mengherankan bila indeks prestasi mahasiswa tersebut menjadi bagus, tapi penguasaan ilmu pengetahuan dalam bidangnya tidak sesuai dengan tingginya nilai IP. Berdasarkan pengalaman beberapa alumni, mereka yang memiliki IP cukup tinggi, rata-rata system pembelajarannya lebih terfokus pada mekanisme pembahasan soal-soal ujian tahun-tahun sebelumnya. Akibatnya, setelah lulus, meskipun nilai IP mereka tinggi, mereka bingung mencari pekerjaan atau tidak menguasai pengetahuan diluar yang mereka pelajari, apalagi tidak punya pengalaman organisasi, lengkaplah gelar kuper.
Bahkan sejujurnya, pengetahuan tidak hanya ditempatkan sebagai produk, tapi sebagai instrument saja, yaitu instrument mencari gelar atau pekerjaan. Tujuan akhir yang ingin dicapai bukan penguasaan ilmu pengetahuan, melainkan selembar ijasah untuk bekal mencari kerja yang menghasilkan uang. Padahal, belajar di institusi pendidikan formal itu sebetulnya proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, pendewasaan diri, pematangan pribadi, berkomunikasi, berorganisasi, dan membangun relasi dengan sesama agar menjadi pribadi yang dewasa, berwawasan luas, berjiwa matang, tidak kuper, kritis, punya ideologi yang kuat, memiliki integritas yang tinggi dan tidak plin-plan.
Belum lagi salah satu fenomena remaja yang khas dan menonjol yaitu lahirnya generasi mall. Mereka menghabiskan waktunya untuk nongkrong-nongkrong di mall-mall sambil mejeng, gossip dan berfantasi tentang kehidupan serba enak dan nyaman. Tragisnya, gaya hidup remaja mall tidak lagi hanya monopoli kaum muda SMA tapi kalangan intelektual sekelas mahasiswa ikut terkena virus generasi mall. Soalnya, jaringan ekonomi kapitalisme begitu dahsyat melakukan ekspansi pembangunan mall ke berbagai pelosok-pelosok negeri ini. Sungguhpun tidak tersedia data kuantitatif dari hasil pemantauan perkembangan gaya hidup remaja mall, namun bila melihat kenyataannya di lapangan menunjukkan kecenderungan terus meningkat. Buktinya, walau jumlah mall yang dibangun semakin banyak, tetap saja selalu dipenuhi kaum remaja yang mejeng (baca: tebar pesona) dengan tujuan yang beragam. Generasi mall kemudian diikuti dengan generasi handphone, yaitu kecendrungan remaja untuk berhaha-ria dengan HP (handphone). Meskipun kondisi ekonomi orang tua sedang krisis, jumlah mereka tetap makin banyak, bahkan cenderung meningkat.
Akibat dari kehadiran generasi ini adalah meningkatnya pola konsumerisme di kalangan remaja sekaligus lahirnya budaya mall; suatu budaya yang mengambil wacana dunia mall; pakaian serba ketat, pocci-pocci, distro (baca:mahal), trendi, suka yang serba instan dan mengembangkan bahasa gaul yang hanya bisa dimengerti oleh kelompok mereka sendiri. Ini konsekuensi logis dari berkembangnya budaya kapitalisme yang serba bebas; sekaligus pencitraan baru, dimana pakaian tidak lagi dilihat secara fungsional, tapi lebih dimaknai pada nilai simboliknya (merek atau harga). Demikian juga pemakaian pada produk lain, seperti HP dan Jam tangan, sebetulnya lebih merupakan simbol modern. HP yang oleh perancangnya dimaksudkan untuk memudahkan komunikasi bagi orang-orang yang sibuk sehingga tidak tentu berada dalam satu tempat yang tetap. Oleh remaja dimaknai sebagai kemodernan, lihat saja banyak HP yang lebih berfungsi sebagai mp3 atau camera dibandingkan komunikasi, itupun jika dipakai komunikasi hanya sms-an atau chat FB yang buang-buang pulsa saja seperti saling ‘gombal’ sampe larut malam. Jam tangan mahal-mahal, tapi datang kuliah atau rapat sering terlambat, kemana-mana bawa HP tapi selalu ingkar janji tanpa memberi keterangan (apalagi kalau disuruh datang rapat).
Inilah kondisi kemahasiswaan kita, sebagai orang yang hidup dizaman sekarang ini tidak sepantasnya kita berdiam diri. Para pendidik kita wajib untuk memikirkan sistem baru untuk membendung bahkan menghilangkan budaya hedonisme ini. Sebagai lembaga kader, hal ini merupakan tantangan besar bagi dept. Pengkaderan untuk melakukan revitalisasi budaya intellectual dan ilmiah mahasiswa dengan mentransformasikan & kristalisasi ideologi ditubuh kader lembaga. (DS)

REVITALISASI PARADIGMA PENGKADERAN MENUJU BUDAYA INTELEKTUAL DAN ILMIAH


Metode Pembelajaran Efektif


Belajar atau pembelajaran adalah merupakan sebuah kegiatan yang wajib kita lakukan dan kita berikan kepada anak-anak kita. Karena ia merupakan kunci sukses unutk menggapai masa depan yang cerah, mempersiapkan generasi bangsa dengan wawasan ilmu pengetahuan yang tinggi. Yang pada akhirnya akan berguna bagi bangsa, negara, dan agama. Melihat peran yang begitu vital, maka menerapkan metode yang efektif dan efisien adalah sebuah keharusan. Dengan harapan proses belajar mengajar akan berjalan menyenakngkan dan tidak membosankan. Di bawah ini adalah beberapa metode pembelajaran efektif, yang mungkin bisa kita persiapkan.
Metode Debat
Metode debat merupakan salah satu metode pembelajaran yang sangat penting untuk meningkatkan kemampuan akademik siswa. Materi ajar dipilih dan disusun menjadi paket pro dan kontra. Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok dan setiap kelompok terdiri dari empat orang. Di dalam kelompoknya, siswa (dua orang mengambil posisi pro dan dua orang lainnya dalam posisi kontra) melakukan perdebatan tentang topik yang ditugaskan. Laporan masing-masing kelompok yang menyangkut kedua posisi pro dan kontra diberikan kepada guru.
Selanjutnya guru dapat mengevaluasi setiap siswa tentang penguasaan materi yang meliputi kedua posisi tersebut dan mengevaluasi seberapa efektif siswa terlibat dalam prosedur debat. Pada dasarnya, agar semua model berhasil seperti yang diharapkan pembelajaran kooperatif, setiap model harus melibatkan materi ajar yang memungkinkan siswa saling membantu dan mendukung ketika mereka belajar materi dan bekerja saling tergantung (interdependen) untuk menyelesaikan tugas. Ketrampilan sosial yang dibutuhkan dalam usaha berkolaborasi harus dipandang penting dalam keberhasilan menyelesaikan tugas kelompok. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada siswa dan peran siswa dapat ditentukan untuk memfasilitasi proses kelompok. Peran tersebut mungkin bermacam-macam menurut tugas, misalnya, peran pencatat (recorder), pembuat kesimpulan (summarizer), pengatur materi (material manager), atau fasilitator dan peran guru bisa sebagai pemonitor proses belajar.
Metode Role Playing
Metode Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang diperankan. Kelebihan metode Role Playing:
Melibatkan seluruh siswa dapat berpartisipasi mempunyai kesempatan untuk memajukan kemampuannya dalam bekerjasama.
1  Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh.
2. Permainan merupakan penemuan yang mudah dan dapat digunakan dalam situasi dan waktu yang berbeda.
3. Guru dapat mengevaluasi pemahaman tiap siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan permainan.
4. Permainan merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak.


Metode Pemecahan Masalah (Problem Solving)
Metode pemecahan masalah (problem solving) adalah penggunaan metode dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah baik itu masalah pribadi atau perorangan maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama. Orientasi pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.
Adapun keunggulan metode problem solving sebagai berikut:
1. Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan.
2. Berpikir dan bertindak kreatif.
3. Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis
4. Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan.
5. Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.
6. Merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat.
7. Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dunia kerja.
Kelemahan metode problem solving sebagai berikut:
1. Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini. Misal terbatasnya alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta akhirnya dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut.
2. Memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metode
pembelajaran yang lain.

Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Problem Based Instruction (PBI) memusatkan pada masalah kehidupannya yang bermakna bagi siswa, peran guru menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog.
Langkah-langkah:
1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan.
Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
2. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang       berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dll.)
3. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah.
4. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.
5. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
Kelebihan:
1. Siswa dilibatkan pada kegiatan belajar sehingga pengetahuannya benar-benar diserapnya dengan baik.
2. Dilatih untuk dapat bekerjasama dengan siswa lain.
3. Dapat memperoleh dari berbagai sumber.
Kekurangan:
1. Untuk siswa yang malas tujuan dari metode tersebut tidak dapat tercapai.
2. Membutuhkan banyak waktu dan dana.
3. Tidak semua mata pelajaran dapat diterapkan dengan metode ini
Cooperative Script
Skrip kooperatif adalah metode belajar dimana siswa bekerja berpasangan dan secara lisan mengikhtisarkan bagian-bagian dari materi yang dipelajari.
Langkah-langkah:
1. Guru membagi siswa untuk berpasangan.
2. Guru membagikan wacana / materi tiap siswa untuk dibaca dan membuat ringkasan.
3. Guru dan siswa menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai pembicara dan siapa yang berperan sebagai pendengar.
4. Pembicara membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan memasukkan ide-ide pokok dalam ringkasannya. Sementara pendengar menyimak / mengoreksi / menunjukkan ide-ide pokok yang kurang lengkap dan membantu mengingat / menghapal ide-ide pokok dengan menghubungkan materi sebelumnya atau dengan materi lainnya.
5. Bertukar peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar dan sebaliknya, serta lakukan seperti di atas.
6. Kesimpulan guru.
7. Penutup.
Kelebihan:
• Melatih pendengaran, ketelitian / kecermatan.
• Setiap siswa mendapat peran.
• Melatih mengungkapkan kesalahan orang lain dengan lisan.
Kekurangan:
 Hanya digunakan untuk mata pelajaran tertentu
• Hanya dilakukan dua orang (tidak melibatkan seluruh kelas sehingga koreksi hanya sebatas pada dua orang tersebut).
Picture and Picture
Picture and Picture adalah suatu metode belajar yang menggunakan gambar dan dipasangkan / diurutkan menjadi urutan logis.
Langkah-langkah:
1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.
2. Menyajikan materi sebagai pengantar.
3. Guru menunjukkan / memperlihatkan gambar-gambar yang berkaitan dengan materi.
4. Guru menunjuk / memanggil siswa secara bergantian memasang / mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis.
5. Guru menanyakan alas an / dasar pemikiran urutan gambar tersebut.
6. Dari alasan / urutan gambar tersebut guru memulai menanamkan konsep / materi sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.
7. Kesimpulan / rangkuman.
Kebaikan:
1. Guru lebih mengetahui kemampuan masing-masing siswa.
2. Melatih berpikir logis dan sistematis.
Kekurangan:
Memakan banyak waktu. Banyak siswa yang pasif.


Numbered Heads Together
Numbered Heads Together adalah suatu metode belajar dimana setiap siswa diberi nomor kemudian dibuat suatu kelompok kemudian secara acak guru memanggil nomor dari siswa.
Langkah-langkah:
1. Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor.
2. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya.
3. Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok dapat mengerjakannya.
4. Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerjasama mereka.
5. Tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain.
6. Kesimpulan.
Kelebihan:
• Setiap siswa menjadi siap semua.
• Dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh.
• Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai.
Kelemahan:
• Kemungkinan nomor yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru.
• Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru

Metode Investigasi Kelompok (Group Investigation)
Metode investigasi kelompok sering dipandang sebagai metode yang paling kompleks dan paling sulit untuk dilaksanakan dalam pembelajaran kooperatif. Metode ini melibatkan siswa sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Metode ini menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam ketrampilan proses kelompok (group process skills). Para guru yang menggunakan metode investigasi kelompok umumnya membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 5 hingga 6 siswa dengan karakteristik yang heterogen. Pembagian kelompok dapat juga didasarkan atas kesenangan berteman atau kesamaan minat terhadap suatu topik tertentu. Para siswa memilih topik yang ingin dipelajari, mengikuti investigasi mendalam terhadap berbagai subtopik yang telah dipilih, kemudian menyiapkan dan menyajikan suatu laporan di depan kelas secara keseluruhan. Adapun deskripsi mengenai langkah-langkah metode investigasi kelompok dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Seleksi topic
Parasiswa memilih berbagai subtopik dalam suatu wilayah masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa selanjutnya diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented groups) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik maupun kemampuan akademik.
b. Merencanakan kerjasama
Parasiswa beserta guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus, tugas dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih dari langkah a) di atas.
c. Implementasi
Parasiswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah
b). Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan ketrampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan.
d. Analisis dan sintesis
Parasiswa menganalisis dan mensintesis berbagai informasi yang diperoleh pada langkah c) dan merencanakan agar dapat diringkaskan dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas.
e. Penyajian hasil akhir
Semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari agar semua siswa dalam kelas saling terlibat dan mencapai suatu perspektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok dikoordinir oleh guru.
f. Evaluasi
Guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa secara individu atau kelompok, atau keduanya.

Metode Jigsaw
Pada dasarnya, dalam model ini guru membagi satuan informasi yang besar menjadi komponen-komponen lebih kecil. Selanjutnya guru membagi siswa ke dalam kelompok belajar kooperatif yang terdiri dari empat orang siswa sehingga setiap anggota bertanggungjawab terhadap penguasaan setiap komponen/subtopik yang ditugaskan guru dengan sebaik-baiknya. Siswa dari masing-masing kelompok yang bertanggungjawab terhadap subtopik yang sama membentuk kelompok lagi yang terdiri dari yang terdiri dari dua atau tiga orang.
Siswa-siswa ini bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya dalam:
a) belajar dan menjadi ahli dalam subtopik bagiannya;
b) merencanakan bagaimana mengajarkan subtopik bagiannya kepada anggota  kelompoknya semula. Setelah itu siswa tersebut kembali lagi ke kelompok masing-masing sebagai “ahli” dalam subtopiknya dan mengajarkan informasi penting dalam subtopik tersebut kepada temannya. Ahli dalam subtopik lainnya juga bertindak serupa. Sehingga seluruh siswa bertanggung jawab untuk menunjukkan penguasaannya terhadap seluruh materi yang ditugaskan oleh guru. Dengan demikian, setiap siswa dalam kelompok harus menguasai topik secara keseluruhan.

Metode Team Games Tournament (TGT)
Pembelajaran kooperatif model TGT adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement.
Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung jawab, kerjasama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar. Ada5 komponen utama dalam komponen utama dalam TGT yaitu:
1. Penyajian kelas
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah, diskusi yang dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas ini siswa harus benar-benar memperhatikan dan memahami materi yang disampaikan guru, karena akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat game karena skor game akan menentukan skor kelompok.
2. Kelompok (team)
Kelompok biasanya terdiri dari 4 sampai 5 orang siswa yang anggotanya heterogen dilihat dari prestasi akademik, jenis kelamin dan ras atau etnik. Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan optimal pada saat game.
3. Game
Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok. Kebanyakan game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan sederhana bernomor. Siswa memilih kartu bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan yang sesuai dengan nomor itu. Siswa yang menjawab benar pertanyaan itu akan mendapat skor. Skor ini yang nantinya dikumpulkan siswa untuk turnamen mingguan.
4. Turnamen
Biasanya turnamen dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap unit setelah guru melakukan presentasi kelas dan kelompok sudah mengerjakan lembar kerja. Turnamen pertama guru membagi siswa ke dalam beberapa meja turnamen. Tiga siswa tertinggi prestasinya dikelompokkan pada meja I, tiga siswa selanjutnya pada meja II dan seterusnya.
5. Team recognize (penghargaan kelompok)
Guru kemudian mengumumkan kelompok yang menang, masing-masing team akan mendapat sertifikat atau hadiah apabila rata-rata skor memenuhi kriteria yang ditentukan. Team mendapat julukan “Super Team” jika rata-rata skor 45 atau lebih, “Great Team” apabila rata-rata mencapai 40-45 dan “Good Team” apabila rata-ratanya 30-40

Model Student Teams – Achievement Divisions (STAD)
Siswa dikelompokkan secara heterogen kemudian siswa yang pandai menjelaskan
anggota lain sampai mengerti.
Langkah-langkah:
1. Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen (campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dll.).
2. Guru menyajikan pelajaran.
3. Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota kelompok. Anggota yang tahu menjelaskan kepada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.
4. Guru memberi kuis / pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak boleh saling membantu.
5. Memberi evaluasi.
6. Penutup.
Kelebihan:
1. Seluruh siswa menjadi lebih siap.
2. Melatih kerjasama dengan baik.
Kekurangan:
1. Anggota kelompok semua mengalami kesulitan.
2. Membedakan siswa.


Model Examples Non Examples
Examples Non Examples adalah metode belajar yang menggunakan contoh-contoh. Contoh-contoh dapat dari kasus / gambar yang relevan dengan KD.
Langkah-langkah:
1. Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran.
2. Guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan lewat OHP.
3. Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan kepada siswa untuk memperhatikan / menganalisa gambar.
4. Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari analisa gambar tersebut dicatat pada kertas.
5. Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya.
6. Mulai dari komentar / hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi sesuai tujuan yang ingin dicapai.
7. Kesimpulan.
Kebaikan:
1. Siswa lebih kritis dalam menganalisa gambar.
2. Siswa mengetahui aplikasi dari materi berupa contoh gambar.
3. Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.
Kekurangan:
1. Tidak semua materi dapat disajikan dalam bentuk gambar.
2. Memakan waktu yang lama.

Model Lesson Study
Lesson Study adalah suatu metode yang dikembangkan di Jepang yang dalam bahasa Jepangnya disebut Jugyokenkyuu. Istilah lesson study sendiri diciptakan oleh Makoto Yoshida.
Lesson Study merupakan suatu proses dalam mengembangkan profesionalitas guru-guru di Jepang dengan jalan menyelidiki/ menguji praktik mengajar mereka agar menjadi lebih
efektif.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
1. Sejumlah guru bekerjasama dalam suatu kelompok. Kerjasama ini meliputi:
a. Perencanaan.
b. Praktek mengajar.
c. Observasi.
d. Refleksi/ kritikan terhadap pembelajaran.
2. Salah satu guru dalam kelompok tersebut melakukan tahap perencanaan yaitu membuat rencana pembelajaran yang matang dilengkapi dengan dasar-dasar teori yang menunjang.
3. Guru yang telah membuat rencana pembelajaran pada (2) kemudian mengajar di kelas sesungguhnya. Berarti tahap praktek mengajar terlaksana.
4. Guru-guru lain dalam kelompok tersebut mengamati proses pembelajaran sambil
mencocokkan rencana pembelajaran yang telah dibuat. Berarti tahap observasi terlalui.
5. Semua guru dalam kelompok termasuk guru yang telah mengajar kemudian bersama-sama mendiskusikan pengamatan mereka terhadap pembelajaran yang telah berlangsung.
Tahap ini merupakan tahap refleksi. Dalam tahap ini juga didiskusikan langkah-langkah
perbaikan untuk pembelajaran berikutnya.
6. Hasil pada (5) selanjutnya diimplementasikan pada kelas/ pembelajaran berikutnya dan
seterusnya kembali ke (2).
Adapun kelebihan metode lesson study sebagai berikut:
- Dapat diterapkan di setiap bidang mulai seni, bahasa, sampai matematika dan olahraga
dan pada setiap tingkatan kelas.
- Dapat dilaksanakan antar/ lintas sekolah.
Baca Juga :

Filsafat

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina.
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah.













BAB II
PEMBAHASAN

B. Pengertian
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
  1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
  2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
  3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistic menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.

Auguste Comte dan Positivisme
Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet).
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat.


Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
  1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta.
  2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
  3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
  4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Comte-pun mengatakan bahwa perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, tahap teologis, kedua, tahap metafisik, ketiga, tahap positif.
1.      Tahap Teologis
Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk selain insani.
Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama, tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme). Kedua, tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala memiliki dewa sendiri-sendiri (polytheisme). Gejala-gejala “suci” dapat disebut “dewa-dewa”, dan “dewa-dewa” ini dapat diatur dalam suatu sistem, sehingga menjadi politeisme dengan spesialisasi. Ada dewa api, dewa lautan, dewa angin, dan seterusnya. Ketiga, adalah tahapan tertinggi, dimana pada tahap ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi (esa), yaitu dalam monotheisme.
Singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.

1.      Tahap Metafisik
Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep “alam”, sebagai asal mula semua gejala.
1.      Tahap Positif
Pada tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari “segala sesuatu” yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu dengan “pengamatan” dan dengan “memakai akalnya”. Pada tahap ini pengertian “menerangkan” berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap positif ini adalah menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum.
Bagi comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi di bidang ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, comte menerangkan bahwa segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikacaukan dengan pemikiran metafisis dan akhirnya dipengaruhi hukum positif. Jelasnya, ketiga tahapan perkembangan umat manusia itu tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku tertentu, akan tetapi juga individu dan ilmu pengetahuan.
Meskipun seluruh ilmu pengetahuan tersebut dalam perkembangannya melalui ketiga macam tahapan tersebut, namun bukan berarti dalam waktu yang bersamaan. Hal demikian dikarenakan segalanya tergantung pada kompleksitas susunan suatu bidang ilmu pengetahuan. Semakin kompleks susunan suatu bidang ilmu pengetahuan tertentu, maka semakin lambat mencapai tahap ketiga.
Lebih jauh Comte berpendapat bahwa pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Di sini, ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongrit. Dengan demikian, maka ada kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu pengetahuan tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.
Demikianlah pandangan Auguste Comte tentang hukum tiga tahapnya, yang pada intinya menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah.  Dalam hal ini Auguste Comte memberikan analog; manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap teologis sehingga dibutuhkan figur dewa-dewa untuk “menerangkan” kenyataan.  Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis.  Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-metode positif dan ilmiah.

C.  Filsafat Materialisme
Materialisme adalah salah satu paham filsafat yang banyak dianut oleh para filosof, seperti Demokritus, Thales, Anaximanoros dan Horaklitos. Paham ini menganggap bahwa materi berada di atas segala-galanya dan biasanya paham ini dihubung-hubungkan dengan teori atomistik yang berpendapat bahwa benda-benda tersusun dari sejumlah unsur. Ketika paham ini pertama muncul, paham tersebut tidak mendapat banyak perhatian karena banyak ahli filsafat yang menganggap bahwa paham ini aneh dan mustahil. Namun pada sekitar abad 19 paham materialisme ini tumbuh subur di Barat karena sudah banyak para filosof yang menganut paham tersebut. Walaupun teori sudah banyak dianut para filosof, teori ini masih banyak ditentang oleh para tokoh agama karena paham ini dianggap tidak mengakui adanya Tuhan dan dianggap tidak dapat melukiskan kenyataan.
Pengertian dan Beberapa Ajaran Materialisme
Materialisme seringkali diartikan sebagai suatu aliran filsafat yang meyakini bahwa tidak ada sesuatu selain materi yang sedang bergerak. Pikiran, roh, kesadaran dan jiwa tidak lain hanyalah materi yang sedang bergerak. Menurut mereka, pikiran memang ada tetapi tak lain disebabkan dan sangat tergantung pada perubahan-perubahan material. Intinya, mereka menganggap bahwa materi berada di atas segala-galanya.
Beberapa pendapat mereka yang lain adalah:
  1. Tidak ada sesuatu yang bersifat non-material separti roh, hantu, setan, malaikat. Pelaku-pelaku immaterial tidak ada.
  2. Tidak ada Tuhan atau dunia adikodrati (supranatural). Realitas satu-satunya adalah materi dan segala sesuatu merupakan manifestasi aktivitas materi.
  3.  Setiap peristiwa mempunyai sebab material, dan penjelasan material tentang semua itu merupakan satu-satunya penjelasan yang tepat.
  4.  Materi dan aktivitasnya bersifat abadi. Tidak ada Sebab Pertama atau Penggerak Pertama.
  5. Bentuk material dari barang-barang dapat diubah, tapi materi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan.
  6. Tidak ada kehidupan yang kekal. Semua gejala berubah, akhirnya melampaui eksistensi yang kembali lagi ke dasar material primordial, abadi dalam suatu peralih-wujudan kembali yang abadi dari materi.

D. Sejarah Perkembangan Materialisme
Pada awalnya, materialisme tidak mendapat banyak perhatian karena dianggap aneh dan mustahil. Baru pada abad pertengahan abad 19, materialisme tumbuh subur sekali di Barat. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan tersebut antara lain:
  1. Orang dengan paham materialisme mempunyai harapan-harapan yang besar atas ilmu pengetahuan.
  2. Paham materialisme berpegang pada kenyataan-kenyataan yang mudah dimengerti, bukan pada dalil-dalil abstrak.
  3. Teori-teorinya jelas berdasarkan teori-teori pengetahuan yang sudah umum.
Namun, paham materialisme banyak ditentang oleh para tokoh agama karena terang-terangan tidak mengakui Tuhan. Seorang anti-materialisme bernama Friedrich Paulsen berkata “Kalau materialisme itu benar, maka segala sesuatu di dunia ini akan dapat diterangkan, termasuk bagaimana atom membentuk teori materialisme itu sendiri yaitu dapat berfikir dan berfilfasaf”. tenyata hal itu sama sekali tak dapat diterangkan oleh kaum materialisme.
Kaum materialisme menyangkal adanya jiwa atau roh, mereka menganggapnya hanya sebagai pancaran materi. Thomas Hobbes (1588-1679), seorang ahli pikir Inggris beralasan bahwa seperti perjalanan yang tidak lepas dari orang yang berjalan, demikian juga gagasan, sebagai sesuatu yang bersifat rohani juga tidak lepas dari organisme yang berpikir, yang mempunyai gagasan. Materialisme pada abad 18 dan 19 seringkali sangat bersifat mekanistis, seperti pernah diutarakan oleh Holbach (1723-1789) bahwa segi manusia yang tidak kelihatan disebut jiwa, sedangkan segi alam yang tidak kelihatan disebut Tuhan.
Materialisme Dialektika.
Di negara-negara komunis, materialisme dialektika merupakan filsafat resmi negara, disingkat menjadi “ diamat ” (dialektika materialisme). Secara singkat, dialektika beranggapan bahwa segala perubahan yang terjadi di alam semesta adalah akibat dari konflik persaingan dan kepentingan pribadi antar kekuatan yang saling bertentangan.
Ahli-ahli pikir yang meletakkan dasar bagi sistem ini adalah Karl Marx (1818-1883) dan Friederich Engels (1820-1895), sedangkan W.E. Lenin mengembangkannya lebih lanjut. Marx dan Engels menggunakan dialektika untuk menjelaskan keseluruhan sejarah dunia. Marx menyatakan bahwa sejarah kemanusiaan senantiasa didasarkan pada konflik, yang terutama antara kaum buruh (proletar) dan masyarakat kelas atas (borjuis). Ia meramalkan bahwa kaum buruh pada akhirnya akan menyadari bahwa harapan satu-satunya untuk mereka adalah bersatu dan melakukan revolusi. Sebelum Marx juga telah ada seorang perintis benama Tschernyschewski (+1889). Sarjana ini melawan dualisme jiwa-badan dengan berpendapat bahwa manusia dapat diterangkan secara tuntas dengan bantuan ilmu kimia dan fisiologi. Yang dianggap sebagai rohani sebenarnya adalah sifat keteraturan dalam organisme yang memberikan reaksi.
Marx Engels dan Lenin juga mengakui bahwa alam rohani mempunyai sifat-sifat khas, tetapi secara dialektika ini tergantung kepada materi. Faham materialisme kuno menjadikan mesin sebagai ukuran untuk menerangkan alam, kehidupan hewani dan manusia. Pendekatan ini tentu tidak memadai karena dunia hendaknya dipandang sebagai suatu proses yang dinamis.
Dalam dialektika alam raya, perkembangan dan penjumlahan kwantitatif pada suatu ketika berbalik secara dialektik dan terjadi suatu perubahan kwantitatif. Lompatan kwantitatif dari energi menjadi unsur kimia. Terus menjadi zat hidup terus lagi menjadi roh merupakan tahap-tahap dialektika dalam alam kebendaan yang dinamis. Tak ada materi tanpa gerak dan dalam perkembangan ini segala sesuatu saling bertalian, tak ada satu gejala yang dapat dimengerti lepas dari gejala-gejala lainnya (lewat abstraksi-abstraksi kita hanya membuat momen-momen saja). Demikianlah teori Hegel diputar dan ditegakkan secara dialektika. Bukan materi yang merupakan hasil dari roh yang berkembang secara dialektika melainkan sebaliknya.
Hegel mengambarkan bagaiman roh mengasingkan diri dari dirinya sendiri karena dalam kenyataan semakin menjadi lahiriah. Hal ini terutama ditampilkannya dalam konsep tentang materi.
\

BAB III
PENUTUP
E. Kesimpulan
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
Materialisme seringkali diartikan sebagai suatu aliran filsafat yang meyakini bahwa tidak ada sesuatu selain materi yang sedang bergerak. Pikiran, roh, kesadaran dan jiwa tidak lain hanyalah materi yang sedang bergerak. Menurut mereka, pikiran memang ada tetapi tak lain disebabkan dan sangat tergantung pada perubahan-perubahan material. Intinya, mereka menganggap bahwa materi berada di atas segala-galanya.








TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB ILMUAN

TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB ILMUAN

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Allah SWT menulis dengan jelas dalam surah Al- Mudattsir ayat 38
Artinya: “Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya” (Qs. Al-Mudatsir:38)

Dari kontek ayat ini, kita tahu bahwa Allah SWT menciptakan manusia dengan segala potensinya memiliki “tugas” untuk tunduk dan patuh terhadap hukum-hukum Allah SWT dan suatu saat nanti pada saat yang ditentukan oleh Allah semua manusia akan diminta pertanggung jawabannya sebagai bukti bahwa manusia sebagai pengemban amanah Allah SWT.

Dalam melakukan misinya, manusia diberi petunjuk bahwa dalam hidup ada dua jalan yaitu, jalan baik dan jalan yang buruk.
Artinya: “ kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. ( kebaikan dan keburukan )”Q.S Al-Balad ( 90 ) ayat 10

Proses menerima petunjuk ini adalah bagaimana manusia mengembangkan kemampuan potensi akal ( ratio ) nya dalam memahami “alam” yang telah diciptakan dan disediakan oleh Allah SWT sebagai saran dan sumber belajar, kemudian ketika “ilmu” sudah dimiliki diharapkan manusia dapat berkarya (beramal) dengan ilmunya untuk terus membina hubungan vertical dan horizontal.

Manusia yang mau mengembangkan potensi akalnya dapat memanfaatkan pengetahuannya tersebut untuk pencerahan dirinya dan memiliki tanggung jawab moral dan menyebarkan kepada sesama, mereka biasa disebut ilmuwan, cendikiawan atau intelektual

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam tugas dan tanggung jawab ilmuan sebagai berikut:
Ilmuwan dan Intelektual:

A. Tanggung Jawab Ilmuwan dan Sosial

B. Intelektual sebagai “ Change Maker “

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran tentang tugas dan tanggung jawab ilmuan. Khususnya dalam dunia pendidikan dan lebih khusus lagi di negeri Indonesia yang tercinta ini.



























BAB II

PEMBAHASAN


A.    Ilmuwan, dan Intelektual

Upaya memberi perbedaan yang tegas dalam mendefinisikan istilah sarjana, ilmuwan, dan intelektual merupakan persoalan yang tidak mudah, sepintas terlihat sama tetapi ketiganya saling berkaitan.

Untuk memahami fungsi dan tugas dari sarjana, Ilmuwan, dan intelektual kita lihat beberapa definisi :

Ø  Definisi Sarjana

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia hal. 785, Sarjana disebutkan sebagai orang pandai ( Ahli Ilmu Pengetahuan ) atau tingkat yang dicapai oleh seseorang yang telah menamatkan pendidikan terakhir di perguruan tinggi.[1]


Ø  Definisi Ilmuwan

Ø Menurut kamus besar Bahasa Indonesia hal. 325, Ilmuwan adalah :

Ø  orang yang ahli,

Ø  orang yang banyak pengetahuan mengetahui suatu ilmu,

Ø  orang yang berkecimpung dalam ilmu pengetahuan

Ø  orang yang bekerja dan mendalami ilmu pengetahuan dengan tekun dan sungguh-sungguh.[2]

  1. Menurut Webster Dictionary, Ilmuwan ( Sciantist ) adalah seorang yang terlibat dalam kegiatan sistematis untuk memperoleh pengetahuan ( ilmu )

  1. Ensiklopedia Islam mengartikan ilmuwan sebagai orang yang ahli dan banyak pengetahuannya dalam suatu atau beberapa bidang ilmu.[3]


Ø  Definisi Intelektual

  • Intelektual berasal dari bahasa Inggris :
“ Having or showing good mental powers and understanding”
( memiliki atau menunjukkan kekuatan-kekuatan mental dan pemahaman yang baik )

  • Intelektual “the power of mind by which we know, reason and think” ( kekuatan pikiran yang dengannya kita mengetahui, menalar dan berfikir).

  • Intelektual adalah seseorang yang memiliki potensi secara actual

  • Intelektual adalah pemikir-pemikir yang memiliki kemampuan penganalisaan terhadap masalah tertentu.

  • Menurut George A. Theodorson dan Archiles G.intelektual adalah masyarakat yang mengabdikan diri kepada pengembangan gagasan orisinil dan terlibat dalam usaha intelektual kreatif.
  • Menurut Shils ( sosiolog barat ) intelektual adalah orang yang terpilih dalam masyarakat yang sering menggunakan symbol symbol bersifat umum dan rujukan abstrak tentang manusia dan masyarakat.

  • Menurut Prof. Ganjar Kurnia Intelektual adalah orang yang memiliki kesadaran tingkat tinggi, istilah Al-Qur’an Ulil Albab

B. Tanggung Jawab Ilmuwan dan Sosial

Ilmuwan merupakan profesi, gelar atau capaian professional yang diberikan masyarakat kepada seorang yang mengabdikan dirinya. Pada kegiatan penelitian ilmiah dalam rangka mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang alam semesta, termasuk fenomena fisika, matematis dan kehidupan social.

Istilah ilmuwan dipakai untuk menyebut aktifitas seseorang untuk menggali permasalahan ilmuwan secara menyeluruh dan mengeluarkan gagasan dalam bentuk ilmiah sebagai bukti hasil kerja mereka kepada dunia dan juga untuk berbagi hasil penyelidikan tersebut kepada masyarakat awam, karena mereka merasa bahwa tanggung jawab itu ada dipundaknya.

Ilmuwan memiliki beberapa ciri yang ditunjukkan oleh cara berfikir yang dianut serta dalam perilaku seorang ilmuwan. Mereka memilih bidang keilmuan sebagai profesi. Untuk itu yang bersangkutan harus tunduk dibawah wibawa ilmu. Karena ilmu merupakan alat yang paling mampu dalam mencari dan mengetahui kebenaran. Seorang ilmuwan tampaknya tidak cukup hanya memiliki daya kritis tinggi atau pun pragmatis, kejujuran, jiwa terbuka dan tekad besar dalam mencari atau menunjukkan kebenaran pada akhirnya, netral, tetapi lebih dari semua itu ialah penghayatan terhadap etika serta moral ilmu dimana manusia dan kehidupan itu harus menjadi pilihan juga sekaligus junjungan utama. Oleh karena itu seorang ilmuwan harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya :

a. Prosedur ilmiah

b. Metode ilmiah

c. Adanya suatu gelar yang berdasarkan pendidikan formal yang ditempuh

d. Kejujuran ilmuwan, yakni suatu kemauan yang besar, ketertarikan pada perkembangan Ilmu Pengetahuan terbaru dalam rangka profesionalitas keilmuannya.

e. Peran dan Fungsi Ilmuwan

1.      Sebagai intektual, seorang ilmuwan sosial dan tetap mempertahankan dialognya yang kontinyu dengan masyarakat sekitar dan suatu keterlibatan yang intensif dan sensitif.

2.      Sebagai ilmuwan, dia akan berusaha memperluas wawasan teoritis dan keterbukaannya kepada kemungkinan dan penemuan baru dalam bidang keahliannya.

3.      Sebagai teknikus, dia tetap menjaga keterampilannya memakai instrument yang tersedia dalam disiplin yang dikuasainya. Dua peran terakhir memungkinkan dia menjaga martabat ilmunya, sedangkan peran pertama mengharuskannya untuk turut menjaga martabat.

Tanggung Jawab Ilmuwan

Tanggung jawab ilmuwan dalam pengembangan ilmu sekurang-kurangnya berdimensi religious atau etis dan social. Pada intinya, dimensi religious atau etis seorang ilmuwan hendaknya tidak melanggar kepatutan yang dituntut darinya berdasarkan etika umum dan etika keilmuan yang ditekuninya. Sedangkan dimensi sosial pengembangan ilmu mewajibkan ilmuwan berlaku jujur, mengakui keterbatasannya bahkan kegagalannya, mengakui temuan orang lain, menjalani prosedur ilmiah tertentu yang sudah disepakati dalam dunia keilmuan atau mengkomunikasikan hal baru dengan para sejawatnya atau kajian pustaka yang sudah ada untuk mendapatkan konfirmasi, menjelaskan hasil-hasil temuannya secara terbuka dan sebenar-benarnya sehingga dapat dimengerti orang lain sebagaimana ia juga memperoleh bahan-bahan dari orang lain guna mendukung teori-teori yang dikembangkannya. Karena tanggung jawab ilmuwan merupakan ikhtiar mulia sehingga seorang ilmuwan tidak mudah tergoda, apalagi tergelincir untuk menyalahgunakan ilmu.
“ Ilmu Pengetahuan tanpa Agama lumpuh Agama tanpa Ilmu Pengetahuan Buta “


C. Intelektual sebagai “ Change Maker “

Intelektual adalah pemikir-pemikir yang memiliki kemampuan penganalisisan terhadap masalah tertentu atau yang potensial dibidangnya. “Change maker” adalah orang yang membuat perubahan atau agar perubahan di dalam masyarakat.

Dengan demikian intelektual memiliki ciri-ciri :

  1. Memiliki ilmu pengetahuan dan ilmu agama yang mampu diteorisasikan dan direalisasikan di tengah masyarakat

  1. Dapat “berbicara” dengan bahasa kaumnya dan mampu menyesuaikan dengan lingkungan.

  1. Mengemban tugas sebagai artikulator

  1. Memiliki tanggung jawab sosial untuk mengubah masyarakat yang statis menjadi masyarakat yang dinamis


Secara khusus, menurut Prof. Quraish Shihab intelektual muslim haruslah memiliki ciri-ciri :
a)      1. Mengingat ( Dzikir ) kepada Allah dalam segala situasi dan kondisi (
b)      surah Fathir 28 dan Assyuaro 197 )
2.  Memikirkan / memperhatikan fenomena alam raya yang pada saatnya member manfaat ganda yaitu memahami tujuan hidup serta memperoleh manfaat dari alam raya untuk kebahagian dan kenyamanan hidup

3. Berusaha dan berkreasi dalam bentuk nyata dengan hasil-hasil dari buah pemikiran dan penelitian untuk mengubah kondisi masyarakat dari zero to hero.[4]

Maka intelektual adalah pemikir yang tidak harus menghasilkan “sebuah” pemikiran tetapi juga dapat merumuskan dan mengarahkan serta memberikan contoh pelaksanaan dari sosialisasinya ditengah masyarakat agar segala persoalan – persoalan kehidupan baik pribadi, masyarakat nasional maupun internasional dapat terpecahkan serta dapat menjawab tantangan-tantangan kehidupan di masa yang akan datang.

Peran “merubah” itulah yang menjadikan fungsi “change maker” seorang intelektual dapat berjalan dengan baik yang dimulai dari dirinya kemudian dimanfaatkan dan disebarkan kepada masyarakat .

Allah SWT memberikan “ “ ( sumber alam ) kemudian diolah dengan “ “ ( teori dan pemikiran ) kemudian dibuktikan dengan “ “ ( karya ) nyata yang bermanfaat buat kehidupan manusia.

Kontribusi bagi kemajuan bangsa

Intelektual adalah golongan masyarakat tentang yang memiliki kecakapan yang kemudian bertugas merumuskan perubahan masyarakat yang akan membawa pada kemajuan bangsa yang maju dan bermartabat. Aspek-aspek yang membawa kemajuan bangsa sangatlah banyak diantaranya :

a. Aspek Idiologi

Intelektual berperan dalam :

v  Memelihara keyakinan dan kebudayaan bangsa

v  Berupaya membangun jaringan-jaringan yang kuat untuk memfilter budaya yang masuk akibat globalisasi

v  Memberikan pemahaman

b. Aspek politik

Kompleksitas masyarakat dan kepentingan-kepentingannya menuntut adanya pemikiran-pemikiran untuk membina dan membangun masyarakat agar tidak terjadi instabilitasi politik sehingga dalam bernegara para intelektual dapat memberikan solusi terhadap problem-problem yang terjadi.

c. Aspek ekonomi

Idealnya bagi bangsa yang maju adalah adanya pembelajaran di sektor ekonomi yang adil dan merata karena keberhasilan ekonomi akan meningkatkan taraf hidup bangsa. Maka para intelek dituntut dengan teorinya dapat merencanakan pertumbuhan ekonomi dengan cermat dan dapat memberikan solusi agar pertumbuhan tersebut berkesinambungan serta tercipta kesetiakawanan agar terhindar dari kecemburuan.

d. Aspek sosial dan budaya

Intelektual dituntut untuk mengerahkan segenap kemampuannya untuk membina masyarakat dan menciptakan harmoni sosial yaitu:

v  Saling menghormati

v  Saling menghargai

v  Saling membantu dan

v  Saling mengisi


e. Aspek pertahanan dan keamanan

Intelektual turut serta membantu masyarakat dalam menandai nilai-nilai dalam kehidupan agar :

v  Tidak mudah terprovokasi hal-hal yang negative

v  Tidak mudah terpengaruh pada faham-faham atau aliran yang menyesatkan.

v  Memiliki rasa tanggung jawab terhadap keutuhan bangsa dengan prinsip bahwa “ hari ini harus lebih baik dari hari kemarin “




















BAB III

KESIMPULAN

Dengan memperhatikan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
  1. Sarjana adalah orang pandai atau ahli ilmu pengetahuan karena sudah mencapai target terakhir dalam pendidikannya di PT.

  1. Ilmuwan adalah sebuah profesi atau gelar dalam cakupan professional karena sudah mengabdiakn dirinya pada kegiatan penelitian ilmiah dalam rangka mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang alam semesta, fenomena fisika, matematis dan kehidupan social.

  1. Intelektual adalah golongan atau kelas masyarakat yang mempunyai kecakapan tertentu dan dengan kecakapannya mereka merumuskan perubahan masyarakat. Sebab itu intelektual dituntut secara terus menerus untuk mendefinisikan kebenaran dan tidak boleh memilih kepentingan-kepentingan praktis kecuali tegaknya kebenaran itu.

  1. Sarjana, ilmuwan, dan intelektual memiliki komitmen yang tinggi untuk membina dan membangun masyarakat. Sebagian tanggung jawab moralnya terhadap keilmuan yang dimiliki serta tanggung jawab perannya sebagai bagian dari masyarakat ( social )

  1. Intelektual dengan kecakapan dan keterampilannya harus mampu merumuskan perubahan masyarakat menuju keadaan yang lebih baik, aktif, dinamis dan bermartabat. Tugas yang diemban ini merupakan bukti bahwa mereka sebagai “change maker” atau orang yang membuat perubahan.

  1. Sebuah bangsa dikatakan maju apabila memiliki ideology yang kuat sehingga tidak mudah goyah oleh serangan-serangan yang dating dari luar, kondisi politik yang sehat, pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat, kondisi social budaya yang kondusif serta memiliki stabilitas dalam pertahanan dan keamanan. Intelektual haruslah mempunyai peran yang penting dalam proses pembangunan bangsa supaya maju dan bermartabat.

DAFTAR PUSTAKA


Al Qur-an dan Terjemhannya, Depag, RI, 2006
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. 1989
Dr. M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an. Mirzan. 1992
Jalaluddin Rakhmat. Islam Alternatif. Mirzan. 1989
Ensiklopedia Islam. Jilid 2. PT. Ichtra Baru Van Hoeve. Jakarta. 1994. Hal 203
Gramsci, Anthonio. Prison Notebooks. Newyork : Penjuin Books.1991
Jalaluddin Rakhmat. Psikologi Agama Sebuah Pengantar. Mizan Pustaka. 2003
Murtadha Muthahhar. Ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan. Lentera. 2000.
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA. Filsafat Ilmu. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2010
[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hal.785
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hal 325
[3] Ensiklopedia Islam. Jilid 2. Hal. 203
[4] Dr. M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an