KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi
tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila, Program Studi Pendidikan Agama Islam
(PAI)
Dalam menyusun makalah ilmiah
ini, penulis banyak memperoleh bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebanyak
Penulis menyadari bahwa dalam
menyusun makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya makalah
ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Prenduan, 13 Desember 2011
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .................................................................................................... 1
Daftar Isi.............................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 3
BAB
II PEMBAHASAN..............................................................................................6
Politik Hukum sebuah Urgensitas ...................................................... 12
Hukum sebagai Produk Politik ........................................................... 14
Konfigurasi Politik ............................................................................. 16
Karakter
Produk Hukum ..................................................................... 17
BAB III KESIMPULAN
.................................................................................. 19
DAFTAR
PUSTAKA......................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah
Ketatanegaraan Negara Republik Indonesia dalam perjalanannya, menunjukkan
fungsi DPR dalam periode-periode pemerintahan-pemerintahan sebelumnya masih
terfokus hanya pada fungsi-fungsi pengawasan dan anggaran, sementara fungsi
legislasi selama periode tersebut lebih didominasi oleh pemerintah (presiden).
DPR hanya sebatas membahas usul undang-undang yang diajukan oleh presiden.
Hampir tidak ada undang-undang yang merupakan usul inisiatif dari DPR. Dalam
struktur kenegaraan, hal ini sangat tidak layak jika suatu institusi pelaksana
undang-undang terlalu mendominasi pembuatan undang-undang yang merupakan acuan
dan dasar pemerintah melakukan tugas dan wewenang kenegaraannya tersebut.
Keseluruhan sistem hukum nasional
harus bekerja berdasarkan cita-cita bangsa, tujuan negara, cita hukum dan
penuntut yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, artinya tidak boleh ada
produk hukum yang bertentangan dengan hal-hal tersebut di atas. Hukum sebagai
suatu sistem hukum mencakup dimensi yang luas oleh Friedmann disarikan ke dalam
tiga unsur besar yaitu substansi atau isi hukum (sunstance), struktur
hukum (structure) dan budaya hukum (culture).1 Untuk mengerjakan pembangunan
sistem hukum GBHN kita pada era orde baru mengembangkan sistem hukum ke dalam
empat unsur yakni materi hukum, aparat penegak hukum, sarana dan prasarana
hukum, dan budaya hukum, sedangkan Sunaryati Hartono, mengurai lagi menjadi 12
unsur atau subsistem. Tidak ada yang salah dari perbedaan jumlah unsur itu,
sebab unsur sistem hukum itu memang sangat banyak subsistemnya sehingga setiap
sistem dapat diurai lagi ke dalam subsistem-subsistem yang lebih rinci.
Sebenarnya kalau kita ingin membicarakan pembangunan
sistem hukum melalui politik hukum cakupannya dapat menjangkau semua subsistem
dan sistem hukum yang luas itu. Tetapi pada umumnya pembicaraan tentang politik
hukum lebih banyak terfokus pada materi hukum atau pada arah tentang substansi
dan isi hukum apa saja yang digariskan untuk dibuat, sehingga kalau berbicara
politik hukum kita sering menyederhanakan pada daftar rencana materi hukum yang
akan dibuat. Ini pun tidak salah karena memang materi hukumlah yang sangat
panting di dalam sistem hukum dan politik hukum.
Politik hukum yang menyangkut rencana pembangunan materi
hukum di Indonesia pada saat ini termuat di dalam program legislasi nasional
(Prolegnas), artinya kalau kita ingin mengetahui pemetaan atau potret rencana
tentang hukum-hukum apa yang akan dibuat dalam periode tertentu sebagai politik
hukum maka kita dapat melihatnya dari prolegnas tersebut. Prolegnas ini disusun
oleh DPR bersama Pemerintah yang dalam penyusunannya dikordinasikan oleh DPR.
Bahwa DPR yang mengkoordinasikan penyusunan prolegnas ini merupakan konsekuensi
logis dari hasil amandemen pertama UUD 1945 yang mengeser penjuru atau titik
berat pembentukan Undang-Undang dari pemeirntah ke DPR. Seperti diketahui bahwa
Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen pertama berbunyi, “Dewan Perwakilan
Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.
Bahwa prolegnas merupakan wadah politik hukum (untuk
jangka waktu tertentu) dapat dilihat dari Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dalam Pasal 15 ayat (1)
mengariskan bahwa, “perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam satu
program legislasi nasional”. Sedangkan untuk setiap daerah, sesuai dengan Pasal
15 ayat (2), digariskan juga untuk membuat program legislasi daerah (Prolegda)
agar tercipta konsistensi antar berbagai peraturan perundang-undangan dari
tingkat pusat sampai ke daerah. Kemudian dari prolegnas inilah kita dapat
melihat setiap jenis undang-undang yang akan dibuat untuk jangka waktu tertentu
sebagai politik hukum.
Namun harus diingat bahwa menurut Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 prolegnas bukan hanya terkait dengan materi atau rencana pembentukan
peraturan perundang-undangan melainkan lebih dari itu, prolegnas juga merupakan
instrumen yang mencakup mekanisme perencanaan hukum agar selalu konsisten
dengan tujuan, penuntut dan cita hukum yang mendasarinya kedudukan Prolegnas
sebagai instrumen perencanaan hukum itu tertuang di dalam Pasal 1 angka 9
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang berbunyi, “Program Legislasi Nasional
adalah instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun
secara berencana, terpadu dan sistematis”.
Dengan demikian Prolegnas dapat dilihat baik sebagai isi
atau materi hukum yang akan dibuat maupun sebagia instrumen mekanisme
perencanaan hukum. Sebagai isi hukum Prolegnas memuat daftar rencana
materi-materi hukum atau RUU yang akan dibentuk dalam periode tertentu guna
meraih tahap tertentu pencapaian cita-cita bangsa dan tujuan negara, sedangkan
sebagai instrumen perencanaan hukum Prolegnas menentukan cara dan prosedur yang
harus ditempuh agar pembentukan hukum (peraturan perundang-undangan) itu tidak
keluar dari landasan dan arah konstitusionalnya. Dengan demikian Prolegnas
merupakan potret politik hukum nasional yang memuat tentang rencana materi dan
sekaligus merupakan instrumen (mekanisme) pembuat hukum. Sebagai materi hukum
Prolegnas dapat dipandang sebagai potret rencana isi atau substansi hukum,
sedangkan instrumen Prolegnas dapat dipandang sebagai pengawal agar pembuatan
hukum itu benar.
Berdasankan uraian dalam latar belakang
masalah tersebut di atas, maka permasalahan dalam penulisan karya ilmiah ini
adalah: “Fungsi Konstitusi dalam Pembangunan Struktur Hukum dilihat dari segi
Politik Hukum”.
BAB
II
PEMBAHASAN
Sesudah tumbangnya rezim orde baru yang disusul hadirnya
sebuah pemerintahan baru melalui sebuah pemilihan yang demokratis, tuntutan
pembaruan manajemen produksi hukumpun merupakan conditio sine quanon.
Seiring dengan reformasi hukum yang diawali dengan amandemen UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang mengamanatkan perubahan kelembagaan
ketatanegaraan sesuai dengan fungsi dan tugas-tugas lembaga negara, Presiden
beserta peserta kabinetnya sebagai pemegang kekuasaan eksekutif merupakan pihak
yang mengemban amanat untuk melaksanakan pemerintahan, DPR sebagai pemegang
kekuasaan legislatif adalah lembaga yang merupakan representasi dari perwakilan
rakyat pengemban tugas legislasi dan pengawasan serta Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang kekuasaan yudikatif mengemban tugas
melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi juga tugas-tugas lembaga negara lain,
juga dilakukan dalam rangka mengemban proses check and balance yang
seimbang.
Perubahan produksi hukum dalam proses legislasi nasional
merupakan langkah strategis untuk mewujudkan amanah reformasi, yakni tegaknya
supremasi hukum yang didasarkan pada nilai filosofis yang berorientasi pada
kebenaran dan keadilan, nilai sosial yang berorientasi pada tata nilai yang
berlaku dan bermanfaat bagi masyarakat, serta nilai yuridis, yang bertumpu pada
ketentuan perundang-undangan yang menjamin ketertiban dan kepastian hukum.
Untuk mewujudkan produk hukum yang sesuai dengan
filosofis, sosial dan yuridis tersebut, maka proses pembentukan peraturan
perundang-undangan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam ketentuan
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, telah ditentukan bahwa pembentukan
peraturan perundang-undangan didasarkan pada asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik sebagai berikut:
1. Kejelasan tujuan;
2. Kelembagaan atau organ
pembentuk yang tepat;
3. Kesesuaian antara jenis dan
materi muatan;
4. Dapat dilaksanakan;
5. Kedayagunaan dan
kehasilgunaan;
6. Kejelasan rumusan;
7. Keterbukaan.
Asas-asas tersebut, jika dikaitkan
dengan sebelas asas pembentukan perundang-undangan menurut Van der Villes maka
asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan adalah merupakan perasaan dari kesebelas asas menurut Van
der Villes dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Pembentukan
peraturan perundang-undangan sepanjang telah mengacu dan sesuai dengan
asas-asas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004, maka produknya sudah dipastikan merupakan produk hukum yang baik sesuai
dengan kriteria yang diharapkan/dikehendaki.
Untuk memperluas dan melengkapi
pemahaman mengenai asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik, maka berikut ini diuraikan kesebelas asas menurut Van der Villes:
1.
Asas tujuan atau sasaran yang jelas
Setiap
undang-undang harus mencerminkan secara jelas tujuan atau sasaran yang hendak
dicapai. Tujuan tersebut adalah kebijakan-kebijakan umum dan khusus yang ada
dalam bidang yang diatur, baik sekarang maupun untuk masa yang akan mendatang.
Termasuk di dalam pengertian ini adalah akibat (seperti beban masyarakat atau
negara) yang akan ditimbulkan oleh undang-undang itu.
2. Asas
organ yang tepat
Undang-undang
harus dibuat oleh organ yang tepat, dalam arti memang berwenang untuk itu. Di
sini terkait masalah hubungan kesesuaian antara materi muatan undang-undang dan
bentuk formal undang-undang.
3. Asas
Keperluan
Undang-undang
harus berdasarkan keperluan. Undang-undang bukan satu-satunya instrumen dalam
melaksanakan suatu kebijakan atau memecahkan masalah, sehingga masih terbuka
kemungkinan digunakan instrumen lain yang lebih efisien dan efektif. Suatu
undang-undang diperlukan, misalnya jika dengan instrumen lain dipertimbangkan
akan menimbulkan beban lebih besar atau membatasi hak-hak warga yang bersifat
mendasar.
4. Asas
dapat dilaksanakan
Undang-undang
dibuat dengan memperhitungkan kemungkinan pelaksanaannya. Suatu undang-undang
menjadi tidak mungkin dilaksanakan jika menimbulkan reaksi keras (penolakan)
dari sebagian besar masyarakat atau menciptakan beban terlalu berat bagi
pemerintah.
5. Asas
konsensus
Undang-undang
adalah produk kesepakatan dari berbagai unsur masyarakat dari konteks ini,
diartikan bahwa undang-undang itu harus responsif, yakni mengakomodasikan
seluas mungkin masukan-masukan dari semua komponen masyarakat.
6. Asas
keutuhan
Undang-undang
harus mencerminkan satu kebulatan utuh yang berisi segala aspek yang diperlukan
pada saat pelaksanaannya. Pendekatan sistematis dalam pembentukan undang-undang
menjadi titik berat asas ini. Dengan demikian tidak akan menjadi kontradiksi
antara ketentuan-ketentuan dalam undang-undang itu, atau kontradiksi dengan
undang-undang lain yang lebih tinggi atau yang sejajar.
7. Asas
kejelasan terminologi dan sistematika
Kejelasan suatu
undang-undang dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan membuat
penjelasan, pemilihan dengan kata yang tepat dan mempertahankan konsistensi
peristilahan.
8. Asas
dapat dikenali
Setiap
undang-undang pada dasarnya harus dapat diketahui secara wajar oleh yang
berkepentingan. Asas ini dilaksanakan dengan cara-cara seperti pengundangan
atau publikasi lainnya.
9. Asas persamaan di depan hukum
Undang-undang
tidak boleh memuat ketentuan yang memungkinkan perbedaan perlakuan secara
sewenang-wenang. Perbedaan perlakuan hanya dibenarkan kalau dilakukan demi
kepentingan orang atau kelompok yang dibedakan (positive discrimination).
10. Asas
kepastian hukum
Undang-undang
harus menjamin kepastian hukum. kepastian ini dapat diperoleh dengan beberapa
cara, misalnya (1) peraturan itu harus dirumuskan dengan jelas dan tepat, (2)
perubahannya harus mempertimbangkan dengan baik kepentingan orang yang terkena
pengaturan peralihan yang cukup dan memadai.
11. Asas memperhatikan keadaan
individu dalam pelaksanaan hukum
Pada saat pembuatannya harus
diperhitungkan keadaan-keadaan khusus yang mungkin dihadapi dalam
pelaksanaannya. Untuk mengantisipasi khusus tersebut, dalam undang-undang itu
dapat ditentukan: (1) pemberian kewenangan kepada aparat administrasi negara
untuk membuat keputusan dalam menghadapi keadaan-keadaan khusus tadi. (2)
pemberian kemungkinan kepada aparat administrasi negara menyimpang ketentuan
yang ada di dalam menghadapi keadaan-keadaan khusus, dan (3) perlindungan hukum
terhadap tindakan aparat administrasi negara yang akan mempunyai akibat
langsung terhadap kedudukan hukum dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Kemudian perlu juga diketahui fungsi
dari konstitusi itu sendiri agar kita tahu apa peranan konstitusi dalam
pembangunan struktur hukum dilihat dari segi politik hukum. Berikut adalah fungsi konstitusi:
1. Menentukan pembatasan
terhadap kekuasaan sebagai suatu fungsi konstitusionalisme;
2.
Memberikan legitimasi
terhadap kekuasaan pemerintah;
3. Sebagai instrumen
untuk mengalihkan kewenangan dari pemegang kekuasaan asal (baik rakyat dalam sistem demokrasi atau raja dalam sistem
monarki) kepada organ-organ kekuasaan
negara;
Fungsi konstitusi dalam suatu negara:
1. menentukan
pembatasan terhadap kekuasaan sebagai suatu fungsi konstitusionalisme;
2. memberikan
legitimasi terhadap kekuasaan pemerintah;
3. sebagai instrumnen untuk mengalihkan
kewenangan dari pemegang kekuasaan asal (baik rakyat dalam sistem demokrasi
atau raja dalam sistem monarki) kepada organ-organ kekuasaan negara;
Menurut
Jimly Assiddiqie mnyebutkan bahwa Konstitusi memiliki fungsi
yang
diperinci sebagai berikut:
1)
Fungsi
penentu dan pembatas kekuasaan organ negara;
2)
Fungsi
pengatur hubungan kekuasaan antarorgan negara;
3)
Fungsi
pengatur hubungan kekuasaan antarorgan negara dengan warga negara;
4)
Fungsi
pemberi atau sumber ligitimasi terhadap kekuasaan negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara;
5)
Fungsi
penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli kepada organ negara;
6) Fungsi
simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity), sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan (identity
of nation), serta sebagai centre
of ceremony;
7)
Fungsi
sebagai pengendalian masyarakat (social control), baik dalam arti sempit hanya dibidang politik, maupun
dalam arti luas menyangkut bidang sosial
dan ekonomi;
8)
Fungsi
sebagai sarana perekayasa dan pembaharuan masyarakat (social engineering
atau social reform).
Dalam pelaksanaannya sudah barang tentu kita juga harus
mengetahui apa itu politik hukum, berikut penjabarannya secara singkat Salah
satu pengertian politik hukum adalah legal policy atau garis kebijakan resmi tentang
hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan
penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Pengertian itu
mengungkapkan adanya pokok-pokok penting dalam politik hukum, dimana memberikan
suatu arti yang esensial dalam pembentukan hukum. Pokok-pokok itu diantaranya:
tujuan apa yang hendak dicapai, metode yang tepat yang akan digunakan, waktu
dilaksanakan, dan perumusan hukum yang bagaimana supaya tujuan negara tercapai.
Pengertian-pengertian politik hukum, menempatkan hukum
sebagai sarana untuk mencapai tujuan negara. Artinya hukum yang diberlakukan
dipergunakan sebagai alat oleh negara untuk mencapai tujuannya. Oleh karena
itu, politik hukum juga dijadikan alat untuk membentuk hukum; baik dalam rangka
menciptakan hukum yang baru, maupun mengganti dan/atau merubah hukum yang lama.
Hukum yang dibentuk tersebut kemudian secara politis diakui dan diberlakukan
kepada masyarakat. Dengan demikian, politik hukum yang oleh Sudarto diartikan
sebagai upaya untuk mewujudkan peraturan-peraturan baik yang sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu waktu, menjadikan politik hukum sebuah langkah
bagi pemerintah untuk membentuk sistem hukum demi mencapai tujuan negara.
Politik hukum di Indonesia sendiri memiliki dua sifat, yakni
: (a) sifat permanen atau jangka panjang, dimana sifat ini merupakan
prinsip-prinsip yang termuat dalam UUD, yang selanjutnya berlaku sebagai
politik hukum; (b) sifat periodik, dimana politik hukum dibuat pada situasi dan
kondisi pada periode tertentu, yang dimaksudkan untuk memberlakukan atau
mencabut hukum tertentu. Hal inilah yang kemudian menarik untuk dilihat dan
diteliti. Politik hukum lebih bersikap formal pada kebijakan resmi, sedangkan
studi politik hukum mencakup kebijakan resmi dan kaitannya dengan hal-hal yang
lainnya. Sebagai sebuah studi terhadap perkembangan politik hukum, maka studi
politik hukum memiliki cakupan tertentu, yakni :
a) Kebijakan negara (garis resmi)
tentang hukum yang akan diberlakukan dan hukum
yang tidak diberlakukan dalam rangka mencapai tujuan negara;
b) Latar belakang lahirnya sebuah
produk hukum;
c) Penegakan hukum pada kenyataannya di
lapangan.
1. Politik Hukum sebuah Urgensitas
Politik dan hukum dalam konteks ilmu sosial dan humaniora adalah
variabel-variabel yang memiliki keterkaitan erat dalam sebuah hubungan
kausalitas yang masing-masing memberikan pengaruh. Secara konseptual, keduanya
memiliki kekuatan untuk saling mempengaruhi. Dengan demikian bilamana politik
dan hukum dipisahkan dan berdiri sendiri, maka keduanya tidak memiliki arti
bagi pemakainya. Dalam melihat hubungan di antara keduanya, maka akan muncul
banyak asumsi yang digunakan demi medapatkan visi tertentu. Asumsi-asumsi yang
muncul adalah asumsi-asumsi yang menempatkan politik dan hukum sebagai variabel
yang saling bertumbukan.
Munculnya asumsi-asumsi dilatarbelakangi oleh pengenaan das
sollen dan das sein dalam melihat politik dan hukum. Apabila menggunakan
pemikiran yang berlandaskan pada analisis das sollen maka hukum akan menjadi
dominan atas politik. Sementara itu, jika berlandaskan pada das sein maka yang
terjadi adalah hukum didominasi oleh politik. Karena hukum dan politik adalah
variabel, maka dengan landasan yang demikian, maka kedudukan sebagai
independent variable dan dependent variable akan sangat ditentukan olehnya.
Pada kerangka yang lain, das sollen-das sein menjadi perspektif-perspektif
untuk memandang politik dan hukum, yang terbagi atas beberapa pendapat,
diantaranya :
• Hukum determinan atas politik
Artinya bahwa sudut pandang yang
dipakai adalah melihat hukum sebagai undang-undang, sehingga asumsinya adalah
politik merupakan produk hukum. Alasannya adalah hukum menjadi dominan atas
politik. Disinilah politik menjadi variabel yang terpengaruh (dependent variable)
oleh hukum (independent variable). Perspektif yang dipakai dalam melihat asumsi
ini adalah perspektif das sollen (keharusan), dimana berpegang teguh pada hukum
harus merupakan pedoman dalam segala tingkat hubungan anggota masyarakat
termasuk dalam kegiatan politik.
• Politik determinan
atas hukum
Artinya bahwa politik dilihat sebagai kekuasaan yang
mempengaruhi terbentuknya hukum, sehingga diasumsikan bahwa hukum adalah
sebagai produk politik. Karena dominasi kekuasaan, hukum menjadi produk politik.,
hukum menjadi produk politik. Disinilah hukum menjadi variabel yang terpengaruh
(dependent variable) oleh politik (independent variable).
Dalam asumsi ini yang dipakai adalah perspektif das sein
dimana para penganut paham empiris memandang bahwa secara realistis, politik
sangat mempengaruhi produk hukum, tidak hanya pada konteks pembuatannya saja,
namun juga sampai pada kenyataan-kenyataan empirisnya. Kegiatan pembuatan
undang-undang dalam kenyataannya lebih kental dengan pembuatan
keputusan-keputusan politis yang kemudian dibakukan dalam bentuk undang-undang.
• Politik dan hukum determinasinya seimbang
Dalam pendapat ini, kedudukan hukum dan politik sebagai
subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajatnya seimbang antara
satu dengan yang lainnya. Artinya adalah meskipun hukum merupakan produk
keputusan politik, namun begitu hukum diberlakukan maka semua kegiatan politik
harus tunduk pada hukum tersebut.
Di dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, kebenaran yang ada
adalah kebenaran relatif. Artinya bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak yang
ditemukan secara ilmiah dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Kedua asumsi di
atas, menemukan tujuannya masing-masing. Asumsi pertama politik adalah produk
hukum, bukanlah kesimpulan yang salah mengingat landasan asumsi yang
dipergunakan secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Demikian sebaliknya,
bilamana hukum merupakan produk politik, maka secara ilmiah kesimpulan itu
dapat dipertanggungjawabkan pula.
Studi politik hukum merupakan sebuah
studi yang masih diperdebatkan letaknya secara ilmiah. Politik hukum dianggap
sebagian orang sebagai bagian dari ilmu hukum, sementara ada yang menganggap
sebagai bagian dari ilmu politik. Sebagai bagian dari ilmu hukum, politik
berakar dari filsafat. Politik kemudian menghasilkan berbagai produk hukum
(hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, dan lain sebagainya), yang
kemudian mengisi kehidupan masyarakat.
Studi politik hukum di Indonesia, terkait erat dengan
pengertian atau definisi politik hukum. Akan tetapi ada perlunya untuk
memperhatikan kesamaan-kesamaan substantif antar berbagai pengertian yang ada.
Umumnya politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang mana
yang sifat dan arahnya hukum akan dibangun dan ditegakkan. Secara khusus, studi
politik hukum di Indonesia cenderung pada pengertian politik hukum sebagai
legal policy yang akan dan telah dilaksanakan secara nasional di Indonesia,
yang meliputi : (1) pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan
terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; dan (2)
pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga
dan pembinaan para penegak hukum.
2. Hukum sebagai Produk Politik
Mahfud MD dalam bukunya ini, menggunakan asumsi bahwa hukum
merupakan produk politik. Hal ini berarti bahwa politik sebagai independent
variable menjadi variabel yang berpengaruh bagi terbentuknya hukum, dimana
hukum diletakkan sebagai dependent variable. Hukum dalam tulisannya Mahfud
tersebut adalah merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk secara
politis. Realitas bahwa hukum di Indonesia tergantung atas politik yang
berkembang, yakni politik determinan atas hukum, dapat dilihat dari
kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaing satu dengan
yang lainnya, kemudian mengkristalisasi membentuk peraturan-peraturan yang
abstrak (pasal-pasal yang imperatif).
Pernyataan bahwa hukum merupakan produk politik dikarenakan
di Indonesia peraturan perundangan merupakan hasil dari kontestasi kepentingan
dan aspirasi politik dari pihak-pihak yang secara bersama-sama membentuk
undang-undang. Undang-undang yang terbentuk merupakan hasil dari upaya
akomodasi dari kekuatan politik dan aspirasi politik. Maka dengan demikian
hukum sendiri adalah produk politik.
Sebenarnya bukan hanya hukum dalam arti undang-undang yang
merupakan produk politik, tetapi juga hukum yang mencakup konstitusi atau
undang-undang dasar. Dalam kerangka keluasan arti hukum tersebut, nampak bahwa
konstitusi merupakan resultante yang sesuai dengan kondisi politik, ekonomi,
sosial, dan budaya pada saat pembuatannya. Inilah kemudian yang dikenal dengan
konfigurasi politik, sosial, ekonomi, dan budaya, yang mempengaruhi pembentukan
hukum.
Konsentrasi pada ‘hukum sebagai produk politik’
mengesampingkan konfigurasi-konfigurasi yang lain, sebab asumsi yang dipakai
menyatakan bahwa hukum merupakan produk dari perkembangan politik. Lebih tegas
lagi dinyatakan bahwa dalam suatu keadaan politik yang menimbulkan pemerintahan
dan hukum baru, dapat sah menjadi pemerintah dan konstitusi baru bila
pemerintah tersebut secara politik bisa mempertahankan dan memberlakukannya.
Determinasi politik terhadap hukum menyebabkan politik
menjadi independent variable yang dibedakan menjadi politik yang otoriter dan
politik yang demokratis. Sementara hukum yang berkedudukan sebagai dependent
variable dibedakan menjadi hukum yang ortodoks dan hukum yang responsif.
3. Konfigurasi Politik
Dalam perkembangan politik dikenal dengan adanya konfigurasi
politik. Konfigurasi politik dapat dilihat dari beberapa indikator, yakni;
peranan lembaga perwakilan rakyat, peranan media dan pers, serta peranan
eksekutif. Adapun dinamisasi indikator tersebut menyebabkan hukum menjadi salah
satu produk bagi perkembangan konfigurasi politik itu sendiri. Yang dimaksud
dengan konfigurasi politik adalah susunan atau konstelasi kekuatan politik yang
secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral,
yakni konfigurasi politik yang otoriter dan konfigurasi politik yang
demokratis. Pada kenyataannya, konfigurasi politik ini sangat tergantung pada
penyelenggaraan negara, baik demokratis maupun yang otoriter. Hal ini karena
beragamnya variasi pelaksanaan demokratisasi dan otoriterisme, bahwa secara
teoritis yang demokrasi tidak selalu murni dilaksanakan, ataupun yang otoriter
juga tidak selalu murni otoriter.
a. Konfigurasi politik demokratis
Yakni susunan sistem politik yang membuka kesempatan/peluang
bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan
umum. Demokratis dalam pengertian ini adalah demokratis dimana ada
pembatasan-pembatasan kewenangan pemerintah untuk melindungi individu dan
kelompok melalui tata cara pergantian pemimpin secara berkala, tertib, dan
damai yang diselenggarakan dengan menggunakan efektivitas alat-alat perwakilan
rakyat. Selain itu, nampak adanya toleransi terhadap sikap oposisi, tuntutan
akan fleksibilitas, dan kegiatan-kegiatan eksperimental di bidang politik.
Kemudian, demokrasi juga menekankan pada penghargaan terhadap kaum minoritas,
dimana partisipasi mereka tidak didiskriminasi.
Dalam konfigurasi politik demokratis, dapat ditemukan bahwa
kedudukan parpol dan parlemen sangat menentukan kebijakan negara. Selain itu
lembaga eksekutif (pemerintah) memiliki posisi yang tidak berpihak, sehingga
pers dapat terselenggara secara bebas, sensor yang akomodatif, serta anti
pembredelan.
b. Konfigurasi politik otoriter
Yakni susunan sistem politik yang lebih memungkinkan
negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir semua inisiatif dalam
membuat kebijaksanaan negara. Dalam konteks ini, negara mendorong untuk
memaksakan persatuan, penyamaan persepsi (dengan menghilangkan oposisi), dengan
percaya diri menjalankan kebijaksanaan pemerintah tanpa mendengar kritikan, dan
mempertahankan status quo (elite tertentu). Untuk melaksanakan itu semua,
negara menyusupkan doktrin-doktri pembenaran atas tindakan negara (termasuk
kehendaknya sendiri) demi tujuan-tujuan tertentu yang diasumsikan sebagai
sejarah. Akibatnya, muncul perilaku-perilaku untuk menghilangkan perbedaan
pendapat, kritik, dan mengusahakan suatu ide mengenai masyarakat sosial yang
homogen dan seragam.
Dalam konfigurasi ini, partai politik dan parlemen
seringkali berada dalam kontrol pemerintah, sehingga menjadi susah bergerak.
Intervensi-intervensi pemerintah menyebabkan pers tidak berkembang sesuai
dengan asas-asas kebebasan media, dan penuh dengan ancaman-ancaman sensor.
4. Karakter Produk Hukum
Dalam studi politik hukum yang dituangkan oleh Mahfud, maka
dapat ditarik sebuah keadaan dimana hipotesa awal yang digunakan adalah
konfigurasi politik diasumsikan sebagai independent variable dan karakter
produk huku sebagai dependent variable. Berdasarkan pembahasan di atas, serta
dampak dari pengaruh konfigurasi politik dalam upaya pembentukan hukum, maka
produk hukum yang dihasilkan terdiri dari dua karakter, yaitu :
responsif/populistik:
- Definisi: hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat
- Proses pembuatan mengikutsertakan masyarakat (sebanyak-banyaknya) yang diwakili melalui individu-individu, atau kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat
- Aspiratif : memuat materi-materi yang umumnya sesuai dengan keinginan dan kehendak masyarakat
- Limitative : artinya bahwa peluang
untuk menafsirkan suatu materi sangat dibatasi karena kedetailan isi dan
tujuannya (peraturan pelaksana hanya bersifat teknis) konservatif/ortodoks/elitis
- Produk hukum yang isinya lebih
mencerminkan visi sosial elite politik, keinginan pemerintah, dan menjadi alat
pelaksanaan ideologi dan program Negara
- pembuatannya didominasi oleh
elite-elite politik tertentu, atau lembaga negara terutama oleh pemegang
kekuasaan eksekutif
- Positivis-instrumentalis : substansinya
memuat materi-materi demi mewujudkan keinginan dan kepentingan program
pemerintah saja
- Open interpretative : peluang untuk
ditafsirkan sangat terbuka, karena isi hukumnya singkat, hanya pokok-pokoknya
saja sehingga cenderung dijadikan alat untuk mengatur sesuai visi dan misinya
sendiri
BAB III
KESIMPULAN
Dari permasalahan di atas, maka di sini penulis dapat
mengambil sebuah kesimpulan yakni,
1.
Bahwa konstitusi merupakan wujud
cita hukum masyarakat suatu negara dalam mencapai tujuan masyarakat yang
sejahtera, adil, dan makmur.
2.
Bahwa Konstitusi merupakan pegangan
penguasa sebagai pemegang kedaulatan rakyat untuk menyelenggarakan kegiatan
pemerintahan
3.
Bahwa dalam menerapkan konstitusi
tersebut dibutuhkan sebuah struktur hukum sebagai kliasifikasi dan hierarki
terhadap keberadaan produk hukum di suatu negara.
4.
Bahwa guna penegakan dan konsistensi
terhadap pelaksanaan produk hukum yang merupakan perwujudan dari penerapan
suatu kosntitusi perlu keberadaan/adanya politik hukum.
DAFTAR PUSTAKA
- Appeldoorn, LJ. van, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Supomo), (Jakarta: Pradnya Paramitha), cet. Ke-18, 1981, hlm. 390
- Tambunan, A.S.S., Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta: Puporis Publishers, 2002), hlm. 9
- D, Moh. Mahfud M, Politik Hukum di Indonesia, Cet. Kedua, (Jakarta: LP3ES, 2001). Lihat referensi aslinya dalam Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Politik Hukum Nasional”, makalah pada Kerja latihan bantuan Hukum, LBH, Surabaya, September 1985.
- Juwono, Hikmahanto, “Politik Hukum Undang-undang Bidang ekonomi di Indonesia”. Hand Out kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum Program Doktor (S3) UII.
- Nasution,
Mirza. NEGARA DAN KONSTITUSI. 2004 ( diakses lewat internet)
http://www.prince-mienu.blogspot.com - Situs Resmi Universitas Wisnu Wardhana Malang
- Blog Setyo Pamungkas
http://setyopamungkas.wordpress.com/2010/01/20/politik-hukum/
- Radhie, Teuku Muhammad dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Desember 1973, hlm. 4.
- Attamimi, A. Hamid S. Mekanisme Proses Perundang – Undangan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Penyusunan Program Legislatif. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional (1977).