Halaman

Kamis, 30 Mei 2013

Faktor Pengangguran Atau Antar GEPENG

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Hakekatnya, pembangunan ekonomi di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas kesempatan kerja dan kesempatan peluang berusaha, meningkatkan pemerataan pendapatan masyarakat serta meningkatkan hubungan antar daerah. Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan bermuara pada manusia sebagai insan yang harus dibangun kehidupannya dan sekaligus merupakan sumberdaya pembangunan yang harus terus ditingkatkan kualitas dan kemampuannya untuk mengangkat harkat dan martabatnya (Chambers, 1983). Kota Denpasar dan kota-kota lainnya di Bali tumbuh juga secara baik dan bahkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Salah satu persoalan yang muncul adalah kesenjangan atau ketimpangan yang semakin besar dalam pembagian pendapatan antara berbagai golongan pendapatan, antara daerah perkotaan dan pedesaan. Ini berarti juga bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat belum berhasil untuk menanggulangi masalah kemiskinan, seperti pengangguran dan masalah sosial-ekonomi lainnya, seperti gelandangan dan pengemis. Tetapi, arus urbanisasi, khususnya yang menuju Kota Denpasar dan kota-kota lainnya seperti Gianyar, Tabanan dan Singaraja semakin besar seiring dengan pertumbuhan ekonomi regional. Kota Denpasar yang sebagai Ibukota Provinsi Bali menjadi daerah yang “subur” bagi penduduk untuk mendapatkan pekerjaan. Di sisi lain, kesempatan kerja yang tersedia dan peluang berusaha di Kota Denpasar termasuk kota-kota lainnya di Bali (seperti Gianyar, Tabanan dan Singaraja) ternyata tidak mampu menampung pelaku-pelaku urbanisasi karena keterbatasan keterampilan yang dimiliki di daerah asal. Apalagi mereka yang melakukan urbanisasi tidak memiliki keterampilan tertentu yang dibutuhkan dan sengaja untuk melakukan kegiatan sebagai gelandangan dan pengemis. Akibatnya, mereka yang dengan sengaja untuk menjadi gelandangan dan pengemis (Gepeng) di kota-kota seperti Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja akan semakin menjadi ”sosok” yang sangat tidak dibutuhkan karena dirasakan mengganggu ketertiban dan keamanan di jalanan termasuk dibeberapa permukiman. BAB II PEMBAHASAN 2. Pengertian Gelandangan dan Pengemis Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan, pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. (Anon., 1980). Humaidi, (2003) menyatakan bahwa gelandangan berasal dari kata gelandang yang berarti selalu mengembara, atau berkelana (lelana). Menurut Muthalib dan Sudjarwo (dalam IqBali, 2005) diberikan tiga gambaran umum gelandangan, yaitu (1) sekelompok orang miskin atau dimiskinkan oleh masyaratnya, (2) orang yang disingkirkan dari kehidupan khalayak ramai, dan (3) orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan. Ali, dkk., (1990) juga menggambarkan mata pencaharian gelandangan di Kartasura seperti pemulung, peminta-minta, tukang semir sepatu, tukang becak, penjaja makanan, dan pengamen. Harth (1973) mengemukakan bahwa dari kesempatan memperoleh penghasilan yang sah, pengemis dan gelandangan termasuk pekerja sektor informal. Sementara itu, Breman (1980) mengusulkan agar dibedakan tiga kelompok pekerja dalam analisis terhadap kelas sosial di kota, yaitu (1) kelompok yang berusaha sendiri dengan modal dan memiliki ketrampilan; (2) kelompok buruh pada usaha kecil dan kelompok yang berusaha sendiri dengan modal sangat sedikit atau bahkan tanpa modal; dan (3) kelompok miskin yang kegiatannya mirip gelandangan dan pengemis. Sementara itu Alkostar (1984) dalam penelitiannya tentang kehidupan gelandangan melihat bahwa terjadinya gelandangan dan pengemis dapat dibedakan menjadi dua faktor penyebab, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi sifat-sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat fisik ataupun cacat psikis. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor sosial, kultural, ekonomi, pendidikan, lingkungan, agama dan letak geografis. 2.1 Kemiskinan Hall dan Midgley (2004), menyatakan kemiskinan dapat didefenisikan sebagai kondisi deprivasi materi dan sosial yang menyebabkan individu hidup di bawah standar kehidupan yang layak, atau kondisi di mana individu mengalami deprivasi relatif dibandingkan dengan individu yang lainnya dalam masyarakat. Juga, kemiskinan didefenisikan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial (Friedmann, 1979). Kemiskinan merupakan suatu ketidaksanggupan seseorang untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan keperluan-keperluan materialnya (Oscar, dalam Suparlan, 1984). Dalam proses dinamikanya, budaya kemiskinan ini selanjutnya menjadi kondisi yang memperkuat kemiskinan itu sendiri. Keadaan tersebut di atas memberikan indikasi bahwa kemiskinan merupakan penyebab dan sekaligus dampak, dimana masing-masing faktor penyebab sekaligus dampak untuk dan dari faktor-faktor lainnya atau penyebab sirkuler (Rajab, 1996). Sementara itu, Harris (1984) mengatakan bahwa kemiskinan disebabkan karena keterbatasan faktor-faktor geografis (daerahnya terpencil atau terisolasi, dan terbatasanya prasarana dan sarana), ekologi (keadaan sumber daya tanah/lahan, dan air serta cuaca yang tidak mendukung), teknologi (kesederhanaan sistem teknologi untuk berproduksi), dan pertumbuhan penduduk yang tinggi dibandingkan dengan tingkat penghasilannya. Chambers (1983) mengemukakan bahwa sebenarnya orang-orang miskin tidaklah malas, fatalistik, boros, dungu dan bodoh, tetapi mereka sebenarnya adalah pekerja keras, cerdik dan ulet. Argumennya dilandasi bahwa mereka memiliki sifat-sifat tersebut karena untuk dapat mempertahankan hidupnya dan melepaskan diri dari belenggu rantai kemiskinan. 3. Penyebab Terjadinya Gelandangan dan Pengemis Berdasarkan pada hasil survai dan pengamatan langsung di lokasi penelitian, yaitu di empat kota (Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja), serta observasi di lokasi daerah asal, yaitu Munti Gunung dan sekitarnya, diperoleh beberapa faktor penyebab terjadinya Gelandangan dan Pengemis (Gepeng). Beberapa faktor penyebab tersebut di antaranya ádalah faktor yang ada di internal individu dan keluarga Gepeng, internal masyarakat, dan eksternal masyarakat, yaitu di kota-kota tujuan aktivitas Gepeng. Faktor-faktor penyebab ini dapat terjadi secara parsial dan juga secara bersama-sama atau saling mempengaruhi antara satu faktor dengan faktor yang lainnya. 3.1 Faktor Internal Faktor internal dan keluarga yang dimaksudkan ádalah suatu keadaan di dalam diri individu dan keluarga Gepeng yang mendorong mereka untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis. Faktor-faktor tersebut diuraikan secara ringkas berikut ini. 3.2 Kemiskinan Individu dan Keluarga Melalui penelitian yang dilakukan ternyata kemiskinan individu termasuk salah satu faktor yang menentukan terjadinya kegiatan menggelandang dan mengemis. Kondisi ini tercermin dari informasi yang diperoleh bahwa rata-rata penguasaan lahan Gepeng dan keluarganya adalah relatif sempit, yaitu 38,23 are, dengan interval antara 20-60 are. Terbatasnya penguasaan lahan diperburuk lagi oleh kondisi lahan yang tandus, kritis dan kurangnya ketersediaan air, kecuali saat musim hujan mengakibatkan mereka tidak dapat mengusahakan lahannya sepanjang tahun. Oleh karena itu, pada saat musim kemarau Gepeng dan keluarganya mencari penghasilan ke kota (Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja) hanya untu memenuhi kebutuhan yang paling mendasar, yaitu kebutuhan pangan. Dengan demikian, kesulitan memperoleh penghasilan dari lahan pertanian yang dikuasainya mendorong mereka untuk meninggalkan desanya dan terpaksa harus mencari penghasilan dengan cara-cara yang mudah dan tanpa memerlukan ketrampilan, yaitu menjadi Gepeng. 3.3 Umur Ternyata faktor umur memberikan pengaruh yang cukup signifikan, dimana sebagian terbesar (sekitar 74,32 %) dari gelandangan dan pengemis yang ditemui adalah berusia yang masih sangat muda, yaitu kurang dari 13 tahun. Berdasarkan pada wawancara dengan mereka diketahui bahwa faktor umur yang masih muda ini memberikan peluang bagi mereka untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis karena tiadanya memikirkan rasa malu yang terlalu kuat. Bahkan mereka (anak-anak) terlihat riang berlari-lari dan bercanda dengan temannya saat menggepeng. Kondisi ini sangat berbeda atau berbanding terbalik dengan mereka yang telah menginjak usia remaja. Hal ini, tercermin dari hasil penelitian bahwa Gepeng yang berusia antara 15 – 40 tahun tidak ditemukan di empat kota yang menjadi lokasi studi. Hal yang menarik juga terlihat dari penelitian ini, yaitu tidak ditemukannya Gepeng yang berusia 15-40 tahun dan berjenis kelamin laki-laki. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa laki-laki yang sudah dewasa sudah merasa tidak pantas lagi menjadi Gepeng karena malu. Selain itu, diperoleh informasi juga bahwa mereka yang berusia remaja telah beralih fungsi pekerjaan menjadi buruh, kuli, pembantu rumah tangga, tukang, termasuk buruh tani, khususnya pada musim-musim panen cengkeh di Kabupaten Buleleng. Sementara itu, hasil penelitian menunjukkan juga bahwa kaum perempuan berumur lebih dari 40 tahun sepertinya memberikan peluang yang lebih besar untuk memperoleh ”belas kasihan” dari penduduk kota. Kondisi tersebut sangat wajar jika dikaji lebih lanjut dimana mereka akan mendapat beberapa keuntungan, di antaranya adalah sebagai berikut: (i) calon pemberi uang akan iba melihat seorang ibu dengan anak kecil yang digendongnya; (ii) uang yang diperoleh akan lebih banyak, selain terkadang mereka diberikan juga makanan, khususnya untuk anak yang digendongnya. 3.4 Pendidikan Formal Berkenaan dengan faktor umur tersebut di atas, ternyata faktor pendidikan juga turut mempengaruhi responden untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis. Pada tingkat umur yang masih terkategori anak-anak, semestinya mereka sedang mengikuti kegiatan pendidikan formal di sekolah. Namun, mereka memilih menjadi Gepeng dibandingkan bersekolah karena tidak memiliki kemampuan finansial untuk kebutuhan sekolah sebagai akibat dari kemiskinan orang tua. Tidak berpendidikannya responden menyebabkan mereka tidak memperoleh pengetahuan atau pemahaman tentang budi pekerti, agama dan ilmu pengetahuan lainnya yang mampu menggugah hati mereka untuk tidak melakukan kegiatan sebagai Gepeng. 3.5 Ijin Orang Tua Seluruh anak-anak yang melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka telah mendapat ijin dari orang tuanya dan bahkan disuruh oleh orang tuanya. Melalui wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat di desa, alasan tersebut di atas juga dibenarkan mengingat kondisi sosial ekonomi orang tua anak-anak yang menjadi Gepeng di dusun tergolong sangat miskin. Sehingga pada musim kemarau, mereka ”terpaksa” membiarkan anaknya dan ”menyuruh” anaknya untuk ikut mencari penghasilan guna membantu memenuhi kebutuhan rumah tangganya. 3.6 Rendahnya Ketrampilan Hasil wawancara terhadap seluruh Gepeng yang beroperasi di Kota Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja tidak memiliki ketrampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Kondisi ini sangat wajar terjadi karena sebagian terbesar dari mereka adalah masih berusia yang belia atau muda. Semestinya mereka sedang menikmati kegiatan akademik atau di dunia pendidikan. Sementara mereka yang tergolong umur relatif lebih tua dan berjenis kelamin perempuan sejak muda tidak pernah memperoleh pendidikan ketrampilan di desa. Oleh karena itu, kegiatan menggelandang dan mengemis adalah pilihan yang paling gampang untuk dilaksanakan guna memperoleh penghasilan secara mudah. Tetapi menurut mereka, mengemis itu terkadang agak sulit untuk memperoleh uang karena harus berkeliling dan mencoba serta mencoba untuk meinta-minta, dimana tidak semua calon pemberi sedekah langsung memberikannya, dan bahkan tidak memperdulikannya. 3.7 Sikap Mental Kondisi ini terjadi karena di pikiran para Gepeng muncul kecendrungan bahwa pekerjaan yang dilakukannya tersebut adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, selayaknya pekerjaan lain yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan. Ketiadaan sumber-sumber penghasilan dan keterbatasan penguasaan prasarana dan sarana produktif, serta terbatasnya ketrampilan menyebabkan mereka menjadikan mengemis sebagai suatu pekerjaan. Atau dengan kata lain, mereka mengatakan juga bahwa tiada jalan lain selain mengemis untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, sikap mental yang malas ini juga didorong oleh lemahnya kontrol warga masyarakat lainnya atau adanya kesan permisif terhadap kegiatan menggelandang dan mengemis yang dilakukan oleh warga karena keadaan ekonomi mereka yang sangat terbatas. Sementara di sisi lain, belum dimilikinya solusi yang tepat dalam jangka pendek bagi mereka yang menjadi Gepeng. Keadaan yang demikian ini juga turut memunculkan dan sedikit menjaga adanya budaya mengemis yang terjadi. 3.8 Faktor Eksternal/Lingkungan Pada penelitian ini, faktor lingkungan yang dimaksudkan adalah beberapa faktor yang berada di sekeliling atau sekitar responden baik yang di daerah asal maupun di daerah tujuan. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah: (i) kondisi hidrologis; (ii) kondisi pertanian; (iii) kondisi prasarana dan sarana fisik; (iv) akses terhadap informasi dan modal usaha; (v) kondisi permisif masyarakat di kota; (vi) kelemahan pananganan Gepeng di kota. 3.9 Kondisi Hidrologis Mempersoalkan kondisi hidrologis di Dusun Munti Gunung, sepertinya tidak dapat dilepaskan juga dari kondisi yang sama di desa-desa yang berada di wilayah Kecamatan Kubu, dimana faktor air merupakan faktor utama sebagai pembatas dalam aktivitas warga. Hanya beberapa wilayah yang berada di dekat pesisir yang dapat memperoleh air sepanjang tahun karena pemerintah melalui Dinas Pekerjaan Umum telah membangun sumur-sumur bor dan dilengkapi dengan prasarananya, seperti mesin pompa dan instalasi pipa-pipa. Secara alamiah Dusun Munti Gunung termasuk daerah yang sangat gersang dan tandus sebagai akibat dari keterbatasan ketersediaan air. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena fakta membuktikan curah hujan yang rendah dan musim kemarau yang panjang. Pada musim ini, mereka yang tergolong miskin sangat kesulitan untuk memperoleh air yang dimanfaatkan untuk kebutuhan air minum dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Kondisi inilah yang kemudian mendorong bagi warga masyarakat yang miskin dengan ”terpaksa” harus keluar dari dusunnya untuk mencari penghasilan karena pada periode musim kemarau tersebut mereka tidak dapat melakukan aktivitas ekonomis. Perlu diketahui juga bahwa, sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah pertanian. 3.10 Kondisi Pertanian Secara topografis, Dusun Munti Gunung memiliki kondisi yang kurang mendukung jika dihubungkan dengan pengelolaan usahatani atau pembangunan pertanian (termasuk ternak) di lahan kering. Topografinya adalah berbukit atau bergunung ditambah dengan ketiadaan teknologi budidaya pertanian menjadikan penduduk termasuk Gepeng dan keluarganya tidak mampu mengelola lahannya. Apalagi keadaan hidrologisnya sangat tidak mendukung untuk kegiatan pertanian. Penguasaan teknologi pertanian yang terbatas sangat memperparah pengelolaan usahatani di desa. Mereka umumnya menanam tanaman palawija (kacang-kacangan dan umbi-umbian) yang tidak memerlukan banyak air irigasi. Pengunaan bibit, pemupupukan termasuk penanganan hama dan penyakit dapat dikatakan sangat rendah kualitasnya sehingga produktivitas yang dihasilkan juga menjadi rendah. Kondisi yang demikian inilah selanjutnya mengakibatkan mereka memperoleh penghasilan/pendapatan yang rendah, sementara kebutuhan hidup keluarga Gepeng termasuk penduduk lainnya semakin tinggi. Oleh karena itu, terbatasnya sumber dan besarnya pendapatan mendorong mereka untuk keluar dari dusun guna mencari penghasilan di kota. 3.11 Kondisi Prasarana Fisik Keadaan topografis Dusun Munti Gunung yang berbukit dan secara geografis termasuk terisolasi mengakibatkan pembangunan prasarana fisik seperti jalan, pasar, sekolah, air bersih adalah sangat terbatas. Prasarana transportasi sebagai salah satu prasarana yang pokok, seperti jalan darat baik yang menghubungkan antar dusun maupun di dalam dusun relatif belum bagus, yaitu sebagian besar merupakan jalan yang tidak beraspal atau merupakan jalan “geladag” (yang hanya diperkeras) atau jalan tanah. Seperti telah disebutkan di depan bahwa sebesar 70 % dari panjang jalan sekitar 18,50 km jalan yang ada di wilayah Dusun Munti Gunung merupakan jalan tanah. Rendahnya kualitas jalan menyebabkan terjadinya inefisiensi di dalam kegiatan transportasi sehingga mengakibatkan penghasilan yang diperoleh dari kegiatan ekonomis menjadi relatif rendah. Penghasilan yang kecil ini tampaknya juga mendorong mereka meninggalkan dusunnya untuk mencari pekerjaan di luar desa, seperti menggelandang dan mengemis. Prasarana lainnya yang terbatas adalah prasarana air bersih, dimana mereka hanya membangun bak-bak penampungan air yang disebut dengan cubang baik yang dikelola secara kolektif selain secara individual yang berfungsi untuk menampung air hujan. Sebagai penduduk di bawah garis kemiskinan di desa, mereka tertarik mendapatkan uang di kota. ”Kota sebagai tempat mengadu nasib dianggap sebagai faktor penarik hijrahnya orang dari desa ke kota. 3.12 Terbatasnya Akses Informasi dan Modal Usaha Warga Dusun Munti Gunung memiliki keterbatasan di dalam mengakses informasi baik yang berkenaan dengan berbagai aspek ekonomi produktif, sosial maupun aspek lainnya. Keterbatasan dalam mengakses informasi ini juga diperparah oleh keterbatasan pemilikan prasarana media, seperti televisi, koran dan lain sebagainya. Ternyata, keterbatasan ini diakibatkan juga oleh belum masuknya jaringan listrik secara meluas di Dusun Munti Gunung. Akses lainnya yang sulit untuk diperoleh adalah modal usaha. Kesulitan ini diakibatkan karena perolehan modal usaha memerlukan berberapa syarat yang sangat sulit untuk dipenuhi oleh warga dusun, termausk keluarga Gepeng. Syarat utama yang dibutuhkan adalah adanya agunan yang berupa sertifikat tanah. Warga dusun dan keluarga Gepeng tidak berani menyerahkan sertifikat tanahnya sebagai agunan karena mereka tidak mau mengambil resko terburuk, yaitu tanahnya disita jika usahanya tidak berhasil. 3.13 Kondisi Permisif di Kota Tujuan Sikap permisif masyarakat di Kota (Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja) terlihat dari adanya sikap yang memberi bila ada Gepeng yang mendekatinya, baik yang ke rumah, di pinggir jalan, di warung dan lain sebagainya. Rasa kasihan, kepedulian dan berbagi antar sesama umat yang merupakan ajaran moralitas mengakibatkan warga kota memberikan sedekahnya kepada Gepeng. 3.14 Kelemahan Penanganan Gepeng di Kota Walaupun pemerintah di (Kota Denapasar, Kabupaten Gianyar, Tabanan dan Buleleng) telah berupaya secara maksimal di dalam menangani Gepeng di wilayahnya masing-masing, namun hasilnya belum maksimal. Kondisi ini terlihat dari adanya Gepeng yang telah ditangkap dan dikembalikan ke desa akan selalu balik kembali untuk melakukan kegiatannya. Malahan selain ditangkap, Gepeng juga dibina, tetapi ternyata setelah dipulangkan mereka balik kembali. Oleh karena itu, terlihat bahwa penanganan Gepeng belum efektif. BAB III PENUTUP 4. Kesimpulan Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan seperti yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bebrapa hal, di antaranya adalah sebagai berikut 1. Beberapa faktor penyebab terjadinya Gepeng ádalah faktor internal, yaitu individu dan keluarga Gepeng serta masyarakat , dan eksternal masyarakat, yaitu di kota-kota tujuan aktivitas Gepeng. Faktor-faktor penyebab ini dapat terjadi secara parsial dan juga secara bersama-sama atau saling mempengaruhi antara satu faktor dengan faktor yang lainnya; 2. Faktor internal dan keluarga yang dimaksudkan ádalah suatu keadaan di dalam diri individu dan keluarga Gepeng yang mendorong mereka untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis. Faktor-faktor tersebut ádalah : (i) kemiskinan individu dan keluarga; yang mencakup penguasaan lahan yang terbatas dan tidak produktif, keterbatasan penguasaan aset produktif, keterbatasan penguasaan modal usaha; (ii) umur; (iii) rendahnya tingkat pendidikan formal; (iv) ijin orang tua; (v) rendahnya tingkat ketrampilan (“life skill”) untuk kegiatan produktif; (vi) sikap mental; dan 3. Faktor-faktor eksternal mencakup: (i) kondisi hidrologis; (ii) kondisi pertanian; (iii) kondisi prasarana dan sarana fisik; (iv) akses terhadap informasi dan modal usaha; (v) kondisi permisif masyarakat di kota; (vi) kelemahan pananganan Gepeng di kota. 4.1 Saran dan Rekomendasi Penanganan masalah Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) di Bali tidak dapat dilepaskan dari penanganan kemiskinan itu sendiri, terutama jika dilihat dari sudut pandang daerah asal Gepeng. Memang, kemiskinan bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya kegiatan menggelandangan dan mengemis tetapi bisa juga menjadi akar penyebab. Oleh karena itu, beberapa alternatif pemecahan masalah yang berkenaan dengan penanganan Gepeng dapat ditinjau dari dua aspek yaitu: (i) kondisi di daerah asal; (ii) kondisi di luar daerah asal. Prinsipnya adalah upaya pencegahan dilakukan di daerah asal sehingga mereka tidak terdorong untuk meninggalkan desanya dan mencari penghasilan di kota dengan cara mengemis. Sedangkan di sisi lain, prinsipnya adalah penanggulangan yaitu di tempat tujuan (di Kota Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Singaraja). Gepeng yang beroperasi di empat kota tersebut “harus” ditanggulangi atau ditangani sehingga mereka tidak lagi tertarik untuk menjadi Gepeng di kota, karena tidak akan memperoleh penghasilan lagi. DAFTAR PUSTAKA Ali, Marpuji, dkk. (1990). “Gelandangan di Kertasura”. Surakarta: Monografi 3 Lembaga Penelitian Universitas Muhamadiyah. Alkotsar, Artidjo (1984). Advokasi Anak Jalanan”. Jakarta: Rajawali. Anonimus (1980). “Peraturan Pemerintah No. 31/1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Jakarta. Iqbali, Saptono. (2005). “Gelandangan-Pengemis (GEPENG) di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem”. Denpasar: Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Udayana. Rajab, Budi, (1996). “Persoalan Kemiskinan dalam orientasi Kebijaksanaan Pembangunan”, Bandung: Majalah Ilmiah PDP Unpad Prakarsa Suparlan, Parsudi (1984). “Gelandangan: Sebuah Konsekuensi Perkembangan Kota, dalam Gelandangan pandangan Ilmu Sosial”. Jakarta: LP3ES.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar