Halaman

Jumat, 17 Agustus 2012

Pendidikan Pesantren

PENDIDIKAN DI PESANTREN

PENDAHULUAN
Pesantren merupakan institusi pendidikan Islam tertua di tanah air yang memberikan andil sangat besar dalam mencerdaskan kehidupan umat dan bangsa. Dari ‘rahim’ pesantrenlah lahir tokoh-tokoh masyarakat, ulama, kaum intelektual, dan pemimpin-pemimpin bangsa. Namun, di masa globalisasi ini, pesantren justru terkesan sebagai lembaga ‘kumuh’ dan bukan ‘pilihan’ yang popular dibandingkan dengan sekolah sekolah ‘modern’ yang banyak bermunculan. Hal inilah yang membuat pihak pesantren merasa perlu untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan Sistem Pendidikan Nasional, meskipun perubahan-perubahan yang dilakukan itu tetap tidak dapat merubah kultur yang memang ada dalam budaya pesantren.
Pendidikan sebagai salah satu komponen pembangun bangsa memiliki fungsi strategis untuk membentuk manusia yang bermoral dan berakhlak baik, sehingga dapat menghantarkan peserta didik menuju keseimbangan pribadi antara kecerdasan intelektual (ilmu) dengan kecerdasan emosional (perilaku) yang sejalan dengan tuntutan islam.
Pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan tradisional di Indonesia merupakan lembaga yang menekankan pentingnya tradisi keislaman di tengah-tengah kehidupan sebagai sumber utama moral dan akhlak. Secara historis, pesantren telah hidup sejak 300-400 tahun lampau dan menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat muslim Indonesia. Peran multifungsi pesantren di Indonesia sudah dimulai sejak perang melawan penjajah di era kolonialisme hingga menjadi penyumbang pemikiran konstruktif dalam membangun bangsa di era globalisasi. Keunggulan pesantren terletak pada prinsip ‘memanusiakan manusia’ dalam proses pembelajarannya. Jika di pendidikan formal sekolah lebih berorientasi pada pencapaian akademik dan materi semata, maka di pesantren lebih ditekankan pada pembinaan karakter individual dan keteladanan dari seorang ‘guru’ kepada peserta didik yang berlangsung 24 jam penuh.
Seiring dengan perkembangan pendidikan saat ini, seperti munculnya sekolah-sekolah dengan sistem ‘Boarding School’ yang terinspirasi dari pesantren, lembaga pesantren ini mulai ditinggalkan oleh para orang tua yang menginginkan sekolah yang ‘lebih modern’. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah, bahwa pesantren lebih dikesankan ‘kumuh’ dan bukan ‘pilihan’ yang populer dibandingkan dengan sekolah umum lainnya. Selain itu perlu dirumuskan konsep yang tepat untuk mengoptimalkan peran pesantren di era globalisasi, sehingga di masa depan pesantren dapat muncul sebagi salah satu pusat institusi pendidikan Islam tingkat menengah yang mengembangkan sumber daya manusia menuju terwujudnya masyarakat yang sesuai dengan ajaran pendidikan Islam.

PEMBAHASAN
A.    Sekilas pesantren dalam sejarah
Tidak ada data resmi tentang kapan pesantren pertama muncul di Indonesia. Namun dari catatan para sejarawan, pesantren mulai dikenal di Nusantara sejak masuknya Islam di Indonesia. Pada abad ke-18, pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan rakyat yang menekankan pada bidang penyiaran agama dan menjadi panutan bagi masyarakat sekitar dalam hal moralitas. Kehadirannya tidak saja sebagai lembaga pendidikan, sosial keagamaan, ataupun lembaga penyiaran agama saja, tapi juga sebagai pusat gerakan pengembangan, kemajuan, kekuatan dan sumber penanaman moral islam.
Selama masa kolonial Belanda, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang paling banyak berhubungan dengan rakyat. Lembaga ini ‘dipandang sebelah mata’ oleh pemerintah kolonial Belanda karena mereka beranggapan bahwa pesantren memiliki sistem pendidikan yang ‘buruk’ ditinjau dari tujuan, metode, dan bahasa (Arab) yang digunakan. Sehingga, lembaga ini tidak dimasukkan dalam perencanaan pendidikan umum pemerintah kolonial. Bagi mereka, tujuan pendidikannya dinilai tidak menyentuh kehidupan duniawi, tidak menggunakan metode yang jelas, dan bahasa yang digunakan bukan bahasa latin. Itulah sebabnya, orientasi yang diarahkan pada sekolah umum adalah untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan dalam kehidupan duniawi (pendidikan jasmani) saja, sedangkan orientasi pesantren adalah mengarah pada pembinaan moral dan kehidupan ukhrawi (pendidikan rohani). Dalam posisi terpisah seperti inilah pesantren terus mengembangkan dirinya dan menjadi tumpuan pendidikan bagi ummat Islam di pelosok-pelosok pedesaan sampai pada masa revolusi kemerdekaan. Pada masa revolusi fisik, pesantren merupakan salah satu pusat gerilya dalam perang melawan Belanda. Banyak santri membentuk barisan Hizbullah yang menjadi salah satu cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Pada masa ini pesantren merupakan tempat belajar yang sangat diminati oleh berbagai macam kalangan. Namun, seiring perubahan yang semakin cepat sejak Indonesia merdeka dan kehidupan sosial ummat Islam Indonesia juga mengalami perubahan dari masyarakat pedesaan yang agraris ke masyarakat perkotaan Industri dan perdagangan, mengakibatkan pula perubahan dalam model-model pendidikan Islam. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang modern tumbuh dengan pesat seiring dengan perubahan pada kurikulum, subtansi dan tujuan pendidikan, serta sistem dan organisasi pendidikan. Pesantren hanya diminati oleh keluarga muslim pedesaan yang berpenghasilan rendah. Sedangkan keluarga muslim perkotaan yang berpenghasilan menengah ke atas lebih memilih sekolah-sekolah modern yang menekankan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Banyak anggapan bahwa suatu saat pesantren akan hilang dan lenyap dari peta pendidikan Islam di Indonesia. Namun, mereka lupa bahwa pesantren yang telah bertahan selama berabad-abad adalah lembaga pendidikan yang memiliki kekuatan mental budaya yang tangguh dan sistem kelembagaan yang fleksibel sehingga mampu menyesuaikan diri dalam setiap perubahan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Pesantren yang memiliki sejarah panjang dalam sejarah Indonesia ikut memberi andil dalam pembentukan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu pesantren telah diakui sebagai lembaga yang sangat berjasa bagi ummat Islam. Terbukti, lembaga - lembaga pesantren telah berhasil mengislamkan sebagian besar penduduk Indonesia.

B. Memahami Watak Tradisionalisme Pesantren
Persoalan ini tentunya harus dikembalikan pada proporsinya yang pas. Sebab, watak tradisional yang inherent di tubuh pesantren seringkali masih disalahpahami, dan ditempatkan bukan pada proporsinya yang tepat. Tradisionalisme yang melekat dan terbangun lama di kalangan pesantren, sejak awal minimal ditampilkan oleh dua wajah yang berbeda. Oleh karena itu, penyebutan tradisional tentu harus ditujukan pada aspek yang spesifik, tidak asal gebuk rata. Tradisionalisme pesantren di satu sisi melekat pada aras keagamaan (baca: Islam). Bentuk tradisionalisme ini merupakan satu sistem ajaran yang berakar dari perkawinan konspiratif antara teologi skolastisisme As'ariyah dan Maturidiyah dengan ajaran-ajaran tasawuf (mistisisme Islam) yang telah lama mewarnai corak ke-Islam-an di Indonesia (Abdurrahman Wahid, 1997). Selaras dengan pemahaman ini, terminologi yang akarnya ditemukan dari kata 'adat (bahasa Arab) ini, merupakan praktek keagamaan lokal yang diwariskan umat Islam Indonesia generasi pertama. Di sini Islam berbaur dengan sistem adat dan kebiasaan lokal, sehingga melahirkan watak ke-Islaman yang khas Indonesia (Martin van Bruinessen, 1997, 140). Sementara tradisional dalam pengertian lainnya, bisa dilihat dari sisi metodologi pengajaran (pendidikan) yang diterapkan dunia pesantren (baca: salafiyah). Penyebutan tradisional dalam konteks praktek pengajaran di pesantren, didasarkan pada sistem pengajarannya yang monologis, bukannya dialogis-emansipatoris, yaitu sistem doktrinasi sang Kiyai kepada santrinya dan metodologi pengajarannya masih bersifat klasik, seperti sistem bandongan, pasaran, sorogan dan sejenisnya. Lepas dari persoalan itu, karakter tradisional yang melekat dalam dunia pesantren (sesungguhnya) tidak selamanya buruk. Asumsi ini sebetulnya relevan dengan prinsip ushul fiqh, "al-Muhafadhah 'ala al-Qodimi as-Shalih wa al-Akhdu bi al-Jadid al-Ashlah" (memelihara [mempertahankan] tradisi yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru (modernitas) yang lebih baik). Artinya, tradisionalisme dalam konteks didaktik-metodik yang telah lama diterapkan di pesantren, tidak perlu ditinggalkan begitu saja, hanya saja perlu disinergikan dengan modernitas. Hal ini dilakukan karena masyarakat secara praktis-pragmatis semakin membutuhkan adanya penguasaan sains dan tekhnologi. Oleh Karena itu, mensinergikan tradisionalisme pesantren dengan modernitas dalam konteks praktek pengajaran, merupakan pilihan sejarah (historical choice) yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, jika tidak demikian, eksistensi pesantren akan semakin sulit bertahan di tengah era informasi dan pentas globalisasi yang kian kompetitif. Di antara problem yang sering dijumpai dalam praktek pendidikan di pesantren, terutama yang masih bercorak salaf, adalah persoalan efektivitas metodologi pengajaran. Di sinilah perlunya dilakukan penyelarasan tradisi dan modernitas di tengah dunia pesantren. Dalam hal ini, memang diperlukan adanya pembaharuan di pesantren, terutama mengenai metodologi pengajarannya, namun pembaharuan ini tidak harus meninggalkan praktek pengajaran lama (tradisional), karena memang di sinilah karakter khas dan indegenousitas pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Justru yang perlu dilakukan adalah, adanya konvigurasi sistemik dan kultural antara metodologi tradisional dengan metodologi konvensional-modern. Dengan demikian, penerapan metodologi pengajaran modern dan pembangunan kultur belajar yang dialogis-emansipatoris, bisa seirama dengan watak asli dari kultur pesantren.

C. Pesantren Sebagai Basis Pembentukan Karakter Umat Muslim.
K.H. Miscbach, tokoh dari kalangan ulama, mengatakan dalam Mubes I Ittihad al-Ma’ahid Islamiyah pada tanggal 2-3 Agustus 1969 bahwa pesantren merupakan kubu pertahanan mental masa-masa kolonial Belanda. Artinya, pesantren tidak hanya sebagai lembaga pertahanan fisik terhadap intimidasi dan senjata penjajah, namun pesantren juga menjadi kubu pertahanan yang bersifat mental ataupun moral. Pemikiran Snouck Hurgronje yang berupaya mengasimilasikan kebudayaan Indonesia dengan Belanda tidak mencapai keberhasilan karena sistem pertahanan masyarakat Indonesia saat itu dominan dipengaruhi pesantren. Tentu, ini dikarenakan tradisi dan corak santri yang tidak mudah berasimilasi dengan budaya Barat, dalam hal ini Belanda sebagai penjajah.
Pesantren juga sukses dalam memberantas buta huruf pada masyarakat akar rumput masa penjajahan dengan sistem mengenalkan bahasa Arab Melayu. Di lain hal, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat muslim Indonesia yang pertama membuka isolasi kultural dengan dunia luar. Hal ini adalah bentuk kemampuan pesantren dalam mengaktualkan bahasa Arab. Turunannya adalah membuka wacana bangsa hingga dapat berinteraksi dengan dunia dan keilmuan yang luas.
Dengan demikian, sistem pendidikan pesantren berhasil melahirkan tokoh-tokoh ulama, zuama’, bahkan politikus, bahkan sampai saat ini pun dapat dibuktikan. Banyak tokoh-tokoh nasional sekarang pernah mengeyam pendidikan pesantren secara baik. K.H. Hasan Basri, tokoh dan ulama nasional mengatakan beberapa titik keberhasilan pesantren, antara lain:
1. Berhasil menanamkan iman yang kokoh dalam jiwa para santri sehingga mereka memiliki daya dan semangat juang yang tinggi untuk islam.
2. Bersikap tegas menentang kebatilan secara konsekuen dan menyatukan diri dengan golongan pergerakan yang mempunyai pandangan yang sama.
3. Mampu membenmtuk kecerdasan (intelektualitas) dan kesolehan (Moralitas) pada diri para santri, menguasai ilmu yang diajarkan, dan membina diri bagar memiliki ahlak terpuji.
4. Mampu membentuk masyarakat yang bermoral dan beradab menurut ajaran islam, sehingga menjadi kekuatan sesuai dengan pengaruhnya yang besar dalam masyarakat bangsa Indonesia.
5. Menjadikan dirinya bagaikan benteng terahir pertahanan umat islam dari serangan kebudayaan barat , yang dilancarkan pemerintah colonial belanda. Dengan demikian pesantren telah berhasilmenyelamatkan kebudayaan islam diindonesia.
6. Pesantren dan masyarakat santrinya adalah satu-satunya lembaga pendidikan diindonesia yang tidak mengenal kompromi dengan pemerintah colonial belanda.
7. Dalam menghadapi arus perubahan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang melanda bangsa Indonesia, ternyata masih tetap menunjukkan vitalitasnya untuk tetap berperan sebagai salah satu kekuatan sosial yang penting bagi peradaban Islam di Indonesia, baik masa kini maupun masa mendatang. Pesantren juga ternyata tidak tergilas oleh arus perkembangan lembaga-lembaga pendidikan modern yang berkiblat ke Barat, dantetap mempertahankan nilai-nilai moral keislaman.
Penjelasan-penjelasan di atas memperlihatkan bahwa pesantren, dulu ataupun sekarang, merupakan lembaga yang berhasil membentuk karakter-karakter pribadi muslim (santri) dan memiliki peranan besar dalam membina ummat dan bangsa hingga dari daerah perkotaan daerah pesisr hingga daerah ke pelosok pedesaan yang menyeluruh.
D. Upaya Mempertahankan System Pesantren
Pada perkembangannya pesantren mulai memasukkan ilmu-ilmu umum sebagai salah satu bentuk pengembangan wawasan warga pesantren dari orientasi ke-akhiratan menjadi berimbang dengan kehidupan duniawi. Penyelenggaraan pendidikan formal, yaitu madrasah dan sekolah umum, ‘hidup’ dalam satu atap pesantren. Dengan kata lain pendidikan formal diselenggarakan dalam lingkar budaya pesantren. Hal ini berimbas pada para lulusannya yang tidak lagi hanya dibekali ilmu-ilmu agama sehingga mereka bisa memasuki sekolah-sekolah formal yang lebih tinggi tingkatannya dalam sistem pendidikan.
Semua hal tersebut menggambarkan bahwa seluruh jaringan sistem pesantren telah berubah, khususnya pada proses belajar-mengajar di pesantren. Para pengambil kebijakan menganggap itu perlu dilakukan karena pada kehidupan di era modern ini tidaklah cukup hanya berbekal moral yang baik, tetapi juga memerlukan bekal kemampuan ‘tekhnoratik’ khusus sesuai dengan semakin tajamnya pembagian kerja dan profesi yang dibutuhkan.
Menurut Mastuhu, ada beberapa arah perkembangan pendidikan pesantren yang akan berjalan menempuh bentuk-bentuk alternatif sebagai berikut :
1. Tetap berbentuk lama, yaitu sebagai pendidikan non formal yang khusus mendalami ilmu-ilmu agama.
2. Berbentuk tetap sebagai pendidikan non formal di bidang agama tetapi dilengkapi dengan berbagai ketrampilan, dengan catatan bahwa studi keagamaan juga terus dikembangkan sesuai dengan pemikiran dalam Islam.
3. Berbentuk tetap sebagai pendidikan non formal di bidang agama tetapi dilengkapi dengan berbagai ketrampilan, dengan catatan bahwa studi keagamaan juga terus dikembangkan sesuai dengan pemikiran dalam Islam, Berbentuk seperti alternatif kedua namun ada penyelenggaraan pendidikan formal, baik madrasah ataupun sekolah umum, sebagaimana sekarang ini yang berlaku: ‘pesantren’ madrasah dan sekolah umum berada dalam satu ‘kampus’ pesantren.
4. Berubah menjadi bentuk pendidikan formal yang mengasuh khusus ilmu-ilmu agama.
5. Berubah menjadi bentuk alternatif keempat ditambah dengan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Ilmu-ilmu agama yang diajarkan juga dikembangkan sesuai dengan perkembangan pemikiran dalam Islam. Artinya, pengajaran ilmu-ilmu agama menjadi mayoritas sedang ilmu pengetahuan umum menjadi minoritas. Bentuk ini pernah dilakukan Departemen Agama melalui sekolah-sekolah percobaan yang dinamakan ‘Madrasah Plus’ di Padang, Makassar, Jawa Timur. Sekolah percobaan tersebut dimaksudkan untuk mencari calon-calon mahasiswa UIN, dengan perbandingan kurikulum 70% ilmu agama, 30% ilmu pengetahuan umum.
6. Berubah menjadi bentuk pendidikan formal seperti alternatif kelima, tetapi dengan perbandingan terbalik, 70% akal (ilmu pengetahuan umum atau metode berfikir) dan 30% moral (agama). Bentuk ini sama dengan bentuk yang sekarang berlaku bagi madrasah-madrasah yang diasuh oleh Departemen Agama, sebagai hasil keputusan Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri tahun 1975.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa Sistem Pendidikan Nasional kita terperangkap pada dikotomi keilmuan, yaitu pendidikan umum yang berorientasi pada pengembangan akal dan pendidikan agama yang berorientasi pada pengembangan moral. Padahal, seharusnya kedua ilmu tersebut (umum-agama) dapat diintegralkan di atas landasan paradigma Islam. Profesionalitas yang dikembangkan melalui pendidikan formal harus dipadu oleh iman dan takwa kepada Allah SWT.
Dalam perkembangannya ke depan, yang harus selalu diingat adalah bahwa pesantren harus tetap menjadi ‘rumah’ dalam mengembangkan pertahanan mental spiritual sesuai dengan perkembangan jaman dan tuntutan masa. Selain itu, ilmu yang diajarkan di pesantren harus memiliki pola integralistik (umum-agama) yang dilandasi karakteristik keilmuan Islam , diantaranya bersumber dari Allah SWT, bersifat duniawi dan ukhrawi, berlaku umum untuk semua komunitas manusia, realistis, dan integral; artinya tidak dikotomis pada dimensi keilmuannya, serta universal sehingga dapat melahirkan konsep-konsep keilmuwan di segala bidang dan semua kebutuhan manusia. Dan, yang tak kalah pentingnya adalah pesantren, yang merupakan pendidikan berbasis agama (Islam), harus mampu memaksimalkan aspek da’wah karena da’wah merupakan bagian dari Islam dan tidak bisa dipisahkan dengan ilmu-ilmu keislaman. Oleh karena itu dibutuhkan beberapa cara, baik langsung maupun tidak langsung, untuk menjalankan hal tersebut, seperti menyediakan SDM, yaitu menyediakan para pengelola dan pengajar yang faham konsep-konsep tersebut, ada kebijakan politik dari pihak terkait untuk mendukung hal tersebut, dan selalu melakukan penelitian untuk melakukan pengembangan sistim pesantren dari masa ke masa. Dalam hal ini, kebijakan pemerintah turut mempengaruhi dunia pendidikan, khususnya pesantren. Pemerintah seyogyanya memiliki keberpihakan dan pembelaan pada pesantren, khususnya pada isu terorisme yang berkembang beberapa tahun ini. Diharapkan ada dukungan kebijakan terhadap fitnah yang tertuju pada sistem pendidikan yang memang lahir dari rahim bangsa kita sendiri.
Kemudian, dukungan masyarakat pada keberadaan lembaga pendidikan pesantren tersebut juga tidak bisa diabaikan. Dengan kata lain bahwa masyarakat hendaknya juga memiliki kesadaran untuk ikut terlibat dalam perubahan sistem pendidikan pesantren. Misalnya ada keterlibatan masyarakat dalam pesantren yang berorientasi pada bidang sosial, budaya, ataupun pertanian.
PENUTUP
Pendidikan dalam Islam mempunyai tujuan untuk mewujudkan manusia yang baik, manusia yang sempurna atau manusia universal yang sesuai dengan fungsi utama diciptakannya. Dalam hal ini lembaga pesantren telah memulainya dengan melahirkan figur dan tokoh yang benar-benar meraih pencapaian hal tersebut.
Sebagai pendidikan yang lahir dari rahim bangsa sendiri, pesantren harus menjadi garda terdepan dalam melaksanakan kegiatan da’wah sesuai spesifikasinya. Meminjam ungkapan Pak Natsir, “Risalah Merintis Da’wah Melanjutkan”. Da’wah merupakan bagian dari Islam dan tidak bisa dipisahkan dengan ilmu-ilmu keislaman. Pesantren sebagai tempat menuntut ilmu dipandang sangat strategis bila memainkan peranan utama dalam mengembangkan da’wah tersebut. Oleh karena itu, landasan yang mungkin dapat digunakan pesantren dapat mengacu pada konsep-konsep pendidikan dan pembinaan yang komprehensif dan pengembangan masyarakat di sekitar pesantren, baik dari sisi budaya beribadah atau tradisi ber-muamalah yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dengan memaksimalkan aspek da’wah, pesantren diharapkan memiliki para santri yang memiliki kesadaran untuk turut terlibat dalam pekerjaan da’wah, sehingga antara pesantren dan lingkungan di sekitarnya tidak memiliki jarak dalam hal nilai keislaman yang dikembangkan dalam budaya pesantren











Daftar Pustaka :

1. Indra, Hasbi Indra, Dr., M.Ag., Pesantren dan Transformasi Sosial, Penamadani, - Jakarta: 2005.
2. Ismail, Taufiq, et al., Drh., H., Membangun Kemandirian Umat di Pedesaan, Bogor: Pesantren Pertanian Darul Fallah, 2000..
3. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994.
4. Natsir, M., Kubu Pertahana Mental Dari Abad ke Abad, Jakarta: DDII perwakilan Jatim, 1969.
5. Nandika, Dodi, Pendidikan di Tengah Gelombang Perubahan, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2007.
6. Karni Asrori S. Etos studi kaum santri wajah baru pendidikan islam, Mizan, Bandung: 2009

28 Tentang Psikologi Belajar Anak

Tentang Psikologi Belajar Anak

Proses psikologi belajar anak turut menentukan hasil belajar anak, proses tersebut meliputi conditioning, pembentukan kebiasaan, peniruan, model sosial, proses kognitif, tahap perkembangan, dan pemprosesan informasi. Ada dua teori yang membagi proses-proses tesebut yaitu teori behavioral dan teori kognitif.
Teori kognitif meyakini bahwa pengetahuan itu dipelajari/ diperoleh dari hasil pembelajaran dan perubahan dalam pengetahuan menyebabkan adanya perubahan perilaku. Sedangkan
Teori Behavioral yaitu teori yang menganggap bahwa belajar menghasilkan perubahan perilaku dan menekankan adanya faktor eksternal terhadap individu. Menurut mereka hasil proses belajar harus meliputi sesuatu yang dapat dilihat dan diamati. Teori behavioral meliputi Classical conditioning, Operant conditioning (instrument conditioning), Pembentukan kebiasaan, Peniruan (imitation)
Kapanpun dua pengindraan terjadi secara bersama-sama dan berulang kali, maka keduanya akan taerkait, yang menyebabkan jika satu dari sensasi (stimulus) terjadi, maka yang lainnya akan memberikan respon, hal tersebut dinamakan Classical conditioning . Melalui proses classical conditioning inilah manusia dan binatang dapat belajar merespon secara otomatis terhadap suatu stimulus. Responnya dapat berupa reaksi emosional, seperti : takut, senang, atau respon, fisiologis, seperti : ketegengan otot. Sedangkan yang dimaksud operant conditioning (instrument conditioning) yaitu proses belajar anak yang dipengaruhi oleh faktor penarik dan pendorong berupa hadiah/ hukuman.
Balajar juga dapat terjadi melalui proses pembentukan kebiasaan, dengan cara melakukan suatu hal secara berulang-ulang sehingga tanpa disadari hal tersebut menjadi sebuah kebiasaan. Contohnya dibiasakan bangun pagi jam 3 lalu belajar dan hal itu dilakukan setiap hari sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Selain itu ada juga yang disebut imitation, dari katanya sendiri sudah jelas sekali atinya yaitu peniruan, belajar dapat juga terjadi akibat meniru, seerti seorang bayi, melihat ibunya mengejakan kata “mama”, bayi tersebut akan berusaha menirukan, tanpa disadari hal tersebut merupakan proses belajar juga.
Pada dasarnya pemrosesan informasi dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara, terkadang apa yang terjadi disekitar kita secara tidak langsung memberikan pelajaran bag kita. Jadi proses pembelajaran bukan hanya sebatas di sekolah saja tapi belajar dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja.
Pembelajaran juga harus sesuai dengan perkembangan anak, hal tersebut menentukan sikap kita dalam memberikan pelajaran. Anak kecil misalnya, kita harus berusaha memberikan pelajaran degan cara semenarik mungkin, misal belajar diselingi degan permainan, menyanyi dan membacakan dongeng. Untuk anak dewasa yang telah dapat memandang sesuatu dengan realistik menuntut kita untuk dapat memberikan pelajaran menarik dengan memberikan contoh-contoh fenomena yang terjadi di sekitar mereka. Guru dituntut menjadi fasilitator bagi murid-muridnya, sehingga guru harus melakukan proses pembelajaran semenarik mungkin.=)\

Aspek-Aspek Perkembangan Anak Usia Dini

Pada masa usia dini anak mengalami masa keemasan (the golden years) yang merupakan masa dimana anak mulai peka/sensitif untuk menerima berbagai rangsangan. Masa peka pada masing-masing anak berbeda, seiring dengan laju pertumbuhan dan perkembangan anak secara individual.
Masa peka adalah masa terjadinya kematangan fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini juga merupakan masa peletak dasar untuk mengembangkan kemampuan kognitif, motorik, bahasa, sosio emosional, agama dan moral.

Beberapa Aspek-Aspek Perkembangan Anak Usia Dini :

Tahapan Perkembangan Kognitif sesuai dengan teori Piaget adalah:
1.      Tahap sensorimotor, usia 0–2 tahun. Pada masa ini kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak refleks, bahas awal, waktu sekarang dan ruang yang dekat saja;
2.      Tahap pra-operasional, usia 2–7 tahun. Masa ini kemampuan menerima rangsangan yang terbatas. Anak mulai berkembang kemampuan bahasanya, walaupun pemikirannya masih statis dan belum dapat berpikir abstrak, persepsi waktu dan tempat masih terbatas;
3.      Tahap konkret operasional, 7–11 tahun. Pada tahap ini anak sudah mampu menyelesaikan tugas-tugas menggabungkan, memisahkan, menyusun, menderetkan, melipat dan membagi;
4.      Tahap formal operasional, usia 11 – 15 tahun. Pada masa ini, anak sudah mampu berfikir tingkat tinggi, mampu berfikir abstrak.
Perkembangan motorik merupakan perkembangan pengendalian gerakan jasmaniah melalui kegiatan pusat syaraf, urat syaraf dan otot terkoordinasi (Hurlock: 1998). Keterampilan motorik anak terdiri atas keterampilan motorik kasar dan keterampilan motorik halus. Keterampilan motorik anak usia 4-5 tahun lebih banyak berkembang pada motorik kasar, setelah usia 5 tahun baru.terjadi perkembangan motorik halus.
Pada usia 4 tahun anak-anak masih suka jenis gerakan sederhana seperti berjingkrak-jingkrak, melompat, dan berlari kesana kemari, hanya demi kegiatan itu sendiri tapi mereka sudah berani mengambil resiko. Walaupun mereka sudah dapat memanjat tangga dengan satu kaki pada setiap tiang anak tangga untuk beberapa lama, mereka baru saja mulai dapat turun dengan cara yang sama.
Pada usia 5 tahun, anak-anak bahkan lebih berani mengambil resiko dibandingkan ketika mereka berusia 4 tahun. Mereka lebih percaya diri melakukan ketangkasan yang mengerikan seperti memanjat suatu obyek, berlari kencang dan suka berlomba dengan teman sebayanya bahkan orangtuanya (Santrock,1995: 225)
Hart & Risley (Morrow, 1993) mengatakan umur 2 tahun, anak-anak memproduksi rata-rata dari 338 ucapan yang dapat dimengerti dalam setiap jam, cakupan lebih luas adalah antara rentangan 42 sampai 672. 2 tahun lebih tua anak-anak dapat mengunakan kira-kira 134 kata-kata pada jam yang berbeda, dengan rentangan 18 untuk 286.
Membaca dan menulis merupakan bagian dari belajar bahasa. Untuk bisa membaca dan menulis, anak perlu mengenal beberapa kata dan beranjak memahami kalimat. Dengan membaca anak juga semakin banyak menambah kosakata. Anak dapat belajar bahasa melalaui membaca buku cerita dengan nyaring. Hal ini dilakukan untuk mengajarkan anak tentang bunyi bahasa.
Masa TK merupakan masa kanak-kanak awal. Pola perilaku sosial yang terlihat pada masa kanak-kanak awal, seperti yang diungkap oleh Hurlock (1998:252) yaitu: kerjasama, persaingan, kemurahan hati, hasrat akan penerimaan sosial, simpati, empat, ketergantungan, sikap ramah, sikap tidak mementingkan diri sendiri, meniru, perilaku kelekatan.
Erik Erikson (1950) dalam Papalia dan Old, 2008:370 seorang ahli psikoanalisis mengidentifikasi perkembangan sosial anak:
(1) Tahap 1: Basic Trust vs Mistrust (percaya vs curiga), usia 0-2 tahun.Dalam tahap ini bila dalam merespon rangsangan, anak mendapat pengalaman yang menyenamgkan akan tumbuh rasa percaya diri, sebaliknya pengalaman yang kurang menyenangkan akan menimbulkan rasa curiga;
(2) Tahap 2 : Autonomy vs Shame & Doubt (mandiri vs ragu), usia 2-3 tahun. Anak sudah mampu menguasai kegiatan meregang atau melemaskan seluruh otot-otot tubuhnya.
Anak pada masa ini bila sudah merasa mampu menguasai anggota tubuhnya dapat meimbulkan rasa otonomi, sebaliknya bila lingkungan tidak memberi kepercayaan atau terlalu banyak bertindak untuk anak akan menimbulkan rasa malu dan ragu-ragu;
(3) Tahap 3 : Initiative vs Guilt (berinisiatif vs bersalah), usia 4-5 tahun.
Pada masa ini anak dapat menunjukkan sikap mulai lepas dari ikatan orang tua, anak dapat bergerak bebas dan ber interaksi dengan lingkungannya. Kondisi lepas dari orang tua menimbulkan rasa untuk berinisiatif, sebaliknya dapat menimbulkan rasa bersalah; (4) Tahap 4 : industry vs inferiority (percaya diri vs rasa rendah diri), usia 6 tahun – pubertas.
Anak telah dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangan untuk menyiapkan diri memasuki masa dewasa. Perlu memiliki suatu keterampilan tertentu. Bila anak mampu menguasai suatu keterampilan tertentu dapat menimbulkan rasa berhasil, sebaliknya bila tidak menguasai, menimbulkan rasa rendah diri.




Rujukan :
Arya, P.K. 2008. Rahasia Mengasah Talenta Anak. Jogjakarta: Think
Hurlock, Elizabeth B. 1998. Psikologi Perkembangan, terj. Istiwidiyanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga
Anonym. 2007. Prinsip dan Praktek Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Direktorat PAUD
Papalia, Diane E, Etc. 2008. Human Development (Psikologi Perkembangan, terjemahan A. K. Anwar). Jakarta: Kencana Prenada Media Grup
Santrock W John. 1995. Life Span Development, Jakarta: PT Erlangga, 1995.






Dampak Perkosaan Terhadap Psikologis Sosial”

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Selama beberapa tahun terakhir ini bangsa Indonesia banyak menghadapi masalah kekerasan, baik yang bersifat masal maupun yang dilakukan secara individual. Masyarakat mulai merasa resah dengan adanya berbagai kerusuhan yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia. Kondisi seperti ini membuat perempuan dan anak-anak menjadi lebih rentan untuk menjadi korban kekerasan.
Bentuk kekerasan terhadap perempuan bukan hanya kekerasan secara fisik, akan tetapi dapat juga meliputi kekerasan terhadap perasaan atau psikologis, kekerasan ekonomi, dan juga kekerasan seksual. Hal ini sesuai dengan pendapat Hayati (2000) yang mengatakan bahwa kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun non-verbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, terhadap seseorang atau sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional, dan psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya.

B.     Latar Belakang Masalah
  1. Apa itu perkosaan ?
  2. Bagaimana dampak perkosaan terhadap sosial ?
  3. Bagaimana dampak perkosaan terhadap psikologis?
  4. Bagaiamana cara penyembuhannya?

C.    Tujuan Masalah
  1. Untuk mengetahui apa itu perkosaan !
  2. Untuk mengetahui dampak perkosaan terhadap sosial!
  3. Untuk mengetahui dampak perkosaan terhadap psikolgis!
  4. Untuk mengetahui cara penyembuhannya!


BAB II
PEMBAHASAN
D.    Pengertian Perkosaan
Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas, atau membawa pergi (Haryanto, 1997). Pada jaman dahulu perkosaan sering dilakukan untuk memperoleh seorang istri. Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum (Wignjosoebroto dalam Prasetyo, 1997). Pendapat ini senada dengan definisi perkosaan menurut Rifka Annisa Women’s Crisis Center, bahwa yang disebut dengan perkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual. Bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin. Oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat kelamin perempuan dengan benda adalah juga perkosaan. Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan (Idrus, 1999). Menurut Warshaw (1994) definisi perkosaan pada sebagian besar negara memiliki pengertian adanya serangan seksual dari pihak laki-laki dengan menggunakan penisnya untuk melakukan penetrasi vagina terhadap korban. Penetrasi oleh pelaku tersebut dilakukan dengan melawan keinginan korban. Tindakan tersebut dilakukan dengan adanya pemaksaan ataupun menunjukkan kekuasaan pada saat korban tidak dapat memberikan persetujuan baik secara fisik maupun secara mental. Beberapa negara menambahkan adanya pemaksaan hubungan seksual secara anal dan oral ke dalam definisi perkosaan, bahkan beberapa negara telah menggunakan bahasa yang sensitif gender guna memperluas penerapan hukum perkosaan. Di dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa:
barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Berdasarkan unsur-unsur yang terkandung dalam definisi perkosaan Black’s Law Dictionary (dalam Ekotama, Pudjiarto, dan Widiartana 2001), makna perkosaan dapat diartikan ke dalam tiga bentuk:
1.      Perkosaan adalah suatu hubungan yang dilarang dengan seorang wanita tanpapersetujuannya. Berdasarkan kalimat ini ada unsur yang dominan, yaitu: hubungan kelamin yang dilarang dengan seorang wanita dan tanpa persetujuan wanita tersebut.

2.      Perkosaan adalah persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita yang bersangkutan. Pada kalimat ini terdapat unsur- unsur yang lebih lengkap, yaitu meliputi persetubuhan yang tidak sah, seorang pria, terhadap seorang wanita, dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita tersebut.

3.   Perkosaan adalah perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita bukan istrinya dan tanpa persetujuannya, dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan atau di bawah kondisi ancaman lainnya. Definisi hampir sama dengan yang tertera pada KUHP pasal 285.

Pada kasus perkosaan seringkali disebutkan bahwa korban perkosaan adalah perempuan. Secara umum memang perempuan yang banyak menjadi korban perkosaan. Mereka dapat dipaksa untuk melakukan hubungan seksual meskipun tidak menghendaki hal tersebut. Apabila mengacu pada KUHP, maka laki- laki tidak dapat menjadi korban perkosaan karena pada saat laki-laki dapat melakukan hubungan seksual berarti ia dapat merasakan rangsangan yang diterima oleh tub uhnya dan direspon oleh alat kelaminnya (Koesnadi, 1992). Akan tetapi pada kenyataannya ada pula laki- laki yang menjadi korban perkosaan baik secara oral maupun anal.


E.     Dampak Sosial
Korban perkosaan dapat mengalami akibat yang sangat serius baik secara fisikmaupun secara kejiwaan (psikologis). Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban antara lain:
(1) kerusakan organ tubuh seperti robeknya selaput dara, pingsan, meninggal;
(2) korban sangat mungkin terkena penyakit menular seksual (PMS);
(3) kehamilan tidak dikehendaki.
Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik secara halus maupun kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan tersebut. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual (Koesnadi, 1992). Sementara itu, korban perkosaan berpotensi untuk mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang membuat shock bagi korban. Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat perkosaan maupun sesudahnya.Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik (Taslim, 1995). Secara umum peristiwa tersebut dapat menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000). Korban perkosaan dapat menjadi murung, menangis, mengucilkan diri, menyesali diri, merasa takut, dan sebagainya

F.     Dampak Psikologis
Upaya korban untuk menghilangkan pengalaman buruk dari alam bawah sadar mereka sering tidak berhasil. Selain kemungkinan untuk terserang depresi, fobia, dan mimpi buruk, korban juga dapat menaruh kecurigaan terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari perkosaan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri.
Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres paska perkosaan yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang langsung terjadi merupakan reaksi paska perkosaan seperti kesakitan secara fisik, rasa bersalah, takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya. Stres jangka panjang merupakan gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan korban memiliki rasa percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan, dan juga reaksi somatik seperti jantung berdebar dan keringat berlebihan. Stres jangka panjang yang berlangsung lebih dari 30 hari juga dikenal dengan istilah PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder (Rifka Annisa dalam Prasetyo, 1997).
Menurut Salev (dalam Nutt, 2001) tingkat simptom PTSD pada masing-masing individu terkadang naik turun atau labil. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan yang terus menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang dialaminya Menurut Shalev (dalam Nutt, 2000) PTSD merupakan suatu gangguan kecemasan yang didefinisikan berdasarkan tiga kelompok simptom, yaitu experiencing, avoidance, dan hyperarousal, yang terjadi minimal selama satu bulan pada korban yang mengalami kejadian traumatik. Diagnosis bagi PTSD merupakan faktor yang khusus yaitu melibatkan peristiwa traumatis. Diagnosis PTSD melibatkan observasi tentang simptom yang sedang terjadi dan atribut dari simptom yang merupakan peristiwa khusus ataupun rangkaian peristiwa. Selanjutnya definisi PTSD ini berkembang lebih dari hanya sekedar teringat kepada peristiwa traumatis yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi juga disertai dengan ketegangan secara terus-menerus, tidak dapat tidur atau istirahat, dan mudah marah. PTSD yang dialami oleh tiap individu terkadang tidak stabil. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan yang terus menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang dialaminya. Para korban perkosaan ini mungkin akan mengalami trauma yang parah karena
peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang mengejutkan bagi korban. Secara umum peristiwa tersebut bisa menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000). Berdasarkan definisi tersebut maka dapat diambil kesilmpulan bahwa PTSD adalah gangguan kecemasan yang dialami oleh korban selama lebih dari 30 hari akibat peristiwa traumatis yang dialaminya.
Dampak jangka pendek biasanya dialami sesaat hingga beberapa hari setelahkejadian. Dampak jangka pendek ini termasuk segi fisik si korban, seperti misalnya ada gangguan pada organ reproduksi (infeksi, kerusakan selaput dara, dan pendarahan akibat robeknya dinding vagina) dan luka-luka pada bagian tubuh akibat perlawanan atau penganiayaan fisik. Dari segi psikologis biasanya korban merasa sangat marah, jengkel, merasa bersalah, malu, dan terhina. Gangguan emosi ini biasanya menyebabkan terjadinya kesulitan tidur (insomnia), kehilangan nafsu makan, depresi, stres, dan ketakutan. Bila dampak ini berkepanjangan hingga lebih dari 30 hari dan diikuti dengan berbagai gejala yang akut seperti mengalami mimpi buruk, ingatan-ingatan terhadap peristiwa tiba-tiba muncul, berarti korban mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau dalam bahasa Indonesianya dikenal sebagai stres paska trauma (Hayati, 2000). Bukan tidak mungkin korban merasa ingin bunuh diri sebagai pelarian dari masalah yang dihadapinya. Menurut Freud (dalam Suryabrata, 1995), hal ini terjadi karena manusia memiliki insting insting mati. Selain itu kecemasan yang dirasakan oleh korban merupakan kecemasan yang neurotis sebagai akibat dari rasa bersalah karena melakukan perbuatan seksual yang tidak sesuai dengan norma masyarakat.
Terkadang korban merasa bahwa hidup mereka sudah berakhir dengan adanya peristiwa perkosaan yang dialami tersebut. Dalam kondisi seperti ini perasaan korban sangat labil dan merasakan kesedihan yang berlarut-larut. Mereka akan merasa bahwa nasib yang mereka alami sangat buruk. Selain itu ada kemungkinan bahwa mereka menyalahkan diri mereka sendiri atas terjadinya perkosaan yang mereka alami. Pada kasus-kasus seperti ini maka gangguan yang mungkin terjadi atau dialami oleh korban akan semakin kompleks.
Tanda-tanda PTSD tersebut hampir sama dengan tanda dan simptom yang ada pada depresi menurut kriteria dari American Psychiatric Association (dalam Davison dan Neala, 1990). Tanda-tanda tersebut adalah:
1.      sedih, suasana hati depres;
2.      kurangnya nafsu makan dan berat badan berkurang, atau meningkatnya nafsu makan dan bertambahnya berat badan;
3.      kesukaran tidur (insomnia): tidak dapat segera tidur, tidak dapat kembali tidur sesudah terbangun pada tengah malam, dan pagi-pagi sesudah terbangun; atau adanya keinginan untuk tidur terus-menerus;
4.      perubahan tingkat aktivitas;
5.      hilangnya minat dan kesenanga n dalam aktivtas yang biasa dilakukan;
6.      kehilangan energi dan merasa sangat lelah;
7.      konsep diri negatif; menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berguna dan bersalah;
8.      sukar berkonsentrasi, seperti lamban dalam berpikir dan tidak mampu memutuskan sesuatu;
9.      sering berpikir tentang bunuh diri atau mati. Menurut Georgette (dalam Warshaw, 1994) sindrom tersebut dialami oleh korban, baik korban perkosaan dengan pelaku yang dikenal maupun pelaku adalah orang asing.

Hal tersebut akan termanifestasikan ke dalam rentang emosi dan perilaku yang luas. Korban dapat menunjukkan reaksi yang terbuka terhadap pengalamannya atau dapat juga mengontrol responnya, bertindak secara kalem dan tenang. Bagaimanapun juga korban akan mengalami perasaan takut secara umum ataupun perasaan takut yang khusus seperti perasaan takut akan kematian, marah, perasaan bersalah, depresi, takut pada laki- laki, cemas, merasa terhina, merasa malu, ataupun menyalahkan diri sendiri. Korban dapat merasakan hal tersebut secara bersama-sama dalam waktu dan intensitas yang berbeda beda.
Korban dapat juga memiliki keinginan untuk bunuh diri. Sesaat setelah korban terlepas dari perkosaan mungkin ia akan merasakan suatu kelegaan untuk sesaat karena sudah terlepas dari suatu peristiwa yang sangat mengancam. Akan tetapi setelah peristiwa tersebut maka korban akan mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi ataupun memfokuskan pemikirannya untuk menampilkan tugas yang sederhana. Korban akan merasa gugup, gelisah, mudah terganggu, mengalami goncangan, menggigil, nadi berdebar secara kencang, dan badan terasa panas dingin. Korban juga dapat mengalami kesulitan tidur, kehilangan nafsu makan, mengalami gangguan secara medis, diantaranya mungkin berhubungan langsung dengan penyerangan yang dialaminya.

G.     Alternatif Penyembuhan
Proses penyembuhan korban dari trauma perkosaan ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan ini diperlukan untuk membangkitkan semangat korban dan membuat korban mampu menerima kejadian yang telah menimpanya sebagai bagian dari pengalaman hidup yang harus ia jalani (Hayati, 2000). Korban perkosaan memerlukan kawan bicara, baik teman, orang tua, saudara, pekerja sosial, atau siapa saja yang dapat mendengarkan keluhan mereka.










BAB III
PENUTUP
H.    Kesimpulan
Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik secara halus maupun kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan tersebut. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual.

I.       Saran
Bentuk kekerasan terhadap perempuan bukan hanya kekerasan secara fisik, akan tetapi dapat juga meliputi kekerasan terhadap perasaan atau psikologis, kekerasan ekonomi, dan juga kekerasan seksual. Kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun non-verbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, terhadap seseorang atau sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional, dan psikologis











DAFTAR PUSTAKA
Abar, A. Z. 1995. Perkosaan, Eskalasi Emosi Publik dan Media Massa. Bernas, 9
September 1995.
Abar, A. Z & Tulus Subardjono. 1998. Perkosaan dalam Wacana Pers National,
kerjasama PPK & Ford Foundation. Yogyakarta.
Abrar, A. N. 1998. Pelecehan dan Kekerasan Seksual, Analisis Isi Surat Kabar
Indonesia. Yogyakarta: Kerjasama Ford Foundation dengan Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada.
Agaid, N. 2002. “Penyerangan Seksual Terhadap Anak atau Perlakuan Salah Secara Seksual Terhadap Anak” dalam Training Workshop on Protective Behavior Against Child Sexual Abuse Among Street and Sexually Exploited Children, Jakarta, ICWF-Childhope Asia Philippines, 3-7 Maret 2002. Jakarta.
Darwin, M. Potret Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Penanganan Melalui Media, disampaikan pada peluncuran buku ‘Di Balik Tirai Tabu’ dan ‘Ketika Ranting Patah’, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 7 Oktober 2000. (Tidak diterbitkan).
Davison, G. C, and Neale, J. M. 1990. Abnormal Psychology. New York: John Wiley & Sons.
Ekotama, Pudjiarto, dan G. Widiartana. 2001. Abortus Provocatus Bagi Korban
Perkosaan Perspektif Victimologi Kriminologi dan Hukum Pidana. Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya.
Harkrisnowo, H. 2000. Hukum Pidana Dan Perspektif Kekerasan Terhadap Perempuan
Indonesia. Jurnal Studi Indonesia Volume 10 (2) Agustus 2000.
Haryanto. 1997. Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak Perkosaan Terhadap Wanita. Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada.
Hayati, E. N. 2000. Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan
Konseling Berwawasan Gender. Yogyakarta: Rifka Annisa.

Diskriminasi Wanita dalam islam

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah.
Ada suara mengatakan, bahwa Islam mendiskriminasikan kaum wanita. Sungguh jika muslim yang mengatakannya, maka ia wajib bertaubat lagi beristigfar, karena disengaja atau tidak, ia telah menuduh Islam berbuat tidak adil. Padahal Islam memerintahkan kita untuk berbuat adil, Allah swt berfirman (yang artinya):
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Maidah [5]: 8).
Sekali pun kita benci kepada seseorang, maka Allah swt melarang hal itu menjadi pemicu untuk tidak berbuat adil kepadanya.
Syekh as-Sa’di rh berkata tentang firman Allah di atas: “…..tidak sebagaimana dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keadilan, akan tetapi berlakulah adil ketika menjadi saksi bagi wali kalian walaupun kenyataannya pahit baginya, berlakulah adil ketika menjadi saksi untuk musuh kalian walaupun kenyataannya manis baginya, bahkan sekali pun dia seorang kafir atau ahli bid’ah. Karena keadilan itu adalah wajib, demikian pula menerima kebenaran yang datang darinya. Bukan karena dia yang mengatakannya, akan tetapi karena benar yang dikatakannya”.[1]
Sudah menjadi kewajiban seorang muslim untuk mendahulukan ilmu sebelum berucap dan beramal, karena setiap ucapan dan amalan ada perhitungannya. Demikianlah sehingga imam al-Bukhari mencantumkan dalam kitab shahihnya Bab ilmu terlebih dahulu sebelum berucap dan beramal.
Mudah-mudahan tulisan ini memberikan pencerahan sehingga tidak tertipu dengan indahnya perkataan walaupun sebenarnya kebusukan, perkataan mereka yang pandai bersilat lidah lagi menghiasinya dengan bunga-bunga berduri.

1. 2. Rumusan Masalah.
1.2.1. Apa dan siapa wanita?
1.2.2. Bagaimana Kedudukan wanita dalam pandangan Jahiliyyah?
1.2.3. Bagaimana Kedudukan wanita dalam pandangan sekuler ?
1.2.4. Bagaimana Kedudukan wanita dalam pandangan Islam ?

1. 3. Tujuan Masalah.
1.3.1. Untuk mengetahui siapa perempuan.!
1.3.2. Untuk mengetahui kedudukan wanita dalam pandangan Jahiliyah.!
1.3.3. Untuk mengetahui kedudukan wanita dalam pandangan sekuler.!
1.3.4. Untuk mengetahui kedudukan wanita dalam pandangan Islam.!















BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian.

2.1.1. Diskriminaasi
diskriminasi adalah pembedaan antara dua bagian yang setara, tentunya Ini merupakan ketidakadilan. Sementara kita tahu, bahwa secara fakta wanita tidak akan sama dengan kaum pria, maka sungguh tidak adil jika kita menyamakan kaum wanita dengan kaum pria, padahal keduanya berbeda, sehingga mesti adanya diferensiasi, yaitu pembedaan antara dua bagian yang tidak setara.

2.1.2. Wanita.
Wanita dan Ibu adalah dua sosok yang tidak pernah lepas dari kehidupan kita. Tanpa sosok Ibu kita tidak akan pernah ada di dunia ini. Bahkan banyak orang-orang hebat yang tidak akan pernah bisa menjadi hebat tanpa didukung dengan sosok wanita hebat di belakangnya. Ada begitu banyak definisi dan arti dari wanita namun semua arti dan definisi itu bersumber pada satu kesimpulan, bahwa wanita adalah sosok yang sangat hebat terlepas dari segala kekurangan yang dimilikinya.
            Berikut ini adalah pengertian dan definisi wanita:
Ø  Kamus Besar Bahasa Indonesia
Wanita adalah perempuan dewasa
Ø  Abdurrahman Umairah
Wanita merupakan manusia yang mulia dan bernilai karena memiliki sifat kemanusiaan yang tinggi
Ø  Yusuf Al Qaradhawi
Wanita adalah penyempurna bagi laki - laki
Ø  Abdullah Cholil
Wanita adalah pilar bangsa, tiang negara, sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad SAW tentang peran penting seorang ibu

2.2. Kedudukan wanita dalam pandangan Jahiliyyah.
Islam datang pada masa Jahiliyyah, dimana manusia berada dalam kegelapan; kebenaran seolah kebaikan, sementara kebaikan dijadikan sebagai keburukan. Patokan hidup kala itu sebatas hawa nafsu, juga taklid yang menjadikan mereka buta.
Sungguh kaum wanita, kala itu diyakini sebagai kehinaan, muram wajah seorang bapak juga ibu ketika anak yang dilahirkannya adalah wanita, sang ibu pun tidak sadar bahwa dirinya seorang wanita. Allah swt menggambarkan keadaan itu dalam al-Qur’an. Dia berfirman (yang artinya):
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl [16]: 58).
Juga cerita Umar pada masa jahiliyyahnya yang membunuh hidup-hidup anak putrinya, karena merasa terhinakan dengan kelahirannya. Kaum Jahiliyyah memandang bahwa wanita seumpama harta dan binatang ternak. Kaum Jahiliyyah menetapkan, bahwa kaum wanita tidak berhak mendapatkan hak waris, mereka berkata: “Tidak ada yang bisa mewarisi kami kecuali orang yang membawa pedang dan bisa menjaga harta kami”. Bahkan kaum Jahiliyyah memandang, bahwa kaum wanita bisa dijadikan harta warisan, ketika istri seseorang meninggal, maka wali dari orang tersebut bisa memilikinya sebagai harta warisan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata:
كَانَ الرَّجُلُ إِذَا مَاتَ كَانَ أَوْلِيَاؤُهُ أَحَقَّ بِامْرَأَتِهِ مِنْ وَلِيِّ نَفْسِهَا إِنْ شَاءَ بَعْضُهُمْ زَوَّجَهَا أَوْ زَوَّجُوهَا وَإِنْ شَاءُوا لَمْ يُزَوِّجُوهَا
            “Dahulu apabila seorang laki-laki meninggal, maka para walinya lebih berhak terhadap istrinya daripada wali wanita tersebut, apabila sebagian mereka berkehendak maka mereka akan menikahkannya dan apabila mereka berkehendak maka mereka tidak menikahkannya”.[2]
Demikianlah keadaan kaum Jahiliyyah ketika itu, lalu datanglah Islam membawa kemuliaan, Islam merubah paradigma yang ada dengan kemuliaan seorang wanita. Sejarah pun membuktikan bagaimana peradaban lainnya memandang wanita, sehingga ada di antara mereka yang memperdebatan, apakah wanita tergolong manusia atau tidak? Teriris hati ketika kita menghayati keadaan wanita yang seperti itu, padahal ialah ibu kita? Padahal ialah istri kita? Dan beribu-ribu alasan. Sehingga datanglah Islam merubah wajah wanita dan paradigma manusia. Maka pantaskah ia dituduh sebagai agama yang menyudutkan kaum wanita?  tidaklah seseorang memojokan Islam dengan tuduhan seperti itu, kecuali dialah orang yang tidak mengenal sejarah, atau orang yang tidak mengetahui sejatinya kemuliaan, atau orang yang tahu tapi pura-pura tidak tahu karena kedengkian yang mendalam. Wallahu a’lam.
 
2.3. Kedudukan wanita dalam pandangan sekuler
Orang sekuler yang memisahkan agama dengan kehidupan, hanya menjadikan harta materi sebagai panduan dan tujuan, sehingga seluruhnya ditimbang dengan takaran materi dan perasaan. Termasuk hal yang berkaitan dengan wanita, mereka memandang bahwa wanita adalah bagian dari kehidupan, yang tentunya ditimbang dengan perasaan dan asas menguntungkan diri pribadi, tanpa melihat hakikat seorang wanita sebagai mahluk Allah, tanpa melihat aturan Allah yang maha tahu tentang mahlukNya. Tentunya…timbangan seperti itu pun tetap menjadikan wanita sebagai kaum terzhalimi, mereka hanya dijadikan bahan ekploitasi, pajangan, dan daya tarik agar barang dagangannya laku. Apakah ini yang disebut kemuliaan??
Sehingga, di lapangan mereka mempropagandakan wanita agar sejajar dengan kaum pria dalam segala hal, dan menganggap hal itu sebagai kemuliaan bagi kaum wanita. Sungguh sejatinya, ini penghinaan bagi mereka, penghinaan bagi kaum wanita. Karena segala sesuatu ada tempatnya, sehingga tidak mungkin kita menyamakan antara dua perkara yang pada kenyataannya berbeda.
Allah swt telah menciptakannya keduanya berbeda, maka bagaimana bisa kita menyamakannya dalam segala hal, sungguh inilah kezhaliman. Kemudian, di antara perbedaan yang sangat nampak antara keduanya, adalah tugas keduanya dalam kehidupan ini, seorang lelaki memiliki peran yang sama sekali tidak bisa digantikan oleh seorang wanita, demikian pula seorang wanita memiliki peran yang tidak bisa digantikan oleh kaum pria.

2.4. Kedudukan wanita dalam pandangan Islam
Islam mendudukan wanita secara adil pada tempatnya, ditempatkan menjadi seorang ibu yang dimuliakan, ditempatkan menjadi seorang istri yang dilindungi, ditempatkan menjadi seorang putri yang disayangi dan yang lainnya:
Rasululullah saw pernah ditanya tentang siapakah orang yang paling utama untuk diperlakukan dengan baik, maka beliau menjawab: “Ibumu”, orang itu kembali bertanya: “Siapa lagi ?”, jawab beliau: “Ibumu”, dia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” jawab Rasul: “Ibumu”, beliau kembali bertanya: “Kemudian Siapa lagi?” jawab beliau: “Bapakmu”.[3]
Dalam hadits yang lain Rasulullah saw mewasiatkan kaum wanita, beliau bersabda:
وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
"Terimalah nasihatku berkaitan dengan wanita secara baik, karena wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok dan yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah pangkalnya, jika kamu mencoba untuk meluruskannya maka dia akan patah namun bila kamu biarkan maka dia akan tetap bengkok. Untuk itu nasehatilah para wanita".[4]
Al-Munawi berkata[5], ungkapan وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا , maksudnya: “Terimalah wasiatku berkaitan dengan wanita, berbuat lembutlah kepadanya dan perlakukanlah mereka dengan baik”.
Pada kesempatan lain anak wanita adalah pelindung dari api neraka, Rasulullah saw menegaskan:
مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْراً مِنَ النَّارِ
"Barangsiapa yang diuji sesuatu karena anak-anak perempuannya lalu ia berlaku baik terhadap mereka maka mereka akan melindunginya dari api neraka. " [6]
Dan masih banyak dalil lain yang memuliakan kaum wanita.
·         Allah Swt. yang maha mengetahui tentang mahlukNya:
Ini adalah kaidah yang sangat penting dalam banyak perkara, tentunya juga dalam masalah yang sedang kita bicarakan. Kita mesti meyakini, bahwa hanya Allah swt yang paling tahu tentang keadaan mahluk-Nya. Walhasil, jika kita ingin memuliakan wanita maka hendaklah kita mengikuti apa yang diajarkan olehNya.
Seorang mukmin yang ridha kepada Allah swt dan meyakini hikmah, juga kasih sayangNya, akan senantiasa menerima apa yang Allah swt tentukan, dia pun meyakini bahwa hanya Allah swt yang maha tahu tentang perkara yang paling baik untuk dirinya.
Kemudian, kewajiban kita adalah senantiasa berbaik sangka kepada Allah swt, tentang hukum dan apa saja yang ditentukanNya, demikian pula tentang aturan yang berkaitan dengan masalah wanita, bahwa semuanya diberikan untuk memberikan kemudahan kepada hamba-Nya, Allah swt berfirman (yang artinya):
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS. Al-Baqarah [2]: 185).
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Wanita dan Ibu adalah dua sosok yang tidak pernah lepas dari kehidupan kita. Tanpa sosok Ibu kita tidak akan pernah ada di dunia ini. Bahkan banyak orang-orang hebat yang tidak akan pernah bisa menjadi hebat tanpa didukung dengan sosok wanita hebat di belakangnya.

3.1. Saran.
Mesti difahami, bahwa diskriminasi adalah pembedaan antara dua bagian yang setara, tentunya ini merupakan ketidakadilan. Sementara kita tahu, bahwa secara fakta wanita tidak akan sama dengan kaum pria, maka sungguh tidak adil jika kita menyamakan kaum wanita dengan kaum pria, padahal keduanya berbeda, sehingga mesti adanya diferensiasi, yaitu pembedaan antara dua bagian yang tidak setara.















DAFTAR PUSTAKA

Taisirul Karimir: Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan Maktabah al-Ma’arif
Sulaikha : 2007 Wanita dalam pandangan Islam,
At-Taisir bi Syarhil Jami ash-Shagir:  – Maktabah al-Imam asy-Syafii Riyadh.



[1] Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan – cetakan Maktabah  al-Ma’arif  (hal: 212).
[2] Diriwayatkan oleh imam al-Bukhari (4579), Abu Dawud (2089) dan yang lainnya.

[3] Hadits riwayat al-Imam al-Bukhari.
[4] Muttafaq ‘alaihi.
[5]  At-Taisir bi Syarhil Jami ash-Shagir – Maktabah al-Imam asy-Syafii Riyadh
[6]  Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya.