Halaman

Jumat, 17 Agustus 2012

Intelektual Diujung Tanduk


("Ayo bersatu kalahkan musuh… Satu Komando…Ambil semua perlengkapannya…kita dalam kondisi Siaga 1…")


Bagi teman-teman yang berada di kampus mungkin akhir-akhir ini mendengar kalimat tersebut. Ada apa dengan kalimat diatas, mungkin sudah menjadi rahasia umum bahwa kalimat diatas menandakan adanya suatu aktivas yang ‘sedikit’ geli jika disebutkan dikalangan kampus, ‘TAWURAN’. Tapi untuk memperhalus predikat mahasiswa sebaiknya kita menggunakan kata ‘KOMPETISI’ untuk menggantikan kata ‘ TAWURAN’ (cz penulis tidak terima kalau ‘tawuran’ dilekatkan dengan mahasiswa, walaupun faktanya begitu). Dalam tulisan kali ini kita tidak akan membahas oknum yang benar dan salah, tapi lebih melihat apa akar masalah yang menimbulkan ‘kompetisi’ antar mahasiswa.

Mari kita Sedikit mengingat konsep mahasiswa yang sering diajarkan oleh senior terdahulu ketika PPD-A, LK 1 dan sejenisnya; “Orang-orang yang berada di dalam kampus adalah orang-orang yang akan siap untuk melakukan suatu perubahan. Bahkan dalam kehidupan bermasyarakat, sering mengharapkan adanya suatu perubahan ditengah-tengah mereka dari kaum intelektual ini, karena mereka menganggap bahwa kampus adalah sebagai sarana dalam mengembangkan diri dan berbagai kreativitas untuk menciptakan ilmu pengetahuan dan wawasan yang lebih baik. Kampus adalah aset besar yang selalu dijadikan sebagai lahan perubahan dan kemajuan suatu bangsa. Banyak orang mengatakan, bahwa mahasiswa adalah agent of change atau agen perubahan. Artinya, setiap perubahan yang terjadi di masyarakat, baik perubahan itu parsial ataupun secara total pasti melibatkan para calon intelektual ini”.

‘Kompetisi’ antar mahasiswa untuk zaman ini sudah sangat akut dan terus menggerogoti kehidupan kampus. Inilah bentuk perubahan yang telah dilakukan oleh mahasiswa, perubahan dari kondisi buruk menuju lebih buruk lagi, bukankah itu bisa disebut perubahan. Memang sangat ‘betul’ apa yang diajarkan oleh senior kita bahwa mahasiswa adalah pelopor ‘perubahan’. Sekarang bukan hanya mahasiswa saja, tapi masyarakat mulai mencontohkannya juga. Kalau tidak percaya silakan ‘nongkrong’ didepan TV untuk melihatnya. Kampus adalah miniatur masyarakat, dimasyarakat ada pencuri dikampus juga ada, dimasyarakat ada penjudi dikampus juga ada, dimasyarakat ada koruptor dikampus juga ada, dimasyarakat ada kupu-kupu malam dikampus juga ada ayam kampus dan masih banyak lagi persamaaan-persamaannya. Tapi ingat dikampus ada satu hal yang tidak dimiliki oleh masyarakat sipil biasa, yaitu kampus tempat lahirnya suatu perubahan. Kampuslah menjadi standar moral paling akhir ketika moral suatu bangsa hancur.

Namun faktanya mahasiswa sudah kembali kepada kelompok ‘komunal primitif’ dimana menyelesaikan masalah hanya dengan satu metode yaitu ‘kompetisi’. Lebih anehnya lagi aktivitas ini seakan-akan sudah masuk ‘kalender akademik’ yang kejadiannya ada waktunya. Bahkan ada saja beberapa mahasiswa lama yang ber’dakwah’ bahwa ‘kompetisi’ merupakan ritual penting untuk memperkuat persatuan & solidaritas antar mahasiswa dalam kelompok tertentu (Hentikanlah menyebarkan aliran sesat dikalangan intelektual…cukuplah itu menjadi memori anda wahai mahasiswa lama…tidak perlu lagi menurunkan kepada generasi-generasi anda…berikanlah mereka Hikmah dari semua kejadian yang telah anda alami…bukannya mendorong kaum intelektual untuk melakukan aktivitas itu lagi).

Jika mau menelusuri term ‘Kompetisi’ yang sebenarnya lebih populer terjadi pada tahun 90-an menjadi trade marknya pelajar SMP-SMU, sekarang virus tersebut menjangkiti mahasiswa. Padahal mahasiswa yang identik dengan simbol perubahan intelektual muda, atau bisa disebut agent of change sudah sepantasnya memberikan contoh yang baik bagi bangsa. Apalagi secara historis, peran mahsiswa sangat substansial dalam membangun bangsa ini sejak zaman kemerdekaan hingga reformasi yang semakin terpuruk . Akan tetapi kemahasiswaan itu ternyata begitu mudahnya tercoreng hanya karena emosi, arogansi kekuasaan, kepentingan atau alasan solidaritas serta slogan-slogan ‘kosong lainnya’. Apa yang terjadi dengan mahasiswa kita? Padahal mereka sangat dikenal sebagai manusia rasional, akademis, menyelesaikan masalah secara arif, namun tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat, berulah dengan tindakan irrasional, tanpa berpikir akibat yang ditimbulkannya.

Penyebab terjadinya ‘kompetisi’ antara mahasiswa hanyalah hal-hal yang sepele misalnya saling ledek (baca: calla), efek kalah menang pertandingan olahraga antar fakultas, mengganggu cewek/mahasiswi beda fakultas atau beda universitas, senggolan kecil, tidak sopan saat lewat, efek yel-yel fakultas saat ospek, rebutan atribut warna, menyanyikan lagu pop yang diklaim milik sekelompok mahasiswa padahal lagu itu adalah lagu yang dikomersilkan di masyarakat. Begitu banyak lagi alasan-alasan bodoh dan tidak masuk akal lainnya yang bisa menjadi penyebab ‘kompetisi’. Inilah kemunduran berpikir mahasiswa akibat pengkaderan yang tidak progresif, transformatif & ideologis.

Begitu banyak pembenaran yang dilakukan oleh mahasiswa untuk melakukan aktivitas ini. Mulai dari kelompok yang sedikit ‘idealis’ yaitu untuk membuktikan rasa solidaritas, kelompok ‘pragmatis’ yaitu sekedar menyalurkan stress akibat tekanan akademik hingga kelompok ‘plagiator’ yaitu mencontohkan apa yang telah dilakukan oleh pendahulu-pendahulu kita alias kultur (Brak….). Mungkin kita tidak perlu mengomentri kelompok pragmatis & plagiator, biarkanlah mereka hancur dengan alasannya itu. Tapi untuk kelompok yang sedikit ‘idealis’ yang melakukan aktivitas ‘kompetisi’ atas dasar membangun solidaritas (keren sekali…). Memang kalau dilihat faktanya memang akan muncul ‘rasa solidaritas’ ketika bersama-sama mengalahkan ‘musuh’. Lihat saja semua individu saling bersatu dan bahu membahu serta cepat tanggap dalam merespon musuh yang datang, suasana kerja sama sangat terlihat. Mulai dari penyedia logistik (batu, kayu, dan lainnya) hingga militansinya yang selalu berada didepan untuk terus membakar semangat ‘prajuritnya’ agar tidak henti-hentinya menghujani lawan dengan batu. Kekompakan dan persaudaraan sangat terlihat jelas.

Bagi kawan-kawan mahasiswa yang masih memiliki hati nurani. Persatuan & solidaritas seperti itulah yang kalian inginkan. Solidaritas yang dibangun atas dasar adanya suatu tekanan atau ketertindasan hanyalah solidaritas yang semu, rapuh dan temporer serta menimbulkan kerusakan fisik maupun psikis. Solidaritas seperti itu bisa muncul takkala pola pikir manusia mulai merosot. Ikatan ini terjadi ketika manusia mulai hidup dalam suatu kelompok tertentu. Saat itu, ‘naluri mempertahankan diri’ sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan eksistensinya (baca: ego kelompok), tempat mereka berada dan beraktivitas. Dari sinilah muncul ikatan itu, ikatan yang paling lemah dan rendah nilainya. (maaf mungkin agak sedikit kasar) Ikatan semacam ini muncul dalam dunia hewan serta senantiasa emosional sifatnya. Rasa persaudaraan (kerjasama & solidaritas) muncul ketika ada ancaman dari luar yang hendak menyerang. Tetapi bila suasananya aman dari serangan musuh atau musuh tersebut dapat dilawan dan dipecundangi, sirnlah kekuatan itu. Karena itu, solidaritas seperi itu sangat rendah nilainya.

Ikatan seperti itu tidak layak dijadikan pengikat antar mahasiswa dalam kehidupannya yang penuh dengan nuansa intelektual & ilmiah. Ikatan yang benar untuk mengikat mahasiswa adalah ikatan pemikiran, inilah yang biasa disebut dengan ikatan ideologi. Untuk itu saya mengharapkan lembaga kemahasiswaan untuk melakukan suatu transformsasi model organisasi yang lebih mengarahkan mahasiswa untuk berjalan sesuai dengan fitrahnya.

Melihat gambaran diatas, bangsa Indonesia saat ini memang sedang dalam keadaan benar- benar sakit. Bahkan sakitnya sudah sangat akut dan perlu segera opname. Mahasiswa sebagai kaum intelektual saja sudah tidak mampu menjaga intelektualitasnya dalam menghadapi masalah, apalagi dengan masyarakat awam? Mahasiswa saja tidak mampu memecahkan masalah dengan cara elegan, bagaimana dengan masyarakat awam? Lalu apa yang bisa diharapkan dari para mahasiswa ini?. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pengurus lembaga kedepannya. Berbuatlah dan berkarya…Masa depan bangsa berada ditangan anda wahai kaum Intelek. Selalu optimis dan….KEEP ON FIGHTING TILL THE END.
Saatnya meng’INTELEKTUAL’kan kembali kaum INTELEKTUAL.












(“Berapa SKS kau ambil bro…,” “ 24 SKS fren…”, “kenapa na banyak sekali…saya kira banyak tugas besar dan lab yang ko ambil”. “mau bagaimana lagi…supaya cepat sarjana dan cepat kerja,”. “sessa ko itu nanti, bisa ji ko pelajari semuanya itu dalam 1 semester kah?”.....)


Inilah sepenggal cerita yang sering kita jumpai akhir-akhir ini, ketika pengambilan KRS dimulai. Saat ini, diantara mereka yang masih kuliah di PTN maupun PTS, ‘Cepat lulus’ memang merupakan kata kunci yang sering dikemukakan oleh mahasiswa sekarang dengan alasan yang bermacam-macam, seperti ingin cepat selesai agar tidak terlalu lama di kampus, atau ingin cepat kerja agar bisa membantu orang tua. Tapi alas an yang paling dominan dan sering muncul adalah biaya kuliah yang mahal dan ingin segara kerja menghasilkan uang. Meskipun demikian, mereka tidak dapat menjawab ketika ditanya, “kalau sudah menghasilkan uang lalu mau buat apa?”. Paling-paling, jawaban yang mereka berikan, “ya, paling tidak bisa mengurangi beban orang tua, kasihan kan orang tua kalau harus susah mencari biaya kuliah?”.
Apa pun alasannya, kecenderungan ingin cepat lulus dari bangku kuliah itu menunjukkan bahwa orientasi belajar sekarang memang lebih ke produk atau hasil akhir dan kurang menghargai proses. Padahal, proses mendapatkan ilmu pengetahuan jauh lebih berharga daripada produk pengetahuan itu sendiri. Tidak ada ilmu yang dapat dipetik begitu saja tanpa melalui proses.
Jika kita melihat orang-orang dulu dengan tradisi mencari guru oleh anak-anak muda yang menginjak dewasa untuk mengisi jiwanya dengan belajar kepada seseorang yang dinilai memiliki ilmu. Ilmu yang mereka cari bukanlah ilmu magis atau sihir, melainkan ilmu yang mereka anggap berguna untuk bekal hidup sebagai petani, seperti ilmu mengusir hama, mengusir bala, bencana, dan sejenisnya. Dalam proses pencarian ilmu itu, mereka melalui berbagai tahapan, seperti puasa senin-kamis selama tujuh kali, puasa mutih (tidak makan garam) ngrowot (hanya makan umbi-umbian dan sayur). Setelah itu pada malam ketujuh tidur dihutan, ilmu yang mereka dapatkan dicoba dulu, membawa kayu bakar yang cukup banyak, lalu setelah sampai dirumah diletakkan dengan cara dibanting, dan masih ada tahap-tahap lainnya.
Tahapan demi tahapan dalam proses berguru itu dijalani secara berurutan satu persatu. Bukan berarti kita harus melakukan metode seperti itu untuk mendapat pengetahuan, tapi nilai yang bisa kita ambil adalah kesediaan menjalani tahapan satu demi satu secara berurutan itu adalah proses mencari ilmu. Jadi, mereka menyakini bahwa ilmu hanya dapat diperoleh setelah melalui proses panjang. Ilmu tidak bisa dikuasai begitu saja secara kilat, bila kita cermati proses berguru anak-anak muda kampung itu cukup memakan waktu panjang, ketekunan, kesabaran, ketabahan, keberanian dan perjuangan berat.
Belajar dari orang dulu yang memiliki kemauan belajar yang kuat walaupun belum mempunyai fasilitas pendidikan seperti sekarang ini membuat kita terkesima, namun ketika melihat anak-anak muda (mahasiswa & pelajar) sekarang selalu ingin serba cepat untuk bisa mendapatkan hasil. Mereka tidak mau melewati semua proses yang panjang dan melelahkan, menuntut ketekunan, kesabaran, kerja keras, apalagi perjuangan. Semua ingin serba cepat ibaratnya sekali seduh langsung jadi. Kalau perlu, tidak usah memakai proses sedikit pun, tapi langsung jadi. Ibaratnya bim salabim, abracadabra, vingardium laviosa, jadilah ilmu dan ijasah yang saya nanti-nantikan untuk bekal mencari uang.
Kecenderungan serba instan dalam memperoleh ilmu pengetahuan sekaligus memperlakukan ilmu sebagai proses dan kurang menghargai proses itu, dari hari ke hari semakin kuat. Istilah “instan” yang semula hanya dikenal dalam makanan dan minuman untuk menyebut mie atau susu, secara tiba-tiba menyeruak masuk menjadi kosakata ke dalam segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan mahasiswa. Dalam memperoleh ilmu pengetahuan, mahasiswa inginnya sekali seduh langsung jadi atau langsung dapat. Padahal kenyataannya ilmu pengetahuan tidak seperti mie atau susu instan yang sekali seduh langsung dapat dinikmati.
Istilah belajar ‘sks’ (system kebut semalam), untuk menunjuk para mahasiswa yang suka belajar dan menyelesaikan tugas semalam suntuk setiap kali mau menghadapi ujian atau deadline tugas, tapi setelah itu tidak belajar dan kerja tugas lagi, merupakan cerminan dari kuatnya budaya instan tadi. Tidak mengherankan bila indeks prestasi mahasiswa tersebut menjadi bagus, tapi penguasaan ilmu pengetahuan dalam bidangnya tidak sesuai dengan tingginya nilai IP. Berdasarkan pengalaman beberapa alumni, mereka yang memiliki IP cukup tinggi, rata-rata system pembelajarannya lebih terfokus pada mekanisme pembahasan soal-soal ujian tahun-tahun sebelumnya. Akibatnya, setelah lulus, meskipun nilai IP mereka tinggi, mereka bingung mencari pekerjaan atau tidak menguasai pengetahuan diluar yang mereka pelajari, apalagi tidak punya pengalaman organisasi, lengkaplah gelar kuper.
Bahkan sejujurnya, pengetahuan tidak hanya ditempatkan sebagai produk, tapi sebagai instrument saja, yaitu instrument mencari gelar atau pekerjaan. Tujuan akhir yang ingin dicapai bukan penguasaan ilmu pengetahuan, melainkan selembar ijasah untuk bekal mencari kerja yang menghasilkan uang. Padahal, belajar di institusi pendidikan formal itu sebetulnya proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, pendewasaan diri, pematangan pribadi, berkomunikasi, berorganisasi, dan membangun relasi dengan sesama agar menjadi pribadi yang dewasa, berwawasan luas, berjiwa matang, tidak kuper, kritis, punya ideologi yang kuat, memiliki integritas yang tinggi dan tidak plin-plan.
Belum lagi salah satu fenomena remaja yang khas dan menonjol yaitu lahirnya generasi mall. Mereka menghabiskan waktunya untuk nongkrong-nongkrong di mall-mall sambil mejeng, gossip dan berfantasi tentang kehidupan serba enak dan nyaman. Tragisnya, gaya hidup remaja mall tidak lagi hanya monopoli kaum muda SMA tapi kalangan intelektual sekelas mahasiswa ikut terkena virus generasi mall. Soalnya, jaringan ekonomi kapitalisme begitu dahsyat melakukan ekspansi pembangunan mall ke berbagai pelosok-pelosok negeri ini. Sungguhpun tidak tersedia data kuantitatif dari hasil pemantauan perkembangan gaya hidup remaja mall, namun bila melihat kenyataannya di lapangan menunjukkan kecenderungan terus meningkat. Buktinya, walau jumlah mall yang dibangun semakin banyak, tetap saja selalu dipenuhi kaum remaja yang mejeng (baca: tebar pesona) dengan tujuan yang beragam. Generasi mall kemudian diikuti dengan generasi handphone, yaitu kecendrungan remaja untuk berhaha-ria dengan HP (handphone). Meskipun kondisi ekonomi orang tua sedang krisis, jumlah mereka tetap makin banyak, bahkan cenderung meningkat.
Akibat dari kehadiran generasi ini adalah meningkatnya pola konsumerisme di kalangan remaja sekaligus lahirnya budaya mall; suatu budaya yang mengambil wacana dunia mall; pakaian serba ketat, pocci-pocci, distro (baca:mahal), trendi, suka yang serba instan dan mengembangkan bahasa gaul yang hanya bisa dimengerti oleh kelompok mereka sendiri. Ini konsekuensi logis dari berkembangnya budaya kapitalisme yang serba bebas; sekaligus pencitraan baru, dimana pakaian tidak lagi dilihat secara fungsional, tapi lebih dimaknai pada nilai simboliknya (merek atau harga). Demikian juga pemakaian pada produk lain, seperti HP dan Jam tangan, sebetulnya lebih merupakan simbol modern. HP yang oleh perancangnya dimaksudkan untuk memudahkan komunikasi bagi orang-orang yang sibuk sehingga tidak tentu berada dalam satu tempat yang tetap. Oleh remaja dimaknai sebagai kemodernan, lihat saja banyak HP yang lebih berfungsi sebagai mp3 atau camera dibandingkan komunikasi, itupun jika dipakai komunikasi hanya sms-an atau chat FB yang buang-buang pulsa saja seperti saling ‘gombal’ sampe larut malam. Jam tangan mahal-mahal, tapi datang kuliah atau rapat sering terlambat, kemana-mana bawa HP tapi selalu ingkar janji tanpa memberi keterangan (apalagi kalau disuruh datang rapat).
Inilah kondisi kemahasiswaan kita, sebagai orang yang hidup dizaman sekarang ini tidak sepantasnya kita berdiam diri. Para pendidik kita wajib untuk memikirkan sistem baru untuk membendung bahkan menghilangkan budaya hedonisme ini. Sebagai lembaga kader, hal ini merupakan tantangan besar bagi dept. Pengkaderan untuk melakukan revitalisasi budaya intellectual dan ilmiah mahasiswa dengan mentransformasikan & kristalisasi ideologi ditubuh kader lembaga. (DS)

REVITALISASI PARADIGMA PENGKADERAN MENUJU BUDAYA INTELEKTUAL DAN ILMIAH


Tidak ada komentar:

Posting Komentar